Kamis, 23 September 2010

Makalah Politik Hukum Agraria: Politik Hukum Agraria Indonesia mengenai Hak Ulayat Adat

1. PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Pada tanggal 24 September 1960, Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Hukum Agraria diundangkan. Adapun Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Hukum Agraria tersebut lazim disebut dengan UUPA. Untuk memperingati tanggal pengundangan UUPA tersebut, maka berdasarkan Keputusan Presiden Tanggal 26 Agustus 1963 Nomor 169/1963, tanggal 24 September ditetapkan sebagai Hari Tani Nasional.
Dengan lahirnya UUPA,maka secara total hukum Agraria Kolonial dihapuskan. Denganhapusnya hukum Agraria Kolonial, maka erupakan sejarah baru dan suasana baru bagi rakyat Indonesia untuk dapat menikmati sepenuhnya umi, Air, ruang angkasa dan kekayaan alam Indonesia ini, terutama kaum tani yang selama ini menompang di atas tanahnya sendiri.
Perombakan hukum agraria kolonial itu dimaksudkan untuk merobah hukum kolonial kepada hukum nasional sesuai dengan cita-cita nasional, khususnya para petani. Selain itu untuk menghilangkan dualisme hukum yang berlaku serta memberikan kepastian hukum atas hak-hak seseorang atas tanah.
Pun demikian, dengan diundangkannya UUPA, maka politik hukum agraria yang berlaku selama masa penjajahan dinyatakan tidak berlaku lagi dan digantikan dengan politik hukum agraria nasional. Adapun politik hukum agraria nasional itu sendiri adalah kebijakan-kebijakan yang berkaitan dengan soal-soal agrarian sebagaimana terdapat di dalam UUPA. Salah satu dari politik agraria nasional, sebagaimana diatur dalam dalam Pasal 3 dan Pasal 18 UUPA, yang pada intinya mengutamakan kepentingan nasional dan negara yang berdasarkan atas persatuan bangsa daripada kepentingan perseorangan dan/atau golongan.
Di dalam Hukum Adat, tanah ini merupakan masalah yang sangat penting. Hubungan antara manusia dengan tanah sangat erat, seperti yang telah dijelaskan diatas, bahwa tanah sebagai tempat manusia untuk menjalani dan melanjutkan kehidupannya.
Tanah sebagai tempat mereka berdiam, tanah yang memberi makan mereka, tanah dimana mereka dimakamkan dan menjadi tempat kediaman orang – orang halus pelindungnya beserta arwah leluhurnya, tanah dimana meresap daya – daya hidup, termasuk juga hidupnya umat dan karenanya tergantung dari padanya.
Tanah adat merupakan milik dari masyarakat hukum adat yang telah dikuasai sejak dulu. Kita juga bahwa telah memegang peran vital dalam kehidupan dan penghidupan bangsa pendukung negara yang bersangkutan, lebih – lebih yang corak agrarisnya berdominasi. Di negara yang rakyatnya berhasrat melaksanakan demokrasi yang berkeadilan sosial, pemanfaatan tanah untuk sebesar – besar kemakmuran rakyat merupakan suatu conditio sine qua non.
Untuk mencapat tujuan itu, diperlukan campur tangan penguasa yang berkompeten dalam urusan tanah, khususnya mengenai lahirnya, berpindah dan berakhirnya hak milik atas tanah. Di lingkungan hukum adat, campur tangan itu dilakukan oleh kepala berbagai persekutu hukum, seperti kepala atau pengurus desa. Jadi, jika timbul permasalahan yang berkaitan dengan tanah adat ini, maka pengurus - pengurus yang telah ada itulah yang akan menyelesaikannya.
Dalam hukum tanah adat ini terdapat kaedah – kaedah hukum. Keseluruhan kaedah hukum yang timbuh dan berkembang didalam pergaulan hidup antar sesama manusia adalah sangat berhubungan erat tentang pemamfaatan antar sesama manusia adalah sangat berhubungan erat tentang pemamfaatan sekaligus menghindarkan perselisihan dan pemamfaatan tanah sebaik-baiknya. Hal inilah yang diatur di dalam hukum tanah adat. Dari ketentuan-ketentuan hukum tanah ini akan timbul hak dan kewajiban yang berkaitan erat dengan hak-hak yang ada di atas tanah.

1.2 Rumusan Masalah
Dari pemaparan latar belakang di atas dapat diambil suatu rumusan masalah sebagai berikut:
1. Bagaimana pengaturan UUPA mengenai mengenai keberadaan hak ulayat masyarakat adat?
2. Bagaimana pembatasan pelaksanaan hak ulayat yang diberikan oleh UUPA?

2. PEMBAHASAN
2.1 Kedudukan dan Peran Hak Ulayat dalam UUPA
Dalam banyak peraturan perundang – undangan yang berlaku di Indonesia saat ini, hukum adat atau adat istiadat yang memiliki sanksi, mulai mendapat tempat yang sepatutnya sebagai suatu produk hukum yang nyata dalam masyarakat. Dalam banyak kasus, hukum adat sedemikian dapat memberikan kontribusi sampai taraf tertentu untuk menjamin kepastian hukum dan keadilan bagi masyarakat. Hukum saat ini malahan dijadikan dasar pengambilan keputusan oleh hakim, sehingga dapat terlihat bahwa hukum adat itu efisien, efektif, aplikatif dan come into force ketika dihadapkan dengan masyarakat modern dewasa ini.
Namun, kenyataan ini tidak dengan sendirinya membuat hukum adat bebas dari permasalahan dalam penerapan, khususnya apabila kita melihat dalam bidang hukum tanah adat.
Perihal UUPA 1960, hukum adat dijadikan landasannya, sedangkan hak ulayat merupakan salah satu dari lembaga-lembaga hukum adat. Pasal 3 UUPA menyatakan bahwa:
Dengan mengingat ketentuan Pasal 1 dan 2 pelaksanaan hak ulayat dan hak-hak yang serupa itu dari masyarakat-masyarakat hukum adat, sepanjang menurut kenyataannya masih ada, harus sedemikian rupa sehingga sesuai dengan kepentingan nasional dan Negara, yang berdasarkan atas persatuan bangsa serta tidak boleh bertentangan dengan undang-undang atau peraturan-peraturan lain yang lebih tinggi.
Oleh karena itu, kedudukan dan peran hukum tanah adat mulai memiliki porsi yang cukup besar. Keberadaan hukum tanah adat mendapat pengakuan di dalam UUPA. Kelihatan di sini bahwa peran pemerintah atau penguasa sangat menentukan untuk menciptakan suasana yang kondusif dalam bidang pertanahan, khususnya hukum tanah adat. Hanya saja patut diberi perhatian bahwa karena bertitik tolak dari peran Pemerintah tersebut, maka sering kali kebijakan-kebijakan bidang pertanahan atau agraria memilki tendensi politik dari pada dari hukumnya.
Oleh karena itu, prinsip mendahulukan kepentingan nasional dan Negara dapat diartikan bahwa segala kebijaksanaan bidang pertanahan tidak boleh dibiarkan merugikan kepentingan masyarakat. Tanah tidak diperkenankan semata-mata untuk kepentingan pribadi atau kelompok, kegunaannya harus disesuaikan dengan keadaanya dan sifat dari haknya sehingga bermanfaat, baik untuk kesejahteraan dan kebahagiaan yang mempunyai, serta baik dan bermanfaat untuk masyarakat dan kepentingan negara.
Adapun untuk hak ulayat yang pada kenyataannya sudah tidak ada lagi, tidak akan dihidupkan kembali. Pun demikian juga tidak akan diciptakan hak ulayat yang baru. Dan dalam rangka menegakkan hukum agraria nasional, maka tugas dan wewenang yang merupakan unsur hak ulayat, dipegang oleh Negara Republik Indonesia.

