Sabtu, 29 Mei 2010

Artikel Akuntansi Internasional: Tinjauan Akin terhadap Tax Heaven

TINJAUAN AKUNTANSI INTERNASIONAL
TERHADAP TAX HEAVEN

Oleh: Kukuh Fadli Prasetyo

Pendahuluan
Kemarahan Presiden Prancis Nicolas Sarkozy terhadap pasar yang terlalu liberal saat pertemuan KTT pemerintahan G-20 di Excel Centre, Dockland, London, didukung oleh Kanselir Jerman Angela Merkel. Mereka menginginkan agar pasar dapat diatur dengan regulasi yang jelas. Selain itu mereka juga menentukan sasaran lainnya, yaitu negara-negara surga pajak (tax heaven) juga harus dikendalikan.
Negara-negara itu yang umumnya produk buatan kolonialis Inggris seperti Singapura, Hongkong, dan 33 negara persemakmuran lainnya yang juga menjadi tax heaven. Negara-negara tersebut dianggap sebagai pelindung para kapitalis pemangsa, lokasi penyimpanan uang haram, lokasi aksi-aksi spekulasi yang telah melahirkan fenomena kanibal di sektor keuangan. (Kompas. 5 April 2009)
Untuk mengatasi krisis keuangan global perlu reformasi regulasi dan peraturan dalam sistem keuangan, salah satunya soal pengaturan tax heaven dengan kehadiran Financial Stability Board. G-20 juga sepakat mendesak sebuah upaya untuk standardisasi akuntansi, aturan mengenai hedge fund yang selama ini tidak mudah tersentuh dan aturan mengenai tax heaven. Para pemimpin G-20 juga sepakat masalah kerahasiaan perbankan harus diakhiri dan tidak ada toleransi lagi bagi negara ataupun teritori pelindung para penghindar pajakdan kejahatan kerah putih lainnya.
Dampak dari krisis finansial yang hebat membuat negara-negara maju menginginkan pajak yang dilarikan korporasi penghindar pajak (tax awiders) dapat kembali menjadi hak negaranya. Organisasi Kerja sama Ekonomi dan Pembangunan (OECD) telah mengumumkan kriteria negara-negara atau teritori sebagai surga pajak. Empat negara masuk dalam daftar hitam atau black, list karena tidak kooperatif, yaitu Filipina, Uruguay. Kosta Rika, dan Malaysia (Labuan). Mereka menolak menerapkan asas transparansi perbankan ataupun informasi mengenai pajak dalam skim exchange information.
OECD menyusun daftar negara atau teritori tax heaven berdasarkan tiga kategori. Pertama, negara yang siap melakukan pertukaran informasi atau telah mengimplementasikan standar perpajakan dan perbankan dengan baik (white list). Kedua, mereka siap untuk bertindak atau sudah berkomitmen, tetapi belum sepenuhnyamengimplementasikan standar perpajakan dan perbankan dengan baik (grey list). Ketiga, negara atau teritori yang belum sepakat menerapkan asas transparansi atau belum mau berkomitmen (black list).
Surga pajak termasuk entitas politik yang menawarkan pengenaan pajak yang rendah dan pelindung bagi penghindar pajak. Surga pajak atau off-shore center menurut OECD Report on Harmful Tax Competition (1988) didefinisikan dalam empat kriteria. Dua kriteria surga pajak adalah pengenaan pajak yang rendah atau nihil dan memberikan kesempatan kepada nonresiden untuk menghindari pajak di negaranya dan melayani aktivitas ilegal.
Selain itu, surga pajak tidak melakukan pertukaran informasi perpajakan yang efektif berdasarkan UU atau praktik administratifnya dan tidak transparan dalam menjalankan kegiatannya. Dengan tidak memberikan informasi mengenai pajak untuk kepentingan perusahaan dari negara lain, diartikan sebagai tempat pencucian uang (money laundry) yang masif.
Di Amerika banyak dipertanyakan mengapa institusi-institusi finansial yang diberikan jaminan (bail out) pemerintah masih saja tetap beroperasi di negara atau teritori tax heaven. Tidak berlebihan mengapa tax heaven tetap menarik minat investor asing karena uang mereka dapat diinvestasikan dengan aman dan tetap dijaga kerahasiaannya, serta terlindung dari institusi penyidik pajak internasional.
Diduga sekitar 400 kantor bank-bank internasional beroperasi di negara dan teritori tax heaven. Sekitar dua pertiga dari hedge fund terkenal di bursa internasional pun mempunyai representatif office di sinitermasuk kurang lebih 2 juta perusahaan top dunia (elah mendaftarkan asetnya sedikitnya 10 triliun dolar AS di wilayah ini. Bagi Indonesia, penghapusan tax heaven akan banyak memberi manfaat dalam mengurangi insentif arus modal keluar yang bertujuan menghindari pajak. Dana-dana hasil kejahatan ataupun yang dicuri dari negara oleh sekelompok orang akan kembali dan memperkuat cadangan devisa negara, karena tidak ada tempat lagi untuk bersembunyi. Secara tidak langsung akan memperkuat nilai tukar rupiah, dan dapat meningkatkan investasi guna menunjang penerimaan pajak.
Walaupun timbul polemik, hal tersebut setidaknya membuka lembaran baru dan transparansi dalam sistem perpajakan internasional. Ada tekanan dari G-20 bahwanegara yang I menolak atau j tidak mau I bekerja sama I dalam i memberikan informasimengenai pajak akan dikenai sanksi berat, antara lain dicabut dari keanggotaan Bank Dunia dan IMF.
Masalah kerahasiaan bank (bank secrecy) dianggap salah satu yang memperburuk krisis keuangan global karena tax heaven yang menyembunyikan aset-aset global. Ada dugaan rax heaven ini memberikan tempat berlindung yang nyaman bagi para pejabat untukmenyembunyikan dana-dana ilegal hasil korupsi, ataupun pengusaha hitam yang melarikan dana dari kejaran aparat hukum di negerinya.
Dampak kerasnya OECD menerapkan asas transparansi infonnasi dengan membuat daftar negara atau teritori yang masuk daftar hitam membuat tiga negara Uni Eropa yang memiliki aturan kerahasiaan bank akan mengubah kerahasiaan undang-undang perbankan, yaitu Luksemburg, Austria, dan Belgia. Sementara itu, Swiss dan Liechtenstein tetap masuk dalam grey list karena menyatakan baru siap mengubah kerahasiaan sistem perbankannya. (Associated Press, 2-04-2009)
Singapura bergegas ke luar dari daftar abu-abu (grey list) dengan akan mengamendemen UU Pajak pada tahun ini juga. Singapura dianggap belum mengimplementasikan aturan pajak internasional sesuai dengan standar OECD, khususnya mengenai pertukaran mini in.im perpajakan melalui Avoidance of Double Taxation Agreements (DTAs). Di luar Singapura ada 38 negara yang dimasukkan dalam grey list. (Media Indonesia. 7-04-2009)
Kemungkinan sanksi berat akan dikenakan kepada bank-bank di negara mana saja di dunia yang tetap melakukan transaksi dengan negara surga pajak yang masuk daftar hitam OECD. Sanksi lainya, adanya pengucilan atas Tax heaven dari dunia internasional, khususnya di bidang keuangan dan perbankan. Akan dibuat daftar dan pengenaan sanksi bagi para investor, baik entitas maupun perorangan, yang melakukan transaksi dengan tax heaven, sehingga dijauhi dari aktivitas bisnis internasional.

Respon Indonesia Atas Rekomendasi OECD
Rencana Ditjen Pajak untuk mengeluarkan daftar kawasan tax heaven sesuai dengan kriteria sendiri dan mewaspadai investasi yang tercatat di offshore centre tersebut merupakan langkah positif melengkapi langkah 7 tahun yang lalu dengan berdirinya Pusat Pelaporan Dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK) momentum terciptanya rezim anti pencucian uang.
Langkah ini terkait dengan perkembangan global yang dipelopori negara OECD dalam Sidang G-20 Summit 3 April 2009 di London. Keputusan penting di antaranya membatasi operasional tax heaven dan mendorong terciptanya transparansi dan pertukaran informasi perpajakan serta penerapannya sesuai dengan standar pajak internasional.
Hal itu akan ikut mereformasi sistem moneter dan keuangan global yang telah mengalami kekacauan dan berpuncak pada munculnya krisis finansial global sejak 2007 sampai saat ini. Angin perubahan yang mulai digencarkan oleh Barack Obama semasa kampanye 2008 segera mendapatkan respons positif dan mengkristal menjadi keputusan global.
Pada evaluasi April 2009, Financial Action Task Force (FATF) menentukan empat negara Filipina, Malaysia (Labuan), Uruguay dan Kostarika yang masuk dalam kelompok negara yang tidak kooperatif (black list). Keputusan ini mengakhiri hampir setengah abad era kejayaan offshore centre dari yang klasik di Swiss sampai yang modern di puluhan negara eks persemakmuran Inggis atau Prancis (Mauritius, British Virgin Island atau Cayman Island).