2.2 Pembatasan UUPA terhadap Pelaksanaan Hak Ulayat
Seperti yang telah dijelaskan dalam konsepsi UUPA, menurut konsepsi UUPA maka tanah, sebagaimana halnya juga dengan bumi, air dan ruang angkasa termasuk kekayaan alam yang terkandung didalamnya yang ada di wilayah Republik Indonesia, adalah karunia Tuhan Yang Maha Esa pada Bangsa Indonesia yang merupakan kekayaan nasional. Hubungan antara Bangsa Indonesia dengan tanahnya dimaksud adalah suatu hubungan yang bersifat abadi.
Dalam Pasal 5 UUPA menyebutkan bahwa : Hukum Agraria yang berlaku atas bumi, air dan ruang angkasa ialah Hukum Adat sepanjang tidak bertentangan dengan kepentingan Nasional dan Negara yang berdasarkan atas persatuan bangsa, dengan sosialisme Indonesia serta peraturan-peraturan yang tercantum dalam undang-undang ini dengan peraturan perundangan-undangan lainya, segala sesuatu dengan mengindahkan unsur-unsur yang bersandar pada hukum agama.
Adanya ketentuan yang demikian ini menimbulkan dua akibat terhadap hukum adat tentang tanah yang berlaku dalam masyarakat Indonesia, dimana di satu pihak ketentuan tersebut memperluas berlakunya hukum adat tidak hanya terhadap golongan Eropa dan Timur Asing. Hukum Adat di sini tidak hanya berlaku untuk tanah-tanah Indonesia saja akan tetapi juga berlaku untuk tanah-tanah yang dahulunya termasuk dalam golongan tanah Barat.
Setelah berlakunya ketentuan tersebut di atas, maka kewenangan berupa penguasaan tanah-tanah oleh persekutuan hukum mendapat pembatasan sedemikian rupa dari kewenangan pada masa-masa sebelumnya karena sejak saat itu segala kewenangan mengenai persoalan tanah terpusat pada kekuasaan negara, kalau demikian bagaimana kewenangan masyarakat hukum adat atas tanah yang disebut hak ulayat tersebut, apakah juga masih diakui berlakunya atau mengalami perubahan sebagaimana halnya dengan ketentuan-ketentuan hukum adat tentang tanah.
Adapun mengenai hal tersebut dapat dilihat dalam beberapa ketentuan dari UUPA, antara lain :
a. Pasal 2 ayat (4), yang berbunyi: Hak menguasai dari Negara tersebut di atas pelaksanaannya dapat dikuasakan kepada daerah-daerah swantanra dan masyarakat-masyarakat hukum adat, sekedar diperlukan dan tidak bertentangan dengan kepentingan Nasional, menurut Peraturan Pemerintah.
b. Pasal 3, yang berbunyi: Dengan mengugat ketentuan-ketentuan dalam Pasal 1 dan 2 pelaksanaan hak ulayat dan hak-hak yang serupa dari masyarakat hukum adat sepanjang menurut kenyataan masih ada harus sedemikian rupa sehingga sesuai dengan kepentingan Nasional dan Negara, yang berdasarkan atas persatuan bangsa serta tidak boleh bertentangan dengan undang-undang dan peraturan-peraturan yang lebih tinggi.
c. Pasal 22 ayat (1), yang berbunyi: Terjadinya hak milik menurut hukum adat diatur dengan peraturan Pemerintah.
Seperti yang telah disebutkan di atas, bahwa setelah berlakunya UUPA ini, tanah adat di Indonesia mengalami perubahan. Maksudnya segala yang bersangkutan dengan tanah adat, misalnya hak ulayat, tentang jual beli tanah dan sebagainya mengalami perubahan.
Jika dulu sebelum berlakunya UUPA, hak ulayat masih milik persekutuan hukum adat setempat yang sudah dikuasai sejak lama dari nenek moyang mereka dahulu. Namun setelah berlakunya UUPA, hak ulayat masih diakui, karena hal ini dapat dilihat dari pasal 3 UUPA, hak ulayat dan hak-hak yang serupa dari masyarakat hukum adat masih diakui sepanjang dalam kenyataan di masyarakat masih ada.
Andaikata karena terjadinya proses individualisasi, seringkali hak ulayat ini mulai
mendesak, yang memberikan pengakuan secara khusus terhadap hak – hak perorangan. Dengan tumbuh dan kuatnya hak – hak yang bersifat perorangan dalam masyarakat hukum adat mengakibatkan menipisnya hak ulayat. Hak ulayat ini diakui oleh Pemerintah sepanjang kenyataanya masih ada. Kalau sudah ada tidaklah perlu untuk membuat adanya hak ulayat baru.
Hak ulayat yang diakui dalam pasal tersebut bukanlah hak ulayat seperti dengan masa sebelumnya dengan kepentingan Nasional dan negara perbatasan dengan bahwa hak ulayat yang dimaksud tidak boleh bertentangan dengan undang-undang dan Peraturan-peraturan lainya.
Selain itu, ada juga perubahan yang terjadi pada hukum tanah adat sebelum dan sesudah berlakunya UUPA. Hal ini dapat dilihat misalnya dalam hal ini jual beli tanah.
Sebelum berlakunya UUPA, jual beli tanah sering dilakukan hanya secara lisan saja, yakni penjualnya. Itu sebabnya sampai dikatakan dulu tanpa bentuk. Kemudian berkembang dengan pembuatan surat jual beli antara dua pihak. Jual beli tanah adalah perbuatan hukum menyerahkan tanah hak oleh penjual kepada pembeli.
Perubahan lain yang terjadi misalnya dalam hal daluarsa. Dalam hukum adat daluarsa ini menyangkut tentang hak milik atas tanah. Dulu, sesuatu bidang tanah yang sudah dibuka atas izin pemangku adat atua kepala adat yang berwenang, maka setelah beberapa tahun tidak dikerjakan/ditanami kembali di tutul belukar dapat diberi peruntukan lain/baru kepada pihak yang membentuknya, akibat pengaruh lamanya waktu dan tanah itu telah kembali kepada hak ulayat desa.
Dalam perjalanan waktu, apabila izin membuka tanah dan tanahnya dimaksud digunakan terus, maka pemegang hak itu tidak memerlukan izin lagi untuk menggunakan tanah secara terus menerus makin lama seorang memanfaatkan hak/izin itu, bertambah kuat hak melekat di atasnya, sampai pada akhirnya menjadi hak milik.

3. PENUTUP
3.1 Kesimpulan
Kedudukan dan peran hukum tanah adat mulai memiliki porsi yang cukup besar. Keberadaan hukum tanah adat mendapat pengakuan di dalam UUPA. Kelihatan di sini bahwa peran pemerintah atau penguasa sangat menentukan untuk menciptakan suasana yang kondusif dalam bidang pertanahan, khususnya hukum tanah adat.
Setelah berlakunya ketentuan-ketentuan UUPA, maka kewenangan berupa penguasaan tanah-tanah oleh persekutuan hukum mendapat pembatasan sedemikian rupa dari kewenangan pada masa-masa sebelumnya karena sejak saat itu segala kewenangan mengenai persoalan tanah terpusat pada kekuasaan negara, kalau demikian bagaimana kewenangan masyarakat hukum adat atas tanah yang disebut hak ulayat tersebut, apakah juga masih diakui berlakunya atau mengalami perubahan sebagaimana halnya dengan ketentuan-ketentuan hukum adat tentang tanah.
Adapun mengenai hal tersebut dapat dilihat dalam beberapa ketentuan dari UUPA, antara lain :
a. Pasal 2 ayat (4), yang berbunyi: Hak menguasai dari Negara tersebut di atas pelaksanaannya dapat dikuasakan kepada daerah-daerah swantanra dan masyarakat-masyarakat hukum adat, sekedar diperlukan dan tidak bertentangan dengan kepentingan Nasional, menurut Peraturan Pemerintah.
b. Pasal 3, yang berbunyi: Dengan mengugat ketentuan-ketentuan dalam Pasal 1 dan 2 pelaksanaan hak ulayat dan hak-hak yang serupa dari masyarakat hukum adat sepanjang menurut kenyataan masih ada harus sedemikian rupa sehingga sesuai dengan kepentingan Nasional dan Negara, yang berdasarkan atas persatuan bangsa serta tidak boleh bertentangan dengan undang-undang dan peraturan-peraturan yang lebih tinggi.
c. Pasal 22 ayat (1), yang berbunyi: Terjadinya hak milik menurut hukum adat diatur dengan peraturan Pemerintah.
3.2 Saran-Saran
1. Perlindungan terhadap keberadaan hak ulayat sebaiknya lebih ditingkatkan, untuk lebih mewadahi kepentingan masyarakat adat yang memiliki hak ulayat tersebut.
2. Sebaiknya dilakukan sosialisasi yang lebih terarah kepada masyarakat mengingat adanya perubahan yang sangat mendasar dalam tata kelola hak ulayat. Adapun perubahan mendasar tersebut misalnya mengenai hak ulayat itu sendiri dan jual beli tanah.

DAFTAR PUSTAKA

Harsono, Budi. 2003. Hukum Agraria Indonesia: Sejarah Pembentukan Undang-Undang Pokok Agraria, Isi, dan Pelaksanaannya. Edisi Revisi Cetakan Kesembilan. Jakarta: Djambatan
http://ermanhukum.com/Makalah%20ER%20pdf/Tanah%20di%20zaman%20kemerdekaan. pdf
http://library.usu.ac.id/download/fh/perdata-syaiful2.pdf
Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Hukum Agraria

Makalah Filsafat Hukum: Kebangkitan Filsafat Hukum Alam Dan Peranannya Dalam Pembentukan Hukum Di Indonesia

1. PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Salah satu dari sekian madzhab filsafat hukum adalah madzhab hukum alam. Di samping hukum alam, ada dua madzhab yang tersohor yaitu madzhab sociological jurisprudence dan madzhab positivisme. Namun makalah saya akan lebih mendalami masalah hukum alam.
Hukum alam diperkenalkan oleh seorang Thomas Aquinas, yang menyandarkan dasar filsafatnya pada hukum alam (natural law) yang dirasa mempunyai proporsi paling ideal dalam hal menjunjung nilai keadilan. Adapun ranah yang dilingkupi dalam hukum alam itu sendiri ada pada ranah ideal atau nilai yang lebih banyak membicarakan tentang moral.
Penggunaan hukum alam ini sendiri juga memiliki banyak implikasi, salah satunya adalah dalam pembentukan hukum di Indonesia. Adapun kaitan antara filsafat hukum alam dengan pembentukan hukum di Indonesia, setidaknya kita sadar bahwa hukum di bentuk karena pertimbangan keadilan (gerechtigkeit) disamping sebagai kepastian hukum (rechtssicherheit) dan kemanfaatan (zweckmassigkeit).
Keadilan ini berkaitan dengan pendistribusian hak dan kewajiban, diantara sekian hak yang dimiliki manusia terdapat hak yang bersifat mendasar yang merupakan anugerah alamiah langsung dari Tuhan, yaitu hak asasi manusia atau hak kodrati manusia, semua manusia tanpa pembedaan ras, suku, bangsa, agama, berhak mendapatkan keadilan, maka di Indonesia yang notabene adalah negara yang sangat heterogen tampaknya dalam membentuk formulasi hukum positif agak berbeda dengan negara-negara yang kulturnya homogen, sangatlah penting kiranya sebelum membentuk suatu hukum yang akan mengatur perjalanan masyarakat, haruslah digali tentang filsafat hukum secara lebih komprehensif yang akan mewujudkan keadilan yang nyata bagi seluruh golongan, suku, ras, agama yang ada di Indonesia.
Keadilan yang demikian itu itu tidak lain bersumber dari hukum Tuhan, oleh Friedrich disebut sebagai hukum kodrat. Dengan demikian hukum-hukum yang berasal dari Tuhan, yang tidak lain adalah hukum agama merupakan hukum yang mempunyai nilai keadilan yang sempurna.
Sayangnya, eksistensi hukum alam ini mulai ditinggalkan pada abad ke-19. Alasan ditinggalkannya hukum alam ini adalah karena sifat hukum alam yang spekulatif dan tidak lebih dari sekedar trial and error saja. Pada saat redupnya eksistensi hukum alam, madzhab positivisme hukum beralih menjadi kiblat bagi filsafat hukum
Namun memasuki abad ke-20, hukum alam seolah bangkit kembali. Hal demikian ini ditunjukkan dengan adanya cara-cara berpikir yang kembali pada ranah hukum alam. Salah satu contohnya adalah isu tentang hak asasi manusia.


1.2 RUMUSAN MASALAH
Adapun masalah yang dapat ditarik dari uraian latar belakang di atas adalah sebagai berikut:
1. Bagaimanakah bentuk hubungan yang terjadi antara hukum dan moral dalam perspektif hukum alam?
2. Bagaimana euforia kebangkitan kembali hukum alam pada abad ke-20?
3. Bagaimana peranan filsafat hukum alam dalam pembentukan hukum di Indonesia?


2. TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Filsafat Hukum
Pengertian Filsafat dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, adalah 1) Pengetahuan dan penyelidikan dengan akal budi mengenai hakikat segala yang ada, sebab, asal, dan hukumnya, 2) Teori yang mendasari alam pikiran atau suatu kegiatan atau juga berarti ilmu yang berintikan logika, estetika, metafisika dan epistemologi.
Secara Umum Pengertian Filsafat adalah Ilmu pengetahuan yang ingin mencapai hakikat kebenaran yang asli dengan ciri-ciri pemikirannya yang 1) rasional, metodis, sistematis, koheren, integral, 2) tentang makro dan mikro kosmos 3) baik yang bersifat inderawi maupun non inderawi. Hakikat kebenaran yang dicari dari berfilsafat kebenaran akan hakikat hidup dan kehidupan, bukan hanya dalam teori tetapi juga praktek.
Kemudian berkenaan dengan Filsafat Hukum Menurut Gustaff Radbruch adalah cabang filsafat yang mempelajari hukum yang benar. Sedangkan menurut Langmeyer: Filsafat Hukum adalah pembahasan secara filosofis tentang hukum, Anthoni D’Amato mengistilahkan dengan Jurisprudence atau filsafat hukum yang acapkali dikonotasikan sebagai penelitian mendasar dan pengertian hukum secara abstrak, Kemudian Bruce D. Fischer mendefinisikan Jurisprudence adalah suatu studi tentang filsafat hukum. Kata ini berasal dari bahasa Latin yang berarti kebijaksanaan (prudence) berkenaan dengan hukum (juris) sehingga secara tata bahasa berarti studi tentang filsafat hukum.
Secara sederhana, dapat dikatakan bahwa Filsafat hukum merupakan cabang filsafat, yakni filsafat tingkah laku atau etika, yang mempelajari hakikat hukum. Dengan perkataan lain filsafat hukum adalah ilmu yang mempelajari hukum secara filosofis, jadi objek filsafat hukum adalah hukum, dan objek tersebut dikaji secara mendalam sampai pada inti atau dasarnya, yang disebut dengan hakikat.

2.2 Filsafat Hukum Alam
Filsafat Hukum Alam (Natural Law) lahir sejak zaman Yunani, berkembang di zaman Romawi sampai ke zaman modern ini. Pemuka Hukum Alam adalah Plato (429-347 BC), Aristotle (348-322 BC) zaman Yunani, Marcus Tullius Cicero (106-43 BC) zaman Romawi, St. Agustine (354-430), dan St. Thomas Aquinas (1225-1274) dari kalangan Kristen, Grotius (1583- 1645), Thomas Hobbes (1588-1679), John Locke (1632-1704).
Natural law or the law of nature (Latin: lex naturalis) has been described as a law whose content is set by nature and that therefore has validity everywhere, (Hukum alam adalah hukum yang segala muatannya diatur oleh alam dan oleh karena itu mempunyai validitas di segala tempat).
Premis pertama dari doktrin Hukum Alam (Natural Law) adalah apa yang diketemukan oleh Hukum Alam (Natural Law), seharusnya diikuti. Masalah pertama adalah bagaimana menemukan apa yang diketemukan oleh Hukum Alam. Hukum Alam (Natural Law) memberikan tempat utama kepada moralitas. Peranan yang dimainkan oleh moral dalam memformulasikan teori mengenai hukum dari alam (the law of nature) kadang-kadang dinyatakan secara tegas, tetapi lebih banyak dinyatakan secara diam-diam. Moralitas digunakan dalam berbagai peranan. Kadang-kadang dikarakterisasikan sebagai produk dari isi Hukum Alam (Natural Law). Kadang-kadang ia diberikan peranan ganda, tidak hanya sebagai produk tetapi juga sebagai pembenaran, petunjuk kata hati/hati nurani. Dengan perkataan lain apa yang seharusnya berlaku mengikuti apa yang seharusnya secara moral berlaku.
Jika Hukum Alam (Natural Law) ingin memiliki relavansi hukum, maka ia harus berisi prinsip-prinsip petunjuk di mana manusia akan menggunakannya untuk mengatur diri mereka sendiri dan orang lain. Variasi yang luas mengenai standar keadilan dan moralitas dapat ditinjau pada waktu yang berbeda, di antara orang-orang yang berlainan dan bahkan diantara individu yang berlainan, mungkin akan menghasilkan satu standar petunjuk yang menonjol tetapi variasivariasi tersebut juga mengindikasikan sulitnya menentukan apa yang dimaksud dengan prinsip-prinsip alamiah itu. Hukum hanya dapat dilihat dari pedoman-pedoman yang ditawarkan pada penerapan prinsip-prinsip tersebut terhadap kasus-kasus tertentu.
Hukum alam yang oleh akal budi manusia ditimba dari aturan alam, dapat dibagi dalam dua golongan yaitu : hukum alam primer dan hukum alam sekunder.
Hukum alam primer dapat dirumuskan dalam norma-norma yang karena bersifat umum berlaku bagi semua manusia. Sedangkan, hukum alam sekunder dapat diartikan dalam norma-norma yang selalu berlaku in abstracto, oleh karena langsung dapat disimpulkan dari norma-norma hukum alam primer, tetapi dapat terjadi juga adanya kekecualian berhubung adanya situasi tertentu.