Kebijakan Indonesia Mengenai Tax Heaven
Sanksi black list ini ikut mendorong otoritas moneter dan hukum Indonesia untuk mempercepat implementasi kebijakan rezim antipencucian uang sesuai dengan norma global FATF. Implementasi kebijakan ini sudah dimulai pascareformasi di antaranya melalui PBI 28 Oktober 1999 tentang Pemantauan Kegiatan Lalu Lintas Devisa Bank dan Lembaga Keuangan Non Bank.
Sebagai tindak lanjut dari UU Nomor 24 Tahun 1999 tentang Lalu Lintas Devisa dan Sistem Nilai Tukar, tepatnya 7 tahun lalu yaitu 12 April 2002 terbit UU No. 15 tahun 2002 yang disahkan 12 April 2002 tentang Tindak Pidana Pencucian Uang. Bersamaan dengan ini maka dibentuklah lembaga independen PPATK. Sebelum resmi beroperasi 18 Oktober 2003 badan ini melanjutkan tugas Unit Khusus Investigasi Keuangan Bank Indonesia (UKIP-BI).
Kehadiran PPATK terus dilengkapi dengan seperangkat hukum dan peraturan terkait. Yakni Surat Edaran Bank (SEBI) Nomor 3 Tanggal 13 Juni 2001 tentang Pelaporan Kegiatan Lalu Lintas Devisa oleh Bank. SEBI ini menetapkan bahwa bank wajib melaporkan transaksi keuangan oleh nasabah secara bulanan.
Transaksi di atas US$10.000 (ekuivalen) harus dilaporkan secara individu yang berisi perincian tentang kategori, jenis rekening, pelaku dan hubungan keuangan antarpelaku transaksi, jenis valuta, dan tujuan transaksi. Batasan transaksi US$10.000 ini setidaknya sama dengan batasan yang diterapkan oleh AS sejak tahun 1970 yang mewajibkan bank harus melaporkan penerimaan di atas US$10.000 dan menggolongkannya sebagai transaksi mencurigakan (suspicious transaction).
Dilanjutkan Peraturan Bank Indonesia (PBI) Nomor 3 Tanggal 18 Juni 2001 tentang Penerapan Prinsip Mengenal Nasabah (know your customer principles). Dua hari kemudian Indonesia bergabung dalam kelompok regional antipencucian uang Asia Pasifik (Asia Pacific Group on Money Laundering, APGML). Dengan berbagai langkah teknis dan kebijakan hukum ini maka 7 tahun setelah PPATK berdiri maka Indonesia tetap lolos dari black list.
FATF akan terus memonitor perkembangan dengan mengacuh pada 40 prinsip dan komitmen globalnya. OECD menetapkan 40 komitmen yang harus diterapkan guna menentukan keluar masuknya sebuah negara ke dalam daftar NCCT, dan ini bergantung pada kemauan negara tersebut. Sebanyak 40 buah rekomendasi anti pencucian uang ini dimonitor oleh FATF (satuan penugasan dari OECD untuk mengawasi anti pencucian uang).
Berakhirnya tax heaven berdampak positif bagi pemasukan pajak Indonesia khususnya dari golongan nasabah kaya (high net worth individual: HNWI). Sehingga kontribusinya bagi penerimaan pajak akan naik. Meski ada pendapat sebaliknya. Jika seluruh negara telah menerapkan globalisasi standar pajak internasional dan membuka kerahasiaan nasabah maka hal ini positif, meski perlu waktu.
Keputusan G-20 Summit ini perlu dicermati oleh pemerintah agar bisa menarik manfaat dari globalisasi standar pajak internasional dan dibukanya rahasia nasabah (bank secrecy) di tax heaven kawasan offshore centre. Terdapat potensi untuk mengenakan pajak bagi nasabah yang hengkang dari tax heaven dan tentu saja ini membutuhkan peningkatan kualitas dan kuantitas aparat pajak.
Selain nasabah kaya juga masih ada potensi lain yaitu perusahaan-perusahaan asal Indonesia yang juga mendirikan perusahaan di tax heaven untuk berbagai tujuan bisnis. Tidak heran jika saat ini terdapat ratusan perusahaan usia balita tetapi punya aset puluhan triliun rupiah dan berdomisili di tax heaven. Perusahaan itu laksana "bayi bongsor" yang perlu diperhatikan eksistensinya secara positif demi kebaikan dan kemakmuran negara tanpa merugikan dunia usaha.



Makalah Filsafat Pancasila: Perlindungan HAM berdasarkan Pancasila Setelah Amandemen UUD 1945

Perlindungan Hak Asasi Manusia berdasarkan Pancasila

Setelah Amandemen Undang-Undang Dasar 1945[1]

Oleh: Kukuh Fadli Prasetyo[2]

1. Pendahuluan

1.1 Latar Belakang

Keberadaan isu hak asasi manusia mulai dihembuskan paska perang dunia, yaitu Tahun 1945. Gagasan tersebut bermula saat timbul kesadaran kebiadaban dan kejahatan yang mengancam hak asasi manusia pada saat perang dunia kedua meletus. Dan tindak lanjutnya baru terlihat saat universal human rights ditandatangani.

Di Indonesia, pasang surut pengakuan hak asasi manusia berlangsung pada medio 1945-1998. Pada masa 1945-1966, euforia kemerdekaan Indonesia juga membawa imbas yang cukup besar bagi pengakuan hak asasi manusia. Hal demikian itu terlihat pada satu kalimat yang menyatakan bahwa penjajahan di atas dunia harus dihapuskan karena tidak sesuai dengan perikemanusiaan dan perikeadilan.

Namun euforia kemerdekaan itu berakhir pada akhir pemerintahan orde lama, pada kurun waktu 1965-1967. Hal tersebut tergambar pasca peristiwa G-30-S/PKI, dimana banyak orang-orang dibunuh, atau dihilangkan nyawanya secara paksa, tanpa adanya putusan pengadilan terlebih dahulu. Sungguh sebuah sejarah bangsa yang masih menyimpan kontroversi hingga saat ini.

Setelah lengsernya orde lama dan digantikan oleh orde baru, isu penegakan hak asasi manusia sebenarnya telah dijadikan dasar berpijak bagi orde pemerintahan yang berkuasa sejak 1966-1998. Namun, pada perjalanannya, pemerintahan yang dijalankan oleh seorang diktator tunggal ini pun harus menginfiltrasikan konsep militer dalam menjaga eksistensi pemerintahan. Pun, sebagai konsekuensinya, militer harus menekan masyarakat sipil untuk memberikan pengakuan dan kesanggupan untuk tunduk pada kekuasaan pemerintahan orde baru.

Maka, pada masa pemerintahan orde baru ada banyak kasus pelanggaran hak asasi manusia yang terjadi. Namun kekuasaan pemerintah yang didukung secara ekstrem oleh kekuatan militer telah memaksa negara ini untuk terus dan terus melakukan pelanggaran hak asasi manusia demi menegakkan konsep pemerintahan berdiktator tunggal ini.

Kemudian pada 21 Mei 1998, sand Diktator Tunggal, Soeharto, menyatakan mundur dari kekuasaannya sebagai Presiden Republik Indonesia. Momen itulah yang menjadi awal bagi proses amandemen terhadap Undang-Undang Dasar 1945. Adapun amandemen yang dilakukan tersebut diarahkan untuk memberikan perlindungan konstitusional bagi warga negara, termasuk mengakomodasi keberadaan hak asasi manusia.