3. PEMBAHASAN
3.1 Bentuk hubungan antara Hukum dan Moral dalam Perspektif Hukum Alam
Masalah hubungan hukum dan moral tidak lagi merupakan masalah bentuk atau struktur, tetapi masalah tentang isi. Menurut penganut Hukum Alam (Natural Law), isi dari hukum adalah moral. Hukum tidak semata-mata merupakan suatu peraturan tentang tindakan-tindakan hukum itu berisi nilai-nilai, hukum itu adalah indikasi, apakah yang baik dan yang buruk. Selanjutnya yang baik dan yang buruk itu adalah syarat-syarat dari kewajiban hukum. Penganut Hukum Alam menganggap bahwa hukum tidak semata-mata merupakan perintah tetapi juga seperangkat nilai-nilai tertentu. Penganut Teori Hukum Alam (Natural Law) tidak pernah berpendapat bahwahukum itu semata-mata ekspresi dari standar kelompok tertentu atau masyarakat tertentu. Penganut Hukum Alam (Natural Law) percaya kepada nilai-nilai yang absolut dan mereka berpendapat hukum adalah alat untuk mencapai nilai-nilai tersebut.
Thomas Aquinas mengatakan Hukum Alam (Natural Law) itu adalah mengerjakan yang baik dan menghindarkan yang buruk. Grotius menyatakan bahwa hukum dari alam (the law of nature) menunjukkan alasan-alasan yang baik dan tindakan-tindakan di dalamnya memiliki kualitas moral.
Demikian jelasnya, dari sudut praktis, untuk menetapkan kebutuhan yang rasional adanya ketertiban hukum dalam setiap masyarakat. Salah satu contoh adalah “Rule of Law”. Pendapat modern mengenai hal ini diberikan oleh L.L. Fuller yang dikuatkan oleh Finnis dan Joseph Raz.
Mereka mengatakan bahwa hukum itu adalah atauran-aturan yang umum dan jelas yang masuk akal, yang harus dipublikasikan kepada pihak-pihak yang dikehendakinya dan memiliki akibat yang perspektif. Aturan-aturan itu harus tetap masuk akal dan konsisten dari waktu-kewaktu, berisi standar yang mungkin dilaksanakan. Oleh karenanya hukum yang mengesampingkan perempuan dan orang hitam dari kantor-kantor atau profesi atau tidak memiliki suara untuk memilih adalah bertentangan dengan moral.
Contoh lain lagi mengenai hak asasi manusia, pendekatan dari teori Hukum Alam terhadap eksistensi dari hak asasi manusia adalah sangat terintegrasi dan menyeluruh. HAM berasal dari Hukum Tuhan (divine law) kemudian menjadi Hukum Alam (Natural Law) yang berisikan ajaran-ajaran moral yang kemudian dituangkan oleh manusia dalam hukum positif yang berisi hak dan kewajiban, termasuk HAM. Menurut Teori Hukum Alam (Natural Law), hak-hak dan hukum adalah bagian yang universal dari sistem moral.
Contoh berikutnya adalah mengenai penerapan prinsip persamaan di depan hukum (equality before the law). Dasar umum dari substansi prinsip persamaan bagi umat manusia adalah kemanusian mereka sendiri. Semua orang seharusnya diperlakukan sama karena mereka secara karakteristik adalah sama, rasa senang dan rasa sakit sama bagi semua orang. Perbedaan kedudukan berdasarkan apapun juga tidak dapat menghapuskan persamaan tersebut, begitu juga perbedaan antara orang hitam dan orang putih, antara laki-laki dan perempuan tidak boleh membawa perbedaan perlakuan terhadap mereka.
Contoh berikutnya adalah penerapan Hukum Alam (Natural Law) pada kasus Aborsi. Hukum Alam berasal dari hukum Tuhan (divine law), oleh karenanya gereja Katolik Roma menentang aborsi, mereka percaya bahwa aborsi adalah pembunuhan, bukan merupakan dogma dari gereja. Tetapi pendirian ini berubah, bahwa janin belumlah menjadi manusia sampai pada saat “animation.” Berdasarkan doktrin Katolik, janin laki-laki memiliki animasi pada hari ke 40 setelah pembuahan, janin perempuan dipercaya memiliki animasi setelah 80 hari. Tapi setelah abad ke 18 gereja berpendapat bahwa kehidupan manusia mulai sejak pembuahan.
Jadi perdebatan berputar kepada kapan tepatnya janin itu diakui sebagai manusia. Menurut interpretasi hukum Islam yang berdasarkan Ilmu Kedokteran, kehamilan 42 hari adalah akhir minggu keenam kehamilan setelah pembuahan. Berdasarkan hal tersebut ada pemikiran untuk mengembangkan hukum Islam yang membolehkan pengguguran kandungan sampai usia kehamilan 5 minggu (35 hari) atau maximum 42 hari; yaitu adalah 10 hari setelah seorang wanita mengetahui haidnya terlambat.

3.2 Kebangkitan Hukum Alam pada Abad ke-20
Lawrence M. Friedmann menegaskan bahwa sebelum Perang Dunia ke-1 dan Perang Dunia ke-2, telah muncul suatu reaksi berupa perasaan tidak puas yang mendalam dalam kemakmuran material, terhadap keyakinan terhadap diri sendiri, terhadap borjuasi zaman Victoria, dan lain-lain. Sekali lagi, jiwa manusia pada saat itu telah dilingkupi kegelisahan, memberontak terhadap ukuran-ukuran kehidupan yang berlaku pada saat itu, dan sebagaimana pernah terjadi pada sejarah umat manusia, mereka mencari suatu keadilan .
Adapun contoh yang menjalar akibat kegelisahan tersebut di atas adalah munculnya kaum pemuda yang memberontak terhadap keberadaan kaum borjuis, terhadap pemujaan uang, dan kedataran hidup modern. Perombak-perombak sosial dan kaum sosialis menyerang kepincangan-kepincangan sosial yang tersembunyi di bawah formalisme hukum dan pemujaan para penguasa terhadap golongan-golongan positivis. Dari situ, sarjana-sarjana hukum mulai menemukan bahwa hukum tidak hanya berbicara mengenai masalah peneraoan undang-undang atau preseden terhadap suatu perkara atau situasi. Mereka melihat kenyataan bahwa terdapat masalah-masalah tertentu yang dalam penyelesaiannya menuntut suatu pedoman yang lebih tinggi dari sekedar hukum positif.
Pada waktu keyakinan terhadapa kepastian mulai menapaki masa-masa keraguan, pada waktu itulah filsafat hukum alam hidup kembali. Kebangkitan hukum alam ini bisa terlihat dari bangkitnya cita-cita hukum alam. Suatu cita-cita kebangkitan hukum alam yang lebih sejati dapat ditemukan dalam berbagai teori modern yang menganggap hukum alam sebagai suatu cita-cita yang evolusioner. Maka dari situ, filsafat hukum alam dianggap sebagai suatu kekuatan pembimbing dalam pertumbuhan hukum positif.
Dari itu, kita bisa menganggap bahwa cita-cita hukum alam adalah usaha-usaha untuk menutupi aspirasi-aspirasi politik yang tertentu. Adapun maksud yang tertentu di sini adalah kaum borjuis yang mempunyai kedudukan yang lebih tinggi jika dibandingkan dengan rakyat jelata. Namun, satu hal yang sangat penting, makna hukum alam sesungguhnya lebih dari itu. Hukum alam merupakan cara utama untuk mencetuskan cita-cita dan keinginan berbagai bangsa dan berbagai generasi dalam hubungannya dengan kekuatan-kekuatan utama yang menjadi pendorong bagi perubahan.
Adapun sisi yang paling representatif dari teori hukum alam modern ini yang terlepas dari aliran neo skolastik adalah teori-teori yang dikemukakan oleh Del Vecchio. Oleh Del Vecchio, hukum alam pada dasarnya telah digunakan untuk dijadikan sebagai suatu pedoman bagi pembentukan hukum positif . Del Vecchio menganggap hukum alam sebagai asas evolusi hukum yang membimbing umat manusia, dan berbarengan dengan hukum itu sendiri, menuju ke arah otonomi manusia yang lebih besar.
Selain itu, teori Del Vecchio juga ada yang menyatakan bahwa kebebasan berkehendak negara, yang merupakan perwujudan dari kedaulatan, telah melahirkan penolakan terhadap prinsip hukum internasional. Di sisi lain, kaidah hukum alam menuntut manusia bersatu sama lain, dan mengakui kesederajatan. Oleh karena itu, Del Vecchio menyarankan penggabungan nyata antara hukum nasional dan hukum internasional, dengan alasan, meskipun kedua sistem hukum mungkin memiliki derajat positivitas yang berbeda, akan tetapi yang terpenting adalah tingkat keefektifannya dalam membentuk otonomi manusia yang lebih besar .
Adanya ketidakpuasan terhadap keberadaan dan penerapan positivisme hukum pada awal Abad ke-20, menyebabkan banyak pihak memberikan resistensi terhadap pemberlakuan filsafat positivisme. Akibatnya pun jelas, banyak sarjana-sarjana hukum yang mulai menelurkan teori yang ideal mengenai hukum alam. Dengan demikian, hukum alam yang semula redup, dan bahkan ditinggalkan, seolah bangkit kembali.