Dengan demikian, masa 1999 hingga saat ini adalah masa-masa dimana pengakuan terhadap hak asasi manusia telah mendapat tempat yang lebih baik daripada masa-masa sebelumnya. Namun terdapat hal-hal yang perlu ditelaah dalam kaitannya dengan pengakuan hak asasi manusia yang diakomodasi oleh Undang-Undang Dasar 1945 setelah amandemen.

1.2 Rumusan Masalah

1. Apakah perlindungan terhadap hak asasi manusia yang terdapat dalam Undang-Undang Dasar bertalian erat dengan tindakan Pemerintah Indonesia?

2. Bagaimanakah mekanisme untuk menegakkan perlindungan terhadap hak asasi manusia di Indonesia?

2. Pembahasan

2.1 Pertalian antara Perlindungan Hak Asasi Manusia yang Diatur dalam Undang-Undang Dasar 1945 dengan Tindakan Pemerintah Indonesia

Konstitusi, bagaimanapun, sebagaimana banyak ditafsirkan melalui materialisasi teks-teks telah memperlihatkannya sebagai konfigurasi politik yang bekerja. Artinya, konstitusi merupakan persepakatan secara sadar oleh para pembuat maupun pengambil kebijakan dengan sejumlah pemahaman dan kepentingan yang mereka miliki. Oleh sebab itu konstitusi, meski dipercaya dalam idenya memiliki nilai-nilai dan makna yang maha penting dalam menata kehidupan ketatanegaraan, sosial, ekonomi dan politik, ia tetaplah sebagai hasil dari pergesekan dan tarik-menarik representasi politik-ekonomi dominan yang memiliki kekuasaan tertentu dalam mempengaruhinya. Itupun belumlah menjamin konsistensi berlakunya dalam kebijakan-kebijakan negara.

Kita mungkin dengan mudah menyatakan bahwa paradigma pembangunanisme dan stabilisasi politik ekonomi dengan cara-cara kekerasan selama rezim Soeharto tidaklah mencerminkan penghormatan, perlindungan dan pemenuhan hak asasi manusia. Penculikan, intimidasi, penyiksaan, pembunuhan, pembantaian massal, adalah sederetan cara kekerasan yang dominan terjadi ketika rakyat menolak atau melawan kebijakan dan paradigma negara Orde Baru. Stigmatisasi “anti pembangunan” atau “antek PKI” demikian mudah meluncur dari mulut birokrat maupun politisi untuk menghajar rakyat, sehingga banyak sekali kekerasan secara sistematik, baik menggunakan peradilan maupun tanpa peradilan, seperti banyaknya penghilangan dan pembunuhan di luar proses peradilan (extra-judicial killings). Sakralisasi UUD 1945, peradilan beserta institusi hukum lainnya menjadi alat kekerasan, hukum diproduksi untuk pemenuhan kepentingan penguasa dan sekaligus menyingkirkan rakyat, kebebasan berekspresi ditekan dan sangat dibatasi. Kekerasan negara telah menjadi bagian dari paradigmanya.

Kini situasinya ‘berbalik’, lebih-lebih pasca amandemen UUD 1945. Desakralisasi UUD 1945 dengan empat kali amandemen, program reformasi peradilan didukung banyak pihak, termasuk secara politik dan didanai sejumlah lembaga donor asing, hukum-hukum represif telah banyak yang dicabut dan digantikan dengan sejumlah perundang-undangan yang lebih terbuka proses pembentukannya, kran kebebasan berekspresi kini relatif terbuka cukup lebar, dan (apalagi) ditopang oleh banyaknya pasal-pasal hak asasi manusia. Jimly Asshidiqqie menegaskan bahwa secara keseluruhan dapat dikatakan bahwa ketentuan-ketentuan tentang hak-hak asasi manusia telah diadopsikan ke dalam sistem hukum dan konstitusi Indonesia itu berasal dai berbagai konvensi internasional dan deklarasi universal hak asasi manusia serta berbagai instrumen hukum internasional lainnya.

Kekerasan negara seakan telah berkurang, meskipun sesungguhnya masih saja kerap terjadi, termasuk pelanggengan impunitas. Dalam konteks demikian, nampak jelas bahwa politik hak asasi manusia pasca amandemen UUD 1945 yang dibangun pemerintah inkonsisten dalam implementasinya.

Meskipun demikian, perlu pula dipahami bahwa Negara telah mengubah animasi politik hak asasi mausianya dengan memperkenalkan diskursus dominan hak asasi manusia yang dilekatkan dengan kepentingan liberalisasi pasar. Diskursus dominan tersebut menyulitkan publik untuk mengatakan inkonsisten dalam sejumlah kerangka implementatifnya, karena hukum beserta produk perundang-undangannya direproduksi justru untuk melegalisasikan kebijakan represif. Oleh sebabnya, tidak begitu mengherankan bila politik pembaruan hukum di Indonesia lebih diarahkan pada disain neo-liberal.

Namun dalam kerangka hukum disain neo-liberal, politik yang demokratis memanglah sangat diharapkan untuk menunjang pembaruan hukum, bukan bercorak politik otoritarian. Maka, secara paradigmatik, proses-proses untuk mendisiplinkan demokrasi diperlukan sebagai prasyarat untuk menginjeksikan program-program pembaruan hukum beserta kelembagaannya, seraya tetap ramah pada liberalisasi pasar. Dalam kaitannya dengan hak asasi manusia, program-program pembaruan hukum dikemas dengan bingkai diskursus yang disahihkan melalui sirkuit kekuasaan dan legitimasi intelektual dalam bentuk good governance, access to justice, dan poverty reduction strategic programs. Oleh sebabnya, tidak terlampau terkejut karena dukungan pendanaan demikian deras mengalir tidak saja kepada pemerintah, melainkan pula bagi organisasi non-pemerintah, termasuk forum-forum multi-stakeholder yang menjadi “jembatan” komunikasi dan proyek bersama.

Pendisiplinan pembaruan dalam paradigma ini kongkritnya adalah ‘kerangka hukum untuk pembangunan’ (legal framework for development) yang didesakkan Bank Dunia, baik secara langsung maupun melalui ‘titipan’ ke lembaga donor dan multi-stakeholder lainnya, telah berhasil memistifikasi peran-peran strategis organisasi non-pemerintah melalui model ‘partisipasi-kemitraan’ dan menyebabkannya tidak lagi peka terhadap problem mendasar hak-hak asasi manusia.

Sederetan perundang-undangan yang merupakan prasyarat utang (baca: pesanan) proponen neo-liberal menjadi dominan terjadi pasca jatuhnya Soeharto di 1998, dan ini beriringan dengan reformasi hukum. Tiga gelombang undang-undang perburuhan sejak 1997 hingga 2006 telah nyata merepresi secara halus dan sistematik hak-hak buruh di Indonesia (softhening rights violations), melalui strategi tekanan upah buruh murah, meliberalkan persyaratan kerja bagi pekerja asing, outsourcing (perjanjian kerja waktu tertentu), kemudahan pengusaha untuk memecat dan merekrut buruh, liberalisasi aturan pesangon dan jaminan sosial, liberalisasi mekanisme penyelesaian perselisihan buruh-pengusaha, dan kebijakan kelenturan pasar buruh. Bagi buruh Indonesia yang kondisinya surplus dan rentan di-PHK, maka tekanan neo-liberal tersebut telah nyata bertentangan dengan hak-hak konstitusional, utamanya hak atas pekerjaan dan penghidupan yang layak (pasal 27 ayat 2) dan hak untuk bekerja serta mendapat imbalan dan perlakuan yang adil dan layak dalam hubungan kerja (pasal 28D ayat 2). Begitu juga terhadap privatisasi dan komersialisasi sumberdaya alam melalui UU Sumberdaya Air dan UU Penanaman Modal Asing, kian melengkapi disain legalisasi pelanggaran hak-hak konstitusional atau hak asasi manusia (legalized violation of human rights).

Keberhasilan mistifikasi yang demikian lebih disebabkan kecanggihan teknologi kekuasan mereproduksi diskursus good governance, access to justice, dan poverty reduction strategic programs, yang dalam prakteknya justru memperlihatkan kekuatan dominan neo-liberal yang mensubversi hak-hak asasi manusia. Dalam konteks demikian, mistifikasi atas kekuatan yang tidak berimbang telah cukup menyilaukan publik antara mana yang disebut human rights movement dengan human rights market friendly.