3.3 Peranan Filsafat Hukum dalam Pembentukan Hukum di Indonesia
Jika kita telaah bagaimana kedudukan hukum alam atau hukum kodrati ini bisa kita lihat bagaimana bentuk integrasi yang dilakukan oleh hukum agama, dalam hal ini hukum islam, untuk masuk ke dalam pembuatan hukum, khususnya hukum dasar, di Indonesia.
Negara di dunia yang menganut paham negara teokrasi menganggap sumber dari segala sumber hukum adahal ajaran-ajaran Tuhan yang berwujud wahyu, yang terhimpun dalam kitab-kitab suci atau yang serupa denga itu, kemudian untuk negara yang menganut paham negara kekuasaan (rechstaat) yang dianggap sebagai sumber dari segala sumber hukum adalah kekuasaan, lain halnya dengan negara yang menganut paham kedaulatan rakyat, yang dianggap sebagai sumber dari segala sumber hukum adalak kedaulatan rakyat, dan Indonesia menganut paham kedaulatan rakyat dari Pancasila, akan tetapi berbeda dengan konsep kedaulatan rakyat oleh Hobbes (yang mengarah pada ke absolutisme) dan John Locke (yang mengarah pada demokrasi parlementer).
Rumusan Pancasila yang dijumpai dalam Alinea keempat Pembukaan UUD 1945 adalah sumber dari segala sumber hukum di Indonesia yang merupakan produk filsafat hukum negara Indonesia, Pancasila ini muncul diilhami dari banyaknya suku, ras, kemudian latar belakang, serta perbedaan ideologi dalam masyarakat yang majemuk, untuk itu muncullah filsafat hukum untuk menyatukan masyarakat Indonesia dalam satu bangsa, satu kesatuan, satu bahasa, dan prinsip kekeluargaan, walau tindak lanjut hukum-hukum yang tercipta sering terjadi hibrida (percampuran), terutama dari hukum Islam, hukum adat, dan hukum barat (civil law / khususnya negara Belanda), hukum Islam (Al-Qur’an) sering dijadikan dasar filsafat hukum sebagai rujukan mengingat mayoritas penduduk Indonesia adalah umat muslim.
Adapun contoh konkret dari penggunaan hukum alam, dalam hal ini adalah hukum islam, yang masuk dalam konstitusi Indonesia melalui produk filsafat hukum adalah Undang-undang No. 1 tahun 1974 tentang Perkawinan, apalagi didalamnya terdapat pasal tentang bolehnya poligami bagi laki-laki yaitu dalam Pasal 3 ayat 1, Pasal 4 ayat 1,2, dan Pasal 5 ayat 1 dan 2, walau banyak pihak yang protes pada pasal kebolehan poligami tersebut, namun di sisi lain tidak sedikit pula yang mempertahankan pasal serta isi dari Undang-undang Perkawinan tersebut. DPR adalah lembaga yang berjuang mengesahkan Undang-Undang No. 1 tahun 1974 tentang Perkawinan, yang diundangkan pada tanggal 2 Januari tahun 1974, dan sampai sekarang masih berlaku tanpa adanya perubahan, ini bukti nyata dari perkembangan filsafat hukum yang muncul dari kebutuhan masyarakat perihal penuangan hukum secara konstitusi kenegaraan, yang mayoritas masyarakat Indonesia adalah agama Islam, yang menganggap ayat-ayat ahkam dalam kitab suci Al-Qur’an adalah mutlak untuk diikuti dalam hukum.
Itulah sepintas dan sedikit uraian mengenai keberadaan filsafat hukum alam, yang dalam hal ini adalah hukum Islam, dalam mengilhami pembentukan hukum di Indonesia.

4. PENUTUP
4.1 Kesimpulan
Kepatuhan para penganut hukum alam itu bukanlah didasarkan pada perintah yang dapat dipaksakan, tapi didasarkan pada kesadaran bahwa di dalam aturan hukum itu terdapat nilai-nilai tertentu. Kesadaran disini ini ada pada ranah moralitas. Dengan demikian terlihat jelas hubungan antara hukum dan moral.
Adanya ketidakpuasan terhadap keberadaan dan penerapan positivisme hukum pada awal Abad ke-20, menyebabkan banyak pihak memberikan resistensi terhadap pemberlakuan filsafat positivisme. Akibatnya pun jelas, banyak sarjana-sarjana hukum yang mulai menelurkan teori yang ideal mengenai hukum alam. Dengan demikian, hukum alam yang semula redup, dan bahkan ditinggalkan, seolah bangkit kembali.
Keberadaan hukum alam, dalam hal ini adalah Hukum Islam, telah dijadikan suatu pedoman dalam membentuk hukum. Adapun contoh yang bisa ditarik kaitannya antara peran hukum alam sebagai pedoman dalam pembentukan hukum adalah keberadaan norma di Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan.

4.2 Saran-Saran
1. Terkait dengan penggunaan hukum alam sebagai pedoman dalam pembentukan hukum di Indonesia dan keberadaan hukum alam yang mempunyai hubungan erat dengan moralitas, sebaiknya sikap yang dimiliki oleh setiap warga negara adalah mematuhi aturan hukum atas dasar kesadaran akan keberadaan nilai-nilai tertentu di dalam aturan hukum.
2. Sebaiknya pengintegrasian hukum alam ke dalam pembentukan hukum semakin diintensifkan. Hal demikian ini didasarkan di dalam hukum alam terdapat penghormatan terhadap hak asasi manusia. Dengan demikian secara otomatis perlindungan terhadap hak asasi manusia akan semakin baik.

Daftar Pustaka

Anonim. 2004. Reinterpretasi Hukum Islam Tentang Aborsi. Republika, 2 April 2004.
Banjarnahor, Allan. ____. Teori Hukum. http://tubiwityu.typepad.com/blog/ 2010/02/teori-hukum.html {diakses 24 Mei 2004}
Djafar, Wahyudi. 2008. Pemikiran tentang Kedaulatan. http://wahyudidjafar.wordpress.com/2008 / 09/25/menelusuri-pemikiran-tentang-kedaulatan-souvereignty/ {diakses 24 Mei 2010}
Harikhman, Aldian. ____. Peran Filsafat dalam Pembentukan (Pembaharuan) Hukum di Indonesia. http://aldianharikhman.blogspot.com/2009/12/peran-filsafat-hukum-dalam-pembaharuan.html {diakses 24 Mei 2010}
Lukoni, Huda. ____. Filsafat Hukum Dan Perannya Dalam Pembentukan Hukum Di Indonesia. http://www.badilag.net/data/ARTIKEL/Filsafat%20Hukum %20dan%20Perannya%20dalam%20Pembentukan%20Hukum%20di%20Indonesia.pdf {diakses 24 Mei 2010}
Soetiksno. 2005. Filsafat Hukum. Cetakan Kesembilan. Jakarta: PT Pradnya Paramita.
Tasrif, S. 1987. Bunga Rampai Filsafat Hukum. Bandung: Abardin.

Makalah Hukum Orang dan Keluarga: Perspektif Perjanjian Perkawinan dalam Memberikan Perlindungan Wanita Kaitannya dengan Poligami

BAB 1. PENDAHULUAN
PERSPEKTIF PERJANJIAN PERKAWINAN DALAM MEMBERIKAN JAMINAN PEMBERDAYAAN DAN PERLINDUNGAN WANITA KAITANNYA DENGAN POLIGAMI
1.1 Latar Belakang
Sebelum melakukan perkawinan, calon suami dan calon istri dapat membuat sebuah perjanjian. Perjanjian tersebut adalah perjanjian perkawinan. Adapun pembuatan perjanjian perkawinan ini dapat dilakukan oleh dan/atau di hadapan notaris.
Namun, di negara kita yang masih menjunjung tinggi adat ketimuran, menjadi persoalan yang sensitif ketika salah seorang calon pasangan berniat mengajukan untuk membuat perjanjian perkawinan. Perjanjian perkawinan menjadi suatu hal yang tidak lazim dan dianggap tidak biasa, kasar, materialistik, juga egois, tidak etis, tidak sesuai dengan adat timur dan lain sebagainya.
Hal ini didasarkan pada anggapan masyarakat Indonesia yang menempatkan pernikahan sebagai sesuatu yang sakral, maka perjanjian perkawinan masih dianggap sebagai urusan duniawi yang tidak sepantasnya dibicarakan dan dilakukan. Dan jika dilakukan, maka akan muncul pertanyaan apa bedanya dengan perjanjian-perjanjian yang biasa dilakukan oleh dua orang yang melakukan transaksi bisnis. Padahal, jika dikembalikan pada kesakralan perkawinan, akan ditemukan adanya kontaradiksi antara kesakralan perkawinan dengan keberadaan perjanjian perkawinan, karena perkawinan bukanlah transaksi bisnis/
Perjanjian perkawinan itu sendiri, menurut Kitab Undang-Undang Hukum Perdata, melingkupi masalah-masalah harta kekayaan. Dengan demikian, bisa dikatakan bahwa perjanjian perkawinan ini menyiapkan langkah selanjutnya dalam ranah harta kekayaan apabila terjadi perceraian antara suami dan istri.
Di luar itu memang masih banyak wacana untuk memasukkan ranah-ranah yang lain untuk diatur di dalam perjanjian perkawinan. Namun semua wacana itu terbentur dengan adanya ketentuan normatif di dalam BW bahwa perjanjian kawin hanya memuat masalah harta kekayaan.
Di antara sekian wacana tersebut di atas adalah pengaturan mengenai poligami. Ahmad Dahlan dan Firdaus Albar, mengungkapkan bahwa perjanjian perkawinan perlu memuat ketentuan mengenai poligami. Hal demikian ini dapat dijadikan sebagai gambaran upaya untuk menghindarkan biduk rumah tangga suami dan istri dapat terhindar dari bahaya disharmonisasi di antara keduanya yang berujung dengan perceraian.
Jika menilik pada perdebatan masalah poligami ini, memang banyak di antara kaum perempuan yang menolak poligami. Alasannya pun sederhana, dengan adanya poligami, pihak suami akan kesulitan untuk berlaku adil dalam menjalankan kewajibannya kepada istri-istrinya. Jadi bisa dikatakan bahwa alasan demikian itu dapat berujung pada perceraian.
Namun perlu digarisbawahi bahwa perjanjian perkawinan bukan persiapan untuk bercerai. Memang selama ini, pernikahan lebih dipahami sebagai kesepakatan hidup bersama antara pria dan wanita yang saling mencintai. Dengan cinta, segalanya bisa diatasi, begitulah kata-kata bijak yang membuai. Padahal, pernikahan berarti juga kesepakatan tentang banyak hal, termasuk soal keuangan, yang sama pentingnya seperti hubungan cinta itu sendiri. “Mitos” yang berbunyi, jika sepasang suami-istri sudah saling mencintai berarti takkan ada masalah keuangan, rasanya harus dikaji kembali.