Jaminan kerangka normatif melalui konstitusionalisasi hak-hak asasi manusia telah dikooptasi dengan paradigma hak asasi manusia ramah pasar, yang tidak lagi menyoal konsisten dan inkonsisten (secara hukum), melainkan nyata sekali inkoheren antara teks (kerangka normatif dan kebijakan), konteks dan dinamika teks-konteksnya.

2.2 Mekanisme dalam Penegakan Perlindungan terhadap Hak Asasi Manusia di Indonesia

Dalam pasal 28I ayat (4) UUD 1945 pasca amandemen jelas menunjukkan tanggung jawab negara dalam HAM. Sedangkan dalam pasal 28I ayat (5) menegaskan penegakan dan perlindungan hak asasi manusia yang sesuai dengan prinsip negara hukum yang demokratis, maka pelaksanaan hak asasi manusia dijamin, diatur, dan dituangkan dalam peraturan perundang-undangan.

Rumusan kata ‘dalam’ pada pasal 28I ayat (5), “....dijamin, diatur, dan dituangkan dalam peraturan perundang-undangan” memberikan arti bahwa hak asasi manusia tidak hanya diatur dengan suatu perundang-undangan khusus, melainkan ‘dalam’ segala perundang-undangan yang tidak sekalipun mengurangi substansi hak asasi manusia dalam konstitusi. Konsep yang demikian haruslah dipahami oleh Negara sebagai konsep pentahapan maju kewajiban hak asasi manusia dan perlindungan hak-hak konstitusional melalui strategi legislasi (progressive realization).

Sejak amandemen konstitusi, dalam konteks kebijakan dan legislasi, salah satu mekanisme tambahan selain gugatan ke Pengadilan Tata Usaha Negara dan Mahkamah Agung, yang bisa memberikan perlindungan hak-hak konstitusional adalah Mahkamah Konstitusi yang memiliki wewenang mengadili pada tingkat pertama dan terakhir yang putusannya bersifat final untuk menguji undang-undang terhadap Undang-Undang Dasar (pasal 24C ayat 1). Wewenang Mahkamah Konstitusi yang bisa menjadi benteng perlindungan ketika hak-hak konstitusional dilanggar, adalah sangat penting dalam kehidupan demokrasi yang menegaskan keseimbangan kekuasaan, dalam konteks ini antara kekuasaan legislasi dan kekuasaan yudisial. Pertarungan politik legislasi, pesanan paket perundangan tertentu, atau mungkin kelemahan sumberdaya manusia di parlemen dalam membentuk suatu produk hukum, yang kesemuanya setiap saat bisa terjadi, bisa ‘dikoreksi’ maupun ‘dibatalkan’ melalui gugatan ke Mahkamah Konstitusi. Meskipun demikian, perlindungan hak-hak konstitusional belum tentu benar-benar bisa dijamin melalui mekanisme tersebut, karena sangat bergantung dengan otoritas penafsiran mayoritas melalui putusan sembilan hakim.

Misalnya, Putusan Mahkamah Konstitusi No. 012/PUU-I/2003, tertanggal 28 Oktober 2004, judicial review UU No. 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan, mayoritas hakim Mahkamah Konstitusi berpendapat liberalisasi outsourcing bukanlah persoalan yang bertentangan hak asasi manusia atau hak konstitusional. Begitu juga Putusan Mahkamah Konstitusi No. 006/PUU-IV/2006 dan No. 020/PUU-IV/2006, judicial review UU No. 27 Tahun 2004 tentang Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi, mayoritas hakim Mahkamah Konstitusi berpendapat membatalkan keseluruhan isi undang-undang tersebut, tanpa melihat aspek dampak terhadap korban dan keluarga korban yang kian tidak jelas proses rehabilitasi dan kompensasinya, termasuk pertanggungjawaban pelaku kejahatan hak asasi manusia. Putusan tersebut dirasakan memperkuat pelanggengan impunitas yang sudah pekat terjadi di Indonesia.6 Menurut catatan Elsam, setidaknya putusan Mahkamah Konstitusi tersebut berdampak pada: (i) Hilangnya kerangka hukum bagi narasi korban: terbukanya kembali ruang pengingkaran tanggung jawab negara atas kekerasan masa lalu; (ii) Hilangnya roh pengungkapan kebenaran dan keberlangsungan praktek impunitas.

Meskipun demikian, dalam sistem ketatanegaraan Indonesia, eksistensi Mahkamah Konstitusi haruslah diperkuat sebagai lembaga yang bisa menyeimbangkan kekuasaan Negara, baik kekuasaan legislatif maupun kekuasaan eksekutif. Beberapa Putusan MK juga perlu diapresiasi sebagai bentuk perlindungan hak-hak konstitusional, seperti salah satunya dalam Putusan MK No. 011-017/PUU-I/2003, judicial review UU No. 12 Tahun 2003 tentang Pemilu Anggota DPR, DPD dan DPRD. Dalam putusan ini, mayoritas hakim MK mengabulkan gugatan pemohon dengan substansi pemulihan hak-hak kewarganegaraan (hak-hak sipil dan politik) para anggota/simpatisan PKI.

Dalam rangka membangun mekanisme yang melindungi secara lebih kuat hak-hak konstitusional warga negara, negara lain, contohnya Jerman, di dalam konstitusinya telah memasukkan ketentuan tentang hak gugat konstitusional (constitutional complaint). Namun, Undang-Undang Dasar 1945 pasca amandemen masih belum memberikan jaminan constitutional complaint. Padahal bagi warga negara yang hak-hak dasarnya dilanggar (constitutional injury) senantiasa berhadapan dengan mekanisme apa yang bisa digunakan. Dengan demikian dengan adanya mekanisme constitutional complain, hambatan-hambatan demikian dapat direduksi.

3. Penutup

3.1 Kesimpulan

Masih banyaknya tindakan pemerintah yang tergambar melalui pembentukan aturan untuk mengkongkretkan kebijakannya adakalanya mempunyai resistensi tinggi untuk melindungi perlindungan terhadap hak asasi manusia. Contohnya adalah masalah konkretisasi peraturan perundang-undangan ketenagakerjaan yang masih menempatkan buruh sebagai pihak yang lemah dengan perlindungan hukum yang minim.

Dengan demikian, jaminan kerangka normatif melalui konstitusionalisasi hak-hak asasi manusia telah dikooptasi dengan paradigma hak asasi manusia ramah pasar, yang tidak lagi menyoal konsisten dan inkonsisten (secara hukum), melainkan nyata sekali inkoheren antara teks (kerangka normatif dan kebijakan), konteks dan dinamika teks-konteksnya.

Mahkamah Konstitusi yang memiliki wewenang mengadili pada tingkat pertama dan terakhir yang putusannya bersifat final untuk menguji undang-undang terhadap Undang-Undang Dasar (pasal 24C ayat 1). Wewenang Mahkamah Konstitusi yang bisa menjadi benteng perlindungan ketika hak-hak konstitusional dilanggar, adalah sangat penting dalam kehidupan demokrasi yang menegaskan keseimbangan kekuasaan, dalam konteks ini antara kekuasaan legislasi dan kekuasaan yudisial. Pertarungan politik legislasi, pesanan paket perundangan tertentu, atau mungkin kelemahan sumberdaya manusia di parlemen dalam membentuk suatu produk hukum, yang kesemuanya setiap saat bisa terjadi, bisa ‘dikoreksi’ maupun ‘dibatalkan’ melalui gugatan ke Mahkamah Konstitusi.

3.2 Saran-Saran

1. Perlu adanya penguatan Lembaga Mahkamah Konstitusi untuk memberikan supremasi bagi Mahkamah Konstitusi dalam mengawal dan menegakkan perlindungan hak konstitusional yang di dalamnya juga tercakup hak asasi manusia.

2. Berkaitan dengan constitutional complain yang sudah berkembang di negara lain, mungkin perlu untuk diperhatikan untuk mengakomodasi keberadaan constitutional complain dalam peraturan perundang-undangan kaitannya dengan kewenangan Mahkamah Konstitusi.

DAFTAR PUSTAKA

Asshiddiqie, Jimly. 2009. Pengantar Ilmu Hukum Tata Negara. Jakarta: Rajawali Pers.

http://herlambangperdana.files.wordpress.com/2008/06/herlambang-ham-setelah-amademen-uud-1945a2.pdf

Indrayana, Denny. 2008. Negara Antara Ada Dan Tiada: Reformasi Hukum Ketatanegaraan. Jakarta: PT Kompas Media Nusantara.

Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia 1945 Setelah Amandemen



[1] Disusun untuk memenuhi nilai tugas mata kuliah Filsafat Pancasila

[2] Mahasiswa Fakultas Ekonomi Jurusan Akuntansi dan Fakultas Hukum Jurusan Hukum Tata Negara Universitas Jember

Makalah Hukum Kebendaa: Tinjauan Yuridis terhadap Hipotik Kapal Laut

TINJAUAN YURIDIS TERHADAP

HIPOTIK KAPAL LAUT[1]

Oleh: Kukuh Fadli Prasetyo[2]

1. Pendahuluan

1.1 Latar Belakang

Dari sisi legalitas, adanya undang-undang yang mengatur hipotik kapal tentunya akan memberikan kepastian hukum bagi para pihak. Contohnya, bagi pelaku industri perkapapalan dan bank sebagai lembaga pembiayaan, adanya suatu undang-undang yang mengatur hipotek atas kapal juga diharapkan dapat mendorong pertumbuhan pembiayaan perbankan.

Dalam beberapa kesempatan, pastinya perusahaan perkapalan membutuhkan tambahan modal kerja dalam jumlah yang cukup banyak. Dan tentunya kebutuhan modal kerja yang cukup banyak itu dapat terpenuhi melalui suatu perjanjian kredit antara perusahaan perkapalan dengan lembaga perbankan seperti bank.

Umumnya, perjanjian kredit yang menempatkan bank sebagai kreditur dan perusahaan perkapalan sebagai debitur ini menambahkan perjanjian tambahan (assesor) dalam perjanjian pokoknya. Perjanjian kredit antara bank dan perusahaan perkapalan merupakan perjanjian pokok, sedangkan perjanjian tambahannya dapat berupa perjanjian hipotik atas kapal.

Bank sebagai pemberi kredit (kreditur), dalam rangka pemberian kredit/pembiayaan kepada masyarakat harus hati-hati (prudent) karena dana yang disalurkan bank pada dasarnya bukan milik bank sendiri, melainkan bersumber dari dana masyarakat dalam bentuk simpanan masyarakat. Oleh karena itu, dalam memberikan pembiayaan kepada debitur, bank harus meminimalkan risiko dengan membuat perjanjian hipotik atas kapal tadi.

Salah satu bentuk upaya untuk meminimalkan risiko ini bisa dilakukan dengan membuat perjanjian tambahan seperti perjanjian hipotik atas kapal. Ini merupakan salah satu bentuk jaminan kebendaan, dimana jaminan ini biasa disebut dengan agunan atau kolateral.

Dalam sejarah hipotek, lembaga hipotek diberlakukan sebagai jaminan yang melekat pada seluruh benda tidak bergerak, tetapi dalam perkembangannya jaminan atas tanah sebagai salah satu benda tidak bergerak telah diatur dalam lembaga sendiri yaitu hak tanggungan. Benda tidak bergerak yang masih dapat dijadikan obyek hipotek antara lain adalah kapal laut dengan ukuran isi kotor sekurang-kurangnya 20 m3.

Saat ini di Indonesia hipotek kapal laut tunduk pada Kitab Undang-undang Hukum Dagang (KUHD) dan konvensi internasional yang telah diratifikasi Indonesia, yaitu Konvensi Internasional tentang Piutang Maritim dan Mortgage 1993. Selain itu, pengaturan hipotek yang terdapat di dalam Kitab Undang-undang Hukum Perdata sebagian berlaku juga bagi hipotek kapal laut. Dalam KUHD, diatur bahwa kapal yang dibukukan dalam register kapal dapat diletakkan hipotek.

Selanjutnya diatur pula tentang tingkatan di antara segala hipotek satu sama lain, yang ditentukan berdasarkan hari pembukuan. Hipotek yang dibukukan pada hari yang sama, mempunyai tingkat yang sama pula. KUHD mengatur pula bahwa apabila sebuah kapal tidak lagi merupakan sebuah kapal Indonesia, maka segala piutang hipotek menjadi dapat ditagih walaupun piutang tersebut belum jatuh tempo. Piutang-piutang yang dimaksud, sampai saat dilunasinya, tetap dapat diambilkan pelunasannya dari kapal tersebut, secara mendahulukannya dari pada piutang-piutang yang terbit kemudian, biarpun piutang-piutang yang belakangan ini didaftarkan di luar wilayah Indonesia. Apabila kapal yang dihipotekkan dilelang-sita di luar wilayah Indonesia, maka kapal itu tidak dibebaskan dari hipotek yang diletakkan di atasnya.

1.2 Permasalahan

Dari bab pendahuluan di awal, timbul beberapa permasalahan yang akan dibahas dan dipecahkan dalam bab pembahasan. Adapun rumusan masalah tersebut adalah sebagai berikut:

1. Apakah jaminan kebendaan itu?

2. Bagaimana kedudukan hipotik setelah keluarnya Undang-Undang No. 4 Tahun 1996 tentang Hak Tanggungan Atas Tanah dan Beserta Benda-Benda Yang Berkaitan Dengan Tanah?

3. Bagaimana kedudukan hukum bagi jaminan hipotik kapal?

2. Pembahasan

2.1 Jaminan Kebendaan

Jaminan yang bersifat kebendaan adalah jaminan yang berupa hak mutlak atas sesuatu benda, yang mempunyai ciri-ciri mempunyai hubungan langsung atas benda tertentu dari debitur, dapat dipertahankan terhadap siapa pun, selalu mengikuti bendanya dan dapat diperalihkan (contoh: hipotik, hak tanggungan gadai, dan lain-lain).

Jaminan kebendaan dapat berupa jaminan benda bergerak dan benda tidak bergerak. Benda bergerak adalah kebendaan yang karena sifatnya dapat berpindah atau dipindahkan atau karena undang-undang dianggap sebagai benda bergerak, seperti hak-hak yang melekat pada benda bergerak.

Benda bergerak dibedakan lagi atas benda berwujud atau bertubuh. Pengikatan jaminan benda bergerak berwujud dengan gadai atau fiducia, sedangkan pengikatan jaminan benda bergerak tidak berwujud dengan gadai, cessie, dan account receivable.

Jaminan kebendaan diatur dalam Buku II KUH Perdata serta Undang-undang lainnya, dengan bentuk, yaitu:

1) Gadai diatur dalam KUH Perdata Buku II Bab XX Pasal 1150-1161, yaitu suatu hak yang diperoleh seorang kreditur atas suatu barang bergerak yang diserahkan oleh debitur untuk mengambil pelunasan dan barang tersebut dengan mendahulukan kreditur dari kreditur lain.

2) Hak tanggungan; Undang-Undang No.4 Tahun 1996, yaitu jaminan yang dibebankan hak atas tanah, berikut atau tidak berikut benda-benda lain yang merupakan suatu ketentuan dengan tanah untuk pelunasan hutang tertentu, yang memberikan kedudukan yang diutamakan pada kreditur terhadap kreditur lain.

3) Fiducia, Undang-Undang No.42 Tahun 1999, yaitu hak jaminan atas benda bergerak baik yang berwujud maupun yang tidak berwujud dan benda tidak bergerak khususnya bangunan yang tidak dibebani hak tanggungan sebagai agunan bagi pelunasan hutang tertentu yang memberikan kedudukan utama pada kreditur terhadap kreditur lain.

[3]Adapun jaminan-jaminan kebendaan di atas bersifat assesor dari perjanjian pokok atau dengan kata lain hanya “jaminan tambahan” semata-mata, yakni tambahan atas jaminan utamanya berupa jaminan atas barang yang dibiayai dengan kredit tersebut.

2.2 Kedudukan Hipotik Setelah Keluarnya Undang-Undang No. 4 Tahun 1996

Sebelumnya, pengaturan mengenai hipotik atau di undang-undang disebutkan dengan hypotheek ini berada di Pasal 57 UU No. 5 Tahun 1960. Adapun bunyi dari Pasal UU No. 5 Tahun 1960 adalah sebagai berikut:

Selama Undang-undang mengenai hak tanggungan tersebut dalam pasal 51 belum terbentuk, maka yang berlaku ialah ketentuan-ketentuan mengenai hypotheek tersebut dalam Kitab Undang-undang Hukum Perdata Indonesia dan Credietverband tersebut dalam Staatsblad .1908 No. 542 sebagai yang telah diubah dengan Staatsblad 1937 No. 190.