1.2 Rumusan Masalah
1. Bagaimakah bentuk jaminan bagi pemberdayaan perempuan yang dapat diberikan oleh perjanjian perkawinan?
2. Apakah pengaturan mengenai poligami perlu dimasukkan ke dalam perjanjian perkawinan?

BAB 2. TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Perjanjian Perkawinan
Perjanjian perkawinan, sering juga disebut dengan perjanjian pranikah atau Prenuptial Agreement. Jika diuraikan secara etimologi, maka dapat merujuk pada dari dua akar kata, perjanjian dan perkawinan.
Pertama, janji atau perjanjian dapat diartikan sebagai persetujuan yang dibuat oleh dua pihak atau lebih, tertulis maupun lisan, masing-masing sepakat untuk mentaati isi persetujuan yang telah dibuat bersama.
Adapun perkawinan, menurut Ketentuan Umum Pasal 1 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan, ialah ikatan lahir bathin antara seorang pria dengan seorang wanita sebagai suami isteri dengan tujuan membentuk keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa. Sedangkan pernikahan secara etimologi Islam diartikan dari lafadz an-nikâh yang merupakan mashdar dari fi’il madhi (nakaha) yang mempunyai arti kawin, setubuh, atau senggama.
Dengan demikian, perjanjian perkawinan adalah suatu perjanjian yang dibuat sebelum pernikahan dilangsungkan dan mengikat kedua belah pihak calon pengantin yang akan menikah dan berlaku sejak pernikahan dilangsungkan. Perjanjian kawin biasanya dibuat untuk kepentingan perlindungan hukum terhadap harta bawaan masing-masing, suami ataupun istri, meskipun undang-undang tidak mengatur tujuan perjanjian perkawinan dan apa yang dapat diperjanjikan, segalanya diserahkan pada kedua pihak.
Dengan perjanjian perkawinan diharapkan dapat menjadi acuan jika suatu saat timbul konflik serta menjadi salah satu landasan masing-masing pasangan dalam melaksanakan, dan memberikan batas-batas hak dan kewajiban mereka.

2.2 Dasar Hukum bagi Perjanjian Perkawinan
Tentang perjanjian perkawinan diatur pada Bab VII Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (BW) Pasal 139 sampai dengan Pasal 154. Dan secara garis besar perjanjian perkawinan berlaku mengikat para pihak / mempelai apabila terjadi perkawinan.
Dengan mengadakan perjanjian perkawinan kedua calon suami isteri berhak menyiapkan dan menyampaikan beberapa penyimpangan dari peraturan undang-undang sekitar persatuan harta kekayaan, asal perjanjian itu tidak menyalahi tata susila yang baik dalam tata tertib umum dengan ketentuan antara lain :
1. Tidak boleh mengurangi hak suami sebagai kepala keluarga.
2. Tanpa persetujuan isteri, suami tidak boleh memindahtangankan barang-barang tak bergerak isteri.
3. Dibuat dengan akta notaris sebelum perkawinan berlangsung dan berlaku sejak saat perkawinan dilangsungkan.
4. Tidak berlaku terhadap pihak ketiga sebelum didaftar di kepaniteraan Pengadilan Negeri di daerah hukum berlangsungnya perkawinan itu atau jika perkawinan berlangsung di luar negeri maka di kepaniteraan dimana akta perkawinan dibukukan / diregister.
Sedangkan hukum Islam seperti yang tercantum pada Undang- undang No.1 Tahun 1974 tentang Perkawinan hanya terdiri atas satu pasal saja tentang perjanjian perkawinan, yaitu pasal 29 menyatakan :
Pada waktu sebelum perkawinan berlangsung kedua belah pihak atas persetujuan bersama dapat mengadakan perjanjian tertulis yang disahkan oleh Pegawai Pencatat Perkawinan setelah mana isinya berlaku juga terhadap pihak ketiga sepanjang pihak ketiga tersangkut.

Selain itu Kompilasi Hukum Islam juga memperbolehkan Perjanjian perkawinan sebagaimana dinyatakan dalam pasal 47:
Pada waktu atau sebelum perkawinan dilangsungkan kedua calon mempelai dapat membuat perjanjian tertulis yang disahkan Pegawai Pencatat Nikah mengenai kedudukan harta dalam perkawinan.

Konsep perjanjian perkawinan awal memang berasal dari hukum perdata barat Kitab Undang-Undang Hukum Perdata. Tetapi Undang-Undang No 1 Tahu 1974 tentang Perkawinan ini telah mengkoreksi ketentuan Kitab Undang-Undang Hukum Perdata tentang perjanjian perkawinan. Dalam pasal 139 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata: “Dengan mengadakan perjanjian kawin, kedua calon suami isteri adalah berhak menyiapkan beberapa penyimpangan dari peraturan perundang-undangan sekitar persatuan harta kekayaan asal perjanjian itu tidak menyalahi tata susila yang baik atau tata tertib umum dan asal diindahkan pula segala ketentuan di bawah ini, menurut pasal berikutnya”.
Bila dibandingkan maka Kitab Undang-Undang Hukum Perdata yang hanya membatasi dan menekankan perjanjian perkawinan hanya pada persatuan harta kekayaan saja, sedangkan dalam Undang-Undang No 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan bersifat lebih terbuka, tidak hanya harta kebendaan saja yang diperjanjikan tetapi juga bisa diluar itu sepanjang tidak bertentangan dengan hukum, agama dan kesusilaan, nilai-nilai moral dan adat istiadat. 
BAB 3. PEMBAHASAN

3.1 Pentingnya Perjanjian Perkawinan untuk Memberikan Jaminan Pemberdayaan Bagi Perempuan
Dalam konteks pemberdayaan perempuan, perjanjian perkawinan bisa menjadi alat untuk memberikan jaminan perlindungan perempuan dari segala kemungkinan terjadinya Kekerasan Dalam Rumah Tangga (KDRT). Secara gamblang terdapat hal-hal yang perlu untuk diperhatikan dalam membuat perjanjian perkawinan. Adapun hal-hal tersebut adalah persoalan poligami, mahar, perceraian, keuangan, dan menempuh pendidikan bagi perempuan. Dan juga persoalan-persoalan yang dianggap perlu untuk dimasukkan ke dalam perjanjian. Bahkan jika perlu pembagian kerja juga menjadi hal penting yang dimasukan ke dalam point perjanjian.
Di samping itu, keberadaan perjanjian perkawinan juga dapat memberikan manfaat yang memberikan kesempatan bagi pihak perempuan untuk memperjuangkan eksistensinya. Adapun manfaat penting yang dapat diambil dari perjanjian perkawinan antara lain:
1. Pembagian harta pasca perceraian yang mudah dan cepat
Bila terjadi perceraian maka perjanjian pranikah ini akan memudahkan dan mempercepat pembagian harta, karena sudah pasti harta yang akan diperoleh masing-masing, sudah jelas apa yang menjadi milik suami dan apa yang menjadi milik istri, tanpa proses yang berbelit belit sebagaimana bila terjadi perceraian.
2. Harta kekayaan istri dapat dibedakan secara jelas
Harta yang diperoleh isteri sebelum nikah, harta Bawaan, harta warisan ataupun hibah tidak tercampur dengan harta suami. Menjadi jelas harta milik istri apa saja.
3. Pembebanan dan pertanggungjawaban atas hutang dapat dilihat secara jelas
Dengan adanya pemisahan hutang maka menjadi siapa yang berhutang dan jelas siapa akan yang bertanggung jawab atas hutang tersebut. Untuk melindungi anak dan Isteri, maka isteri bisa menunjukan perjanjian pra nikah bila suatu hari suami meminjam uang ke bank kemudian tidak mampu membayar, maka harta yang bisa diambil oleh Negara hanyalah harta milik pihak tersebut (siapa yang meminjam) atau harta suami bukan dari harta isteri.
4. Perlindungan pihak istri dari kemungkinan KDRT
Isteri terhindar dari adanya kekerasan dalam rumah tangga (KDRT), bisa dalam artian fisik ataupun psikis, misalnya istri bisa mengembangkan kemampuannya dengan boleh bekerja, menuntut ilmu lagi, dll Karena tidak jarang terjadi ketidakseimbangan dalam berinteraksi antara suami dan isteri, salah satu pasangan mendominasi yang lain sehingga terjadi perasaan yang terendahkan dan terkekang dalam berekspresi.
5. Memungkinkan suami dan istri mendirikan perusahaan secara bersama-sama
Untuk isteri yang ingin mendirikan perusahaan, contohnya perseroan terbatas, maka ia bisa bekerjasama dengan suami karena sudah tidak ada lagi penyatuan harta dan kepentingan, bukan pihak yang terafiliasi lagi.

3.2 Pengaturan mengenai Poligami di dalam Perjanjian Perkawinan
Persoalan poligami sampai saat ini masih kontroversial dalam masyarakat muslim, tidak terkecuali muslim Kanada. Pencantuman point poligami dalam perjanjian perkawinan menjadi penting dalam upaya melindungi perempuan.
Di negara Barat, poligami adalah sesuatu yang dilarang (illegal). Begitu juga di Kanada, melakukan poligami adalah sesuatu yang dilarang oleh negara, meskipun demikian perempuan muslim di Kanada dianjurkan untuk memasukan point poligami sebagai bentuk ketidakrelaannya dipoligami dalam perjanjian perkawinan. Point ini penting masuk perjanjian perkawinan juga sebagai antisipasi apabila pasangan muslim tersebut pindah kewarganegaraan yang di negara tersebut tidak ada larangan poligami. Tak kalah pentingnya perjanjian perkawinan tersebut dilakukan di hadapan pemimpin agama dan didampingi oleh masing-masing pengacaranya, sehingga perjanjian tersebut mempunyai kekuatan hukum.
Di Indonesia, poligami juga menjadi perdebatan, khususnya yang berkaitan dengan pasal-pasal yang terdapat dalam Undang-undang No 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan. Sebagian adanya yang setuju dengan pembolehan terhadap praktik poligami. Namun, sebagian lainnya malah menentang adanya praktik poligami.
Secara riil, bisa kita lihat fakta yang disajikan LBH-APIK terkait dengan praktik poligami yang menunjukkan bahwa dari 58 kasus poligami yang didampingi LBH-APIK selama kurun 2001 sampai Juli 2003 memperlihatkan bentuk-bentuk kekerasan terhadap istri dan anak-anak mereka, mulai dari tekanan psikis, penganiayaan fisik, penelantaran istri dan anak-anak, ancaman dan teror, serta pengabaian hak seksual istri. Selain itu, 35 kasus di antaranya, banyak poligami dilakukan tanpa alasan yang jelas.
Dari berbagai pendapat, pembenaran praktik poligami ada pada kenyataan pada masa perkembangan di kalangan muslimin, banyak yang berpoligami. Namun, di sisi lain pendapat pertama tersebut terbentur dengan kenyataan bahwa banyak perceraian yang disebabkan adanya poligami.
Kemudian, muncul gagasan poligami dapat dilakukan melalui persyaratan yang sangat ketat, yaitu suami yang akan melakukan poligami harus mempunyai sifat ‘adil yang komprehensif dalam pembagian kasih sayang terhadap keluarga, dan dalam pembagian nafkah lahir batin. Dengan demkian, poligami ditempatkan pada status hukum darurat (emergency law) atau dalam keadaan yang luar biasa (extra-ordinary circumstance).
Sebenarnya, jika kita menilik dari akibat yang kurang baik dari praktik poligami, maka untuk sedikitnya mencegah poligami dan tentunya menjaga harmonisasi suatu keluarga, solusi yang dapat dilakukan adalah memasukkan ketentuan mengenai poligami ini ke dalam perjanjian perkawinan yang disetujui oleh sepasang suami dan istri.
Walaupun memasukkan ketentuan mengenai poligami dirasa kurang etis, upaya untuk mencegah hal yang buruk yang merupakan akibat dari poligami harus tetap diperhatikan dalam perjanjian perkawinan. Maka dari itu pengaturan mengenai poligami ini harus mendapatkan perhatian dan dipertegas dengan perjanjian perkawinan.

BAB 4. PENUTUP

4.1 Kesimpulan
Adapun manfaat penting yang dapat diambil dari perjanjian perkawinan antara lain:
1. Pembagian harta pasca perceraian yang mudah dan cepat
2. Harta kekayaan istri dapat dibedakan secara jelas
3. Pembebanan dan pertanggungjawaban atas hutang dapat dilihat secara jelas
4. Perlindungan pihak istri dari kemungkinan KDRT
5. Memungkinkan suami dan istri mendirikan perusahaan secara bersama-sama
Jika kita konsisten untuk menghindari disharmonisasi di dalam keluarga, maka untuk sedikitnya mencegah poligami dan tentunya menjaga harmonisasi suatu keluarga, solusi yang dapat dilakukan adalah memasukkan ketentuan mengenai poligami ini ke dalam perjanjian perkawinan yang disetujui oleh sepasang suami dan istri.
Walaupun memasukkan ketentuan mengenai poligami dirasa kurang etis, upaya untuk mencegah hal yang buruk yang merupakan akibat dari poligami harus tetap diperhatikan dalam perjanjian perkawinan. Maka dari itu pengaturan mengenai poligami ini harus mendapatkan perhatian dan dipertegas dengan perjanjian perkawinan.

DAFTAR PUSTAKA
Harahap, M. Yahya. 1975. Hukum Perkawinan Nasional. Medan: Zahir Trading Co.
http://www.kpcmelaticenter.com/id/perjanjian-pranikah/perjanjian-pra-nikah.html. Diakses pada 2 Mei 2010
http://www.rahima.or.id/index.php?view=article&catid=39%3Ateropong-dunia&id=223%3Ateropong-edisi-14-perjanjian-pranikah-menilik-tradisi-pernikahan-muslim-di-kanada&option=com_content&Itemid=272. Diakses pada 1 Mei 2010
Jurnal Hukum Jentera online. Perjanjian Pranikah: Solusi Untuk Semua?. (http://www.hukum.on-line.com). diakses pada 1 Mei 2010
Mukhtar, Kamal. 1974. Asas-asas Hukum Islam tentang Perkawinan. Jakarta: Bulan Bintang
Subekti, R dan Tjitrosudibio, R. 1999. Kitab Undang-Undang Hukum Perdata = Burgerlijk Wetboek : Dengan Tambahan Undang-Undang Pokok Agraria dan Undang-Undang Perkawinan. Jakarta: PT Pradnya Paramita