Pasca dikeluarkannya Undang-Undang No. 4 Tahun 1996 tentang Hak Tanggungan Atas Tanah dan Beserta Benda-Benda Yang Berkaitan Dengan Tanah, terdapat perubahan mendasar dalam pengaturan hipotik.

[4]Dalam pasal 24 UU No.4 Tahun 1996 tentang Hak Tanggungan ditetapkan ketentuan sebagai berikut:

Hak Tanggungan yang ada sebelum berlakunya Undang-Undang ini, yang menggunakan ketentuan Hypotheek atau Credietverband berdasarkan Pasal 57 Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-pokok Agraria diakui, dan selanjutnya berlangsung sebagai Hak Tanggungan menurut Undang-Undang ini sampai dengan berakhirnya hak tersebut.

Adapun untuk hipotik dan credietverband sebagai dimaksud di dalam Pasal 24 ayat 1 sebagaimana disebut di atas, menurut Pasal 24 UU No. 4 Tahun 1996 tentang Hak Tanggungan Atas Tanah dan Beserta Benda-Benda Yang Berkaitan Dengan Tanah, pelaksanaan ekskusi dan pencoretan dapat menggunakan ketentuan yang ada di dalam Pasal 20 dan Pasal 22 UU No. 4 Tahun 1996 tentang Hak Tanggungan Atas Tanah dan Beserta Benda-Benda Yang Berkaitan Dengan Tanah, setelah Buku Tanah dan Sertipikat Hak Tanggungan yang bersangkutan disesuaikan dengan ketentuan sebagaimana dimaksud oleh Pasal 14 UU No. 4 Tahun 1996 tentang Hak Tanggungan Atas Tanah dan Beserta Benda-Benda Yang Berkaitan Dengan Tanah.

Perihal dapat atau tidaknya pelaksanaan ekskusi hipotik menurut UU No. 4 Tahun 1996 dapat diperoleh dari Pasal 26 undang-undang ini yang berbunyi sebagai berikut:

Selama belum ada peraturan perundang-undangan yang mengaturnya, dengan memperhatikan ketentuan dalam Pasal 14, peraturan mengenai eksekusi hypotheek yang ada pada mulai berlakunya Undang-Undang ini, berlaku terhadap eksekusi Hak Tanggungan.

Dengan demikian,berarti kita baru bisa menggunakan ketentuan ekskusi hipotik, setelah diadakan penyesuaian sesuai dengan apa yang ditentukan di dalam Pasal 14 UU No. 4 Tahun 1996 tentang Hak Tanggungan Atas Tanah dan Beserta Benda-Benda Yang Berkaitan Dengan Tanah.

2.3 Kedudukan Hukum Bagi Hipotik Kapal

Salah satu bentuk dari jaminan hipotik di Indonesia adalah hipotik atas kapal laut. Keberadaan jaminan hipotik ini sangat membantu perusahaan perkapalan dalam memenuhi dan menjalankan modal kerjanya agar dapat menyelenggarakan kegiatan operasionalnya.

Tentunya, hipotik atas kapal laut ini akan melibatkan dua pihak. Dua pihak itu adalah perusahaan perkapalan sebagai debitur dan lembaga perbankan, seperti bank, sebagai kreditur.

Hubungan hukum antara perusahaan perkapalan dan lembaga perbankan, dalam hal ini adalah bank, perlu ditetapkan suatu ketentuan hukum. Dengan adanya ketentuan hukum, maka terdapat aturan baku dalam melaksanakan perbuatan hukum di antara kedua belah pihak.

[5]Pada tanggal 7 Mei 2008 telah diundangkan Undang-Undang Nomor 17 tahun 2008, tentang Pelayaran, di dalam pasal 60-64 diatur mengenai hipotik kapal, namun peraturan pelaksananya belum dibuat. Mengenai Hipotik Kapal ini awalnya diatur dalam Kitab Undang-Undang Hukum Dagang dan Kitab Undang-Undang Hukum Perdata.

Kitab Undang-undang Hukum Dagang mengatur tentang Hipotik dalam Pasal 314 ayat 3. Dalam ketentuan tersebut, hipotik dapat dibebankan pada kapal-kapal yang dibukukan dalam register kapal, kapal-kapal dalam pembuatan. Adapun bunyi dari Pasal 314 ayat 3 Kitab Undang-Undang Hukum Dagang ini adalah:

[6]Atas kapal-kapal yang dibukukan dalam register kapal, kapal-kapal dalam pembukuan, dan andil-andil dalam kapal-kapal dan kapal-kapal dalam pembuatan itu dapat diletakkan hipotik.

Pada asasnya berdasarkan ketentuan Pasal 510 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata yang berbunyi sebagai berikut:

[7]Kapal-kapal, perahu-perahu, perahu tambang, gilingan-gilingan dan tempat-tempat pemandian yang dipasang di perahu atau yang berdiri, terlepas dari benda-benda sejenis itu merupakan benda bergerak.

Pengecualian bagi kapal-kapal yang terdaftar, statusnya bukanlah benda bergerak, karena menurut ketentuan pasal 314 ayat 1 Kitab Undang-Undang Hukum Dagang, kapal-kapal yang didaftarkan dalam register kapal adalah kapal yang memiliki bobot isi kotor minimal 20 m³. Dengan demikian kapal dengan kondisi seperti ini dikategorikan sebagai benda tidak bergerak dan jika dijaminkan, lembaga yang digunakan adalah Hipotik. Sedangkan untuk kapal-kapal yang tidak terdaftar menggunakan lembaga jaminan gadai atau fidusia, karena merupakan benda bergerak.

[8]Yang termasuk dalam jaminan hipotik adalah kapal termasuk dengan segala alat perlengkapannya karena merupakan satu kesatuan dengan benda pokoknya (asas accesie/perlekatan), sebagai contoh: sekoci, rantai, jangkar.

[9]Langkah-langkah dalam pendaftaran hipotik kapal laut adalah sebagai berikut:

1. Debitur mengikatkan diri dengan Kreditur (bank/lembaga pembiayaan) dalam suatu Perjanjian Kredit dengan menyatakan menyerahkan kapal sebagai hipotik sebagai jaminan pelunasan hutangnya.

2. Perjanjian pemberian (pembebanan) hipotik. Kreditur nersama debitur atau bank sendiri berdasarkan Surat Kuasa memasang Hipotik menghadap Pejabat Pendaftar Kapal dan minta dibuatkan akta Hipotik Kapal.

Adapun dokumen yang diperlukan:

-Surat Permohonan dengan menyebutkan data kapal dan nilai penjaminan;

-Grosse Akta Pendaftaran Kapal;

-Surat Kuasa Memasang Hipotik.

3. Akta Hipotik didafatarkan dalam buku daftar. Saat selesainya pendafataran maka hak Pemegang Hipotik lahir.

Tingkatan hipotik dimungkinkan dan diurutkan berdasarkan hari pembukuan. Apabila dibukukan pada hari yang sama mempunyai tingkat yang sama. Dengan lahirnya hak hipotik, pemegang hipotik berhak untuk melaksanakan haknya atas kapal itu, di tangan siapapun kapal itu berada.

Apabila hutang sudah lunas, maka dilakukan roya/pencoretan hipotik di syahbandar dengan membawa dokumen:

-surat permohonan roya;

-surat tanda lunas dari kreditur;

-grosse akta pendaftaran hipotik; dan

-grosse akta pendaftaran kapal.

Dalam hal perusahaan perkapalan (shipping company) sebagai debitur gagal mengembalikan pembiayaan yang diterimanya kepada bank, ketentuan saat ini yang mengatur tentang eksekusi kapal laut adalah:

1. Pasal 224 HIR berkaitan dengan hipotek pada umumnya mengatur bahwa gross atau copy pertama yang otentik dari akte hipotek mempunyai status yang sama dengan putusan pengadilan yang berkekuatan hukum tetap sehingga pihak pemegang hipotek dapat meminta bantuan pengadilan untuk melakukan eksekusi atas obyek hipotek;

2. Dalam Kitab Undang-undang Hukum Perdata yang berlaku untuk hipotek atas kapal laut disebutkan bahwa pemegang hipotek dapat melakukan penjualan sendiri atas obyek hipotek yang prosedurnya dilakukan dengan cara lelang umum.