Sabtu, 29 Mei 2010

Artikel Akuntansi Internasional: Tinjauan Akin terhadap Tax Heaven

TINJAUAN AKUNTANSI INTERNASIONAL
TERHADAP TAX HEAVEN

Oleh: Kukuh Fadli Prasetyo

Pendahuluan
Kemarahan Presiden Prancis Nicolas Sarkozy terhadap pasar yang terlalu liberal saat pertemuan KTT pemerintahan G-20 di Excel Centre, Dockland, London, didukung oleh Kanselir Jerman Angela Merkel. Mereka menginginkan agar pasar dapat diatur dengan regulasi yang jelas. Selain itu mereka juga menentukan sasaran lainnya, yaitu negara-negara surga pajak (tax heaven) juga harus dikendalikan.
Negara-negara itu yang umumnya produk buatan kolonialis Inggris seperti Singapura, Hongkong, dan 33 negara persemakmuran lainnya yang juga menjadi tax heaven. Negara-negara tersebut dianggap sebagai pelindung para kapitalis pemangsa, lokasi penyimpanan uang haram, lokasi aksi-aksi spekulasi yang telah melahirkan fenomena kanibal di sektor keuangan. (Kompas. 5 April 2009)
Untuk mengatasi krisis keuangan global perlu reformasi regulasi dan peraturan dalam sistem keuangan, salah satunya soal pengaturan tax heaven dengan kehadiran Financial Stability Board. G-20 juga sepakat mendesak sebuah upaya untuk standardisasi akuntansi, aturan mengenai hedge fund yang selama ini tidak mudah tersentuh dan aturan mengenai tax heaven. Para pemimpin G-20 juga sepakat masalah kerahasiaan perbankan harus diakhiri dan tidak ada toleransi lagi bagi negara ataupun teritori pelindung para penghindar pajakdan kejahatan kerah putih lainnya.
Dampak dari krisis finansial yang hebat membuat negara-negara maju menginginkan pajak yang dilarikan korporasi penghindar pajak (tax awiders) dapat kembali menjadi hak negaranya. Organisasi Kerja sama Ekonomi dan Pembangunan (OECD) telah mengumumkan kriteria negara-negara atau teritori sebagai surga pajak. Empat negara masuk dalam daftar hitam atau black, list karena tidak kooperatif, yaitu Filipina, Uruguay. Kosta Rika, dan Malaysia (Labuan). Mereka menolak menerapkan asas transparansi perbankan ataupun informasi mengenai pajak dalam skim exchange information.
OECD menyusun daftar negara atau teritori tax heaven berdasarkan tiga kategori. Pertama, negara yang siap melakukan pertukaran informasi atau telah mengimplementasikan standar perpajakan dan perbankan dengan baik (white list). Kedua, mereka siap untuk bertindak atau sudah berkomitmen, tetapi belum sepenuhnyamengimplementasikan standar perpajakan dan perbankan dengan baik (grey list). Ketiga, negara atau teritori yang belum sepakat menerapkan asas transparansi atau belum mau berkomitmen (black list).
Surga pajak termasuk entitas politik yang menawarkan pengenaan pajak yang rendah dan pelindung bagi penghindar pajak. Surga pajak atau off-shore center menurut OECD Report on Harmful Tax Competition (1988) didefinisikan dalam empat kriteria. Dua kriteria surga pajak adalah pengenaan pajak yang rendah atau nihil dan memberikan kesempatan kepada nonresiden untuk menghindari pajak di negaranya dan melayani aktivitas ilegal.
Selain itu, surga pajak tidak melakukan pertukaran informasi perpajakan yang efektif berdasarkan UU atau praktik administratifnya dan tidak transparan dalam menjalankan kegiatannya. Dengan tidak memberikan informasi mengenai pajak untuk kepentingan perusahaan dari negara lain, diartikan sebagai tempat pencucian uang (money laundry) yang masif.
Di Amerika banyak dipertanyakan mengapa institusi-institusi finansial yang diberikan jaminan (bail out) pemerintah masih saja tetap beroperasi di negara atau teritori tax heaven. Tidak berlebihan mengapa tax heaven tetap menarik minat investor asing karena uang mereka dapat diinvestasikan dengan aman dan tetap dijaga kerahasiaannya, serta terlindung dari institusi penyidik pajak internasional.
Diduga sekitar 400 kantor bank-bank internasional beroperasi di negara dan teritori tax heaven. Sekitar dua pertiga dari hedge fund terkenal di bursa internasional pun mempunyai representatif office di sinitermasuk kurang lebih 2 juta perusahaan top dunia (elah mendaftarkan asetnya sedikitnya 10 triliun dolar AS di wilayah ini. Bagi Indonesia, penghapusan tax heaven akan banyak memberi manfaat dalam mengurangi insentif arus modal keluar yang bertujuan menghindari pajak. Dana-dana hasil kejahatan ataupun yang dicuri dari negara oleh sekelompok orang akan kembali dan memperkuat cadangan devisa negara, karena tidak ada tempat lagi untuk bersembunyi. Secara tidak langsung akan memperkuat nilai tukar rupiah, dan dapat meningkatkan investasi guna menunjang penerimaan pajak.
Walaupun timbul polemik, hal tersebut setidaknya membuka lembaran baru dan transparansi dalam sistem perpajakan internasional. Ada tekanan dari G-20 bahwanegara yang I menolak atau j tidak mau I bekerja sama I dalam i memberikan informasimengenai pajak akan dikenai sanksi berat, antara lain dicabut dari keanggotaan Bank Dunia dan IMF.
Masalah kerahasiaan bank (bank secrecy) dianggap salah satu yang memperburuk krisis keuangan global karena tax heaven yang menyembunyikan aset-aset global. Ada dugaan rax heaven ini memberikan tempat berlindung yang nyaman bagi para pejabat untukmenyembunyikan dana-dana ilegal hasil korupsi, ataupun pengusaha hitam yang melarikan dana dari kejaran aparat hukum di negerinya.
Dampak kerasnya OECD menerapkan asas transparansi infonnasi dengan membuat daftar negara atau teritori yang masuk daftar hitam membuat tiga negara Uni Eropa yang memiliki aturan kerahasiaan bank akan mengubah kerahasiaan undang-undang perbankan, yaitu Luksemburg, Austria, dan Belgia. Sementara itu, Swiss dan Liechtenstein tetap masuk dalam grey list karena menyatakan baru siap mengubah kerahasiaan sistem perbankannya. (Associated Press, 2-04-2009)
Singapura bergegas ke luar dari daftar abu-abu (grey list) dengan akan mengamendemen UU Pajak pada tahun ini juga. Singapura dianggap belum mengimplementasikan aturan pajak internasional sesuai dengan standar OECD, khususnya mengenai pertukaran mini in.im perpajakan melalui Avoidance of Double Taxation Agreements (DTAs). Di luar Singapura ada 38 negara yang dimasukkan dalam grey list. (Media Indonesia. 7-04-2009)
Kemungkinan sanksi berat akan dikenakan kepada bank-bank di negara mana saja di dunia yang tetap melakukan transaksi dengan negara surga pajak yang masuk daftar hitam OECD. Sanksi lainya, adanya pengucilan atas Tax heaven dari dunia internasional, khususnya di bidang keuangan dan perbankan. Akan dibuat daftar dan pengenaan sanksi bagi para investor, baik entitas maupun perorangan, yang melakukan transaksi dengan tax heaven, sehingga dijauhi dari aktivitas bisnis internasional.

Respon Indonesia Atas Rekomendasi OECD
Rencana Ditjen Pajak untuk mengeluarkan daftar kawasan tax heaven sesuai dengan kriteria sendiri dan mewaspadai investasi yang tercatat di offshore centre tersebut merupakan langkah positif melengkapi langkah 7 tahun yang lalu dengan berdirinya Pusat Pelaporan Dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK) momentum terciptanya rezim anti pencucian uang.
Langkah ini terkait dengan perkembangan global yang dipelopori negara OECD dalam Sidang G-20 Summit 3 April 2009 di London. Keputusan penting di antaranya membatasi operasional tax heaven dan mendorong terciptanya transparansi dan pertukaran informasi perpajakan serta penerapannya sesuai dengan standar pajak internasional.
Hal itu akan ikut mereformasi sistem moneter dan keuangan global yang telah mengalami kekacauan dan berpuncak pada munculnya krisis finansial global sejak 2007 sampai saat ini. Angin perubahan yang mulai digencarkan oleh Barack Obama semasa kampanye 2008 segera mendapatkan respons positif dan mengkristal menjadi keputusan global.
Pada evaluasi April 2009, Financial Action Task Force (FATF) menentukan empat negara Filipina, Malaysia (Labuan), Uruguay dan Kostarika yang masuk dalam kelompok negara yang tidak kooperatif (black list). Keputusan ini mengakhiri hampir setengah abad era kejayaan offshore centre dari yang klasik di Swiss sampai yang modern di puluhan negara eks persemakmuran Inggis atau Prancis (Mauritius, British Virgin Island atau Cayman Island).

Kebijakan Indonesia Mengenai Tax Heaven
Sanksi black list ini ikut mendorong otoritas moneter dan hukum Indonesia untuk mempercepat implementasi kebijakan rezim antipencucian uang sesuai dengan norma global FATF. Implementasi kebijakan ini sudah dimulai pascareformasi di antaranya melalui PBI 28 Oktober 1999 tentang Pemantauan Kegiatan Lalu Lintas Devisa Bank dan Lembaga Keuangan Non Bank.
Sebagai tindak lanjut dari UU Nomor 24 Tahun 1999 tentang Lalu Lintas Devisa dan Sistem Nilai Tukar, tepatnya 7 tahun lalu yaitu 12 April 2002 terbit UU No. 15 tahun 2002 yang disahkan 12 April 2002 tentang Tindak Pidana Pencucian Uang. Bersamaan dengan ini maka dibentuklah lembaga independen PPATK. Sebelum resmi beroperasi 18 Oktober 2003 badan ini melanjutkan tugas Unit Khusus Investigasi Keuangan Bank Indonesia (UKIP-BI).
Kehadiran PPATK terus dilengkapi dengan seperangkat hukum dan peraturan terkait. Yakni Surat Edaran Bank (SEBI) Nomor 3 Tanggal 13 Juni 2001 tentang Pelaporan Kegiatan Lalu Lintas Devisa oleh Bank. SEBI ini menetapkan bahwa bank wajib melaporkan transaksi keuangan oleh nasabah secara bulanan.
Transaksi di atas US$10.000 (ekuivalen) harus dilaporkan secara individu yang berisi perincian tentang kategori, jenis rekening, pelaku dan hubungan keuangan antarpelaku transaksi, jenis valuta, dan tujuan transaksi. Batasan transaksi US$10.000 ini setidaknya sama dengan batasan yang diterapkan oleh AS sejak tahun 1970 yang mewajibkan bank harus melaporkan penerimaan di atas US$10.000 dan menggolongkannya sebagai transaksi mencurigakan (suspicious transaction).
Dilanjutkan Peraturan Bank Indonesia (PBI) Nomor 3 Tanggal 18 Juni 2001 tentang Penerapan Prinsip Mengenal Nasabah (know your customer principles). Dua hari kemudian Indonesia bergabung dalam kelompok regional antipencucian uang Asia Pasifik (Asia Pacific Group on Money Laundering, APGML). Dengan berbagai langkah teknis dan kebijakan hukum ini maka 7 tahun setelah PPATK berdiri maka Indonesia tetap lolos dari black list.
FATF akan terus memonitor perkembangan dengan mengacuh pada 40 prinsip dan komitmen globalnya. OECD menetapkan 40 komitmen yang harus diterapkan guna menentukan keluar masuknya sebuah negara ke dalam daftar NCCT, dan ini bergantung pada kemauan negara tersebut. Sebanyak 40 buah rekomendasi anti pencucian uang ini dimonitor oleh FATF (satuan penugasan dari OECD untuk mengawasi anti pencucian uang).
Berakhirnya tax heaven berdampak positif bagi pemasukan pajak Indonesia khususnya dari golongan nasabah kaya (high net worth individual: HNWI). Sehingga kontribusinya bagi penerimaan pajak akan naik. Meski ada pendapat sebaliknya. Jika seluruh negara telah menerapkan globalisasi standar pajak internasional dan