Berdasarkan hal-hal diatas dapat dikatakan bahwa sesuai peraturan perundang-undangan yang berlaku saat ini, secara hukum penjualan atas kapal laut yang menjadi obyek hipotek tidak terlalu sulit, akan tetapi mendapatkan harga yang sesuai dengan nilai penjaminannya merupakan hal yang relatif sulit dilakukan sehingga butuhkan adanya price stability untuk jual beli kapal.

[10]Dalam draft RUU Hipotek Kapal yang saat ini sedang dibahas oleh Depkumham, diatur bahwa Sertifikat hipotek mempunyai kekuatan eksekutorial yang sama dengan putusan pengadilan yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap dan ini berarti pihak pemegang hipotek dapat meminta bantuan pengadilan untuk melakukan eksekusi atas obyek tersebut dan sertifikat hipotek tersebut berlaku sebagai pengganti grosse akta hipotek.

[11]Berkaitan dengan itu, draft RUU Hipotek Kapal memberikan kebebasan kepada kedua belah pihak (debitur dan kreditur) untuk memperjanjikan dalam akta hipotek tentang hak untuk menjual atas kuasa sendiri bagi pemegang hipotek tersebut, dalam hal debitor yang bersangkutan ingkar janji.

Selanjutnya, prosedur penjualan kapal dalam draft RUU Hipotek Kapal diatur dengan cara pengumuman melalui minimal 2 (dua) surat kabar harian yang beredar di daerah yang bersangkutan dalam jangka waktu 1 (satu) bulan sejak diberitahukan secara terbuka oleh pemberi dan/atau pemegang hipotek kepada pihak-pihak yang berkepentingan. Penjualan dilakukan dengan cara pelelangan umum melalui seorang pejabat pelelangan sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Namun demikian, dalam draft RUU Hipotek Kapal juga diatur penjualan kapal oleh pemegang hipotek dapat dilakukan di bawah tangan jika dari penjualan tersebut dapat diperoleh harga yang tertinggi.

Terkait dengan kewenangan untuk mengambil alih kapal sebagai agunan, khusus untuk perbankan dalam kaitannya dengan penentuan kualitas aktiva terdapat pembatasan waktu kepemilikan atas agunan yang diambil alih. Selain itu, bank juga harus melakukan penilaian kembali atas agunan yang diambil alih untuk menetapkan net realizable value dari agunan dimaksud yang dilakukan pada saat pengambilalihan agunan.

Dalam pengambilalihan agunan ini, bank akan mengeluarkan biaya pengambilalihan dan pemeliharaan agunan yang diambil alih, dan oleh karena itu kiranya diperlukan mekanisme yang dapat mempercepat penjualan agunan.

Bagi bank sebagai kreditur, semakin lama jangka waktu pemilikan atas agunan yang diambil alih akan berpengaruh terhadap biaya yang harus dikeluarkan terkait dengan biaya pemeliharaan agunan. Selain itu, dapat pula berpengaruh pada kinerja bank karena akan menurunkan kualitas aktiva produktif bank dan terjadinya peningkatan pencadangan yang harus dibentuk oleh bank.

Ketentuan tersebut dimaksudkan untuk mendorong bank agar segera menjual agunan yang diambil alih, karena bank sebagai institusi keuangan yang memiliki fungsi intermediasi seyogianya tidak memiliki agunan yang diambil alih.

[12]Kembali pada eksekusi kapal, bahwa pada dasarnya pengaturan prosedur eksekusi kapal yang menjadi obyek hipotek sebagaimana diatur dalam draft RUU Hipotek Kapal adalah sama dengan peraturan yang berlaku saat ini, kesulitan yang mungkin timbul dalam lelang umum adalah penentuan acuan harga dasar lelang yang sangat sulit.

Bagi bank, kemudahan dalam menentukan harga sebuah agunan sangat penting dan menjadi salah satu faktor dalam penilaian proposal permohonan pembiayaan yang diajukan oleh calon debitur.

Sebagai bahan perbandingan, dalam praktek eksekusi jaminan yang terjadi saat ini, misalnya dalam hal eksekusi jaminan fidusia, akta jaminan fidusia juga memuat irah-irah “Demi Keadilan Berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa” sehingga akta tersebut mempunyai kekuatan eksekutorial yang sama dengan putusan pengadilan yang telah berkekuatan hukum tetap. Sebelum melakukan eksekusi jaminan fidusia melalui pelelangan umum, tetap diperlukan adanya suatu mekanisme permohonan sita eksekusi terlebih dahulu yang diajukan kepada Ketua Pengadilan Negeri yang berwenang.

Adapun apabila dalam perjalanannya, kapal laut yang dijadikan jaminan hipotik musnah, pastinya akan menimbulkan suatu akibat hukum. Pasal 1209 KUH Perdata mengatur bahwa hapusnya hipotek disebabkan karena:

a) hapusnya perikatan pokoknya;

b) pelepasan hipotek oleh si berpiutang; dan

c) karena penetapan hakim.

Hal ini berarti bahwa menurut Kitab Undang-Undang Hukum Perdata, musnahnya kapal yang menjadi obyek hipotek tidak termasuk dalam hal yang menyebabkan hapusnya hipotek. Oleh karena tidak ada pengaturan yang jelas mengenai akibat hukum dari musnahnya kapal laut yang menjadi obyek hipotek, hal tersebut tentunya dikembalikan pada kesepakatan antara debitur dengan kreditur pada perjanjian hipotek (sebagai perjanjian accesoir) atau perjanjian kredit (sebagai perjanjian pokok). Apabila dalam perjanjian tersebut diatur mengenai akibat hukum dari musnahnya kapal, maka dapat pula diatur mengenai asuransi atas musnahnya kapal sebagai jaminan terhadap pembayaran utang debitur.

[13]Instruksi Presiden No. 5 tahun 2005 telah menginstruksikan kepada menteri yang berwenang untuk melakukan dan merumuskan kebijakan-kebijakan sebagai berikut :

1. Setiap kapal yang dimiliki dan/atau dioperasikan oleh perusahaan pelayaran nasional, dan/atau kapal bekas/kapal baru yang akan dibeli atau dibangun di dalam atau di luar negeri untuk jenis, ukuran dan batas usia tertentu wajib diasuransikan sekurang-kurangnya untuk “Hull & Machineries” (rangka kapal);

2. Muatan/barang dan penumpang yang diangkut oleh perusahaan pelayaran nasional yang beroperasi baik di dalam negeri maupun di luar negeri, wajib diasuransikan;

3. Menetapkan kebijakan yang mendorong perusahaan asuransi nasional untuk bergerak di bidang asuransi perkapalan untuk menyesuaikan dengan standar kemampuan retensi asuransi perkapalan internasional.

Dengan adanya pengaturan mengenai kewajiban asuransi bagi perkapalan sebagaimana dimaksud di atas, diharapkan hal ini dapat memberikan jaminan kepastian pelunasan utang terhadap kreditur dalam hal terjadi ‘sesuatu’ terhadap kapal yang dijaminkan tersebut. Namun perlu diperhatikan bahwa kewajiban tersebut hanya sekurang-kurangnya atas rangka kapal. Oleh karena itu, kreditur harus melakukan analisis apakah nilai pertanggungan asuransi dimaksud mencukupi pembayaran seluruh kewajiban debitur.

[14]Selanjutnya, dalam draft RUU Hipotek Kapal tersebut juga diatur bahwa kreditur yang kreditnya dijamin oleh suatu hipotek kapal berhak untuk melaksanakan eksekusi jaminan yang terkait dengan kapal tersebut apabila debitur atau setiap orang yang menguasai kapal tersebut secara substansial diduga melakukan sesuatu tindakan atau kelalaian yang bersifat merugikan terhadap jaminan kreditur.

3. Penutup

Jaminan kebendaan dapat berupa jaminan benda bergerak dan benda tidak bergerak. Benda bergerak adalah kebendaan yang karena sifatnya dapat berpindah atau dipindahkan atau karena undang-undang dianggap sebagai benda bergerak, seperti hak-hak yang melekat pada benda bergerak.

Benda bergerak dibedakan lagi atas benda berwujud atau bertubuh. Pengikatan jaminan benda bergerak berwujud dengan gadai atau fiducia, sedangkan pengikatan jaminan benda bergerak tidak berwujud dengan gadai, cessie, dan account receivable.

Sesuai dengan apa yang ditentukan di dalam Pasal 14 UU No. 4 Tahun 1996 tentang Hak Tanggungan Atas Tanah dan Beserta Benda-Benda Yang Berkaitan Dengan Tanah, kita baru bisa menggunakan ketentuan ekskusi hipotik, setelah diadakan penyesuaian.

Dalam rangka pembiayaan pembelian kapal, maka kapal yang dibeli akan dijadikan agunan dan diikat dengan hipotek (hipotek kapal). Hal ini merupakan suatu tuntutan untuk memenuhi rasio kecukupan modal.

Yang termasuk dalam jaminan hipotik adalah kapal termasuk dengan segala alat perlengkapannya karena merupakan satu kesatuan dengan benda pokoknya (asas accesie/perlekatan), sebagai contoh: sekoci, rantai, jangkar.

Prosedur penjualan kapal dalam draft RUU Hipotek Kapal diatur dengan cara pengumuman melalui minimal 2 (dua) surat kabar harian yang beredar di daerah yang bersangkutan dalam jangka waktu 1 (satu) bulan sejak diberitahukan secara terbuka oleh pemberi dan/atau pemegang hipotek kepada pihak-pihak yang berkepentingan. Penjualan dilakukan dengan cara pelelangan umum melalui seorang pejabat pelelangan sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Namun demikian, dalam draft RUU Hipotek Kapal juga diatur penjualan kapal oleh pemegang hipotek dapat dilakukan di bawah tangan jika dari penjualan tersebut dapat diperoleh harga yang tertinggi.

Sebelum memutuskan untuk menyetujui hipotik kapal, pihak bank harus memperhitungkan nilai agunan yang diajukan dalam pengajuan proposal untuk memberikan pinjaman bagi pembiayaan modal kerja perusahaan perkapalan. Perhitungan nilai agunan itu erat kaitannya dengan penentuan harga dasar lelang. Sehingga, dengan adanya kemudahan dalam penilaian agunan, akan sangat penting bagi bank. Namun, hal ini juga turut menambah risiko meningkatnya biaya yang harus dikeluarkan dan dibutuhkannya waktu yang lebih lama sehubungan dengan proses eksekusi jaminan tersebut.

Untuk mengatasi permasalahan di kemudian hari, apabila kapal yang dijaminkan dalam hipotik musnah, ditetapkan suatu pengaturan mengenai kewajiban asuransi bagi perkapalan sebagaimana dimaksud di atas, diharapkan hal ini dapat memberikan jaminan kepastian pelunasan utang terhadap kreditur dalam hal terjadi ‘sesuatu’ terhadap kapal yang dijaminkan tersebut. Namun perlu diperhatikan bahwa kewajiban tersebut hanya sekurang-kurangnya atas rangka kapal. Oleh karena itu, kreditur harus melakukan analisis apakah nilai pertanggungan asuransi dimaksud mencukupi pembayaran seluruh kewajiban debitur. Ketentuan ini tercantum dalam Inpres No. 5 Tahun 2005.

Dengan adanya pengaturan mengenai kewajiban asuransi bagi perkapalan sebagaimana dimaksud di atas, diharapkan hal ini dapat memberikan jaminan kepastian pelunasan utang terhadap kreditur dalam hal terjadi ‘sesuatu’ terhadap kapal yang dijaminkan tersebut. Namun perlu diperhatikan bahwa kewajiban tersebut hanya sekurang-kurangnya atas rangka kapal. Oleh karena itu, kreditur harus melakukan analisis apakah nilai pertanggungan asuransi dimaksud mencukupi pembayaran seluruh kewajiban debitur.

Selanjutnya, dalam draft RUU Hipotek Kapal tersebut juga diatur bahwa kreditur yang kreditnya dijamin oleh suatu hipotek kapal berhak untuk melaksanakan eksekusi jaminan yang terkait dengan kapal tersebut apabila debitur atau setiap orang yang menguasai kapal tersebut secara substansial diduga melakukan sesuatu tindakan atau kelalaian yang bersifat merugikan terhadap jaminan kreditur.

DAFTAR PUSTAKA

Fuady, Munir. 1999. Hukum Perbankan Modern. Bandung: PT. Citra Aditya Bakti.

Ginting, ramlan. Tinjauan Terhadap RUU tentang Hipotek Kapal. Buletin Hukum Perbankan dan Kebanksentralan, 6 (2) : 26-34.

Giovani, Grace. 2008. Hipotik Kapal. http://notarisgracegiovani.com [10 June 2009]

Satrio, J. 1998. Hak Jaminan Kebendaan, Hak Tanggungan, Buku 2, Bandung: Citra Aditya Bakti.

Subekti dan Tjitrosudibio. 2006. Kitab Undang-Undang Hukum Dagang dan Undang-Undang Kepailitan. Cetakan ke-31. Jakarta: PT Pradnya Paramita.

Subekti dan Tjitrosudibio. 1999. Kitab Undang-Undang Hukum Perdata. Cetakan ke-29. Jakarta: PT Pradnya Paramita.

Peraturan Perundang-undangan

Undang-Undang No.4 Tahun 1996

Undang-Undang No.42 Tahun 1999

Undang-Undang No. 5 Tahun 1960

Instruksi Presiden No. 5 tahun 2005



[1] Disusun untuk memenuhi nilai tugas mata kuliah Hukum Kebendaan

[2] Mahasiswa Fakultas Ekonomi Jurusan Akuntansi dan Fakultas Hukum Jurusan Hukum Tata Negara Universitas Jember

[3] Fuady, Munir, Hukum Perbankan Modern, Bandung: PT. Citra Aditya Bakti, 1999. Hal. 69-70

[4] Satrio,J, Hukum Jaminan,Hak Jaminan Kebendaan, Hak Tanggungan, Buku 2, Bandung: Citra Aditya Bakti, 1998. Hal. 303

[5] Giovani, Grace, 2008, Hipotik Kapal, http://notarisgracegiovani.com [ 10 June 2009]

[6] Subekti dan Tjitrosudibio, 2006, Kitab Undang-Undang Hukum Dagang dan Undang-Undang Kepailitan, cetakan ke-31, Jakarta: PT Pradnya Paramita, Hal. 94.

[7] Subekti dan Tjitrosudibio,1999, Kitab Undang-Undang Hukum Perdata, Cetakan ke-29, Jakarta: PT Pradnya Paramita, Hal. 159-160.

[8] Giovani, Grace, 2008, Hipotik Kapal, http://notarisgracegiovani.com [ 10 June 2009]

[9] ibid

[10] Dr. Ramlan Ginting, S.H., LL.M, TINJAUAN TERHADAP RUU TENTANG HIPOTEK KAPAL, dari Buletin Hukum Perbankan dan Kebanksentralan Vol.6 No.2 Agustus 2008, hal. 26.

[11] Dr. Ramlan Ginting, S.H., LL.M, TINJAUAN TERHADAP RUU TENTANG HIPOTEK KAPAL, dari Buletin Hukum Perbankan dan Kebanksentralan Vol.6 No.2 Agustus 2008, hal. 26.

[12] Dr. Ramlan Ginting, S.H., LL.M, TINJAUAN TERHADAP RUU TENTANG HIPOTEK KAPAL, dari Buletin Hukum Perbankan dan Kebanksentralan Vol.6 No.2 Agustus 2008, hal. 28

[13] Dr. Ramlan Ginting, S.H., LL.M, TINJAUAN TERHADAP RUU TENTANG HIPOTEK KAPAL, dari Buletin Hukum Perbankan dan Kebanksentralan Vol.6 No.2 Agustus 2008, hal. 29.

[14] Dr. Ramlan Ginting, S.H., LL.M, TINJAUAN TERHADAP RUU TENTANG HIPOTEK KAPAL, dari Buletin Hukum Perbankan dan Kebanksentralan Vol.6 No.2 Agustus 2008, hal. 30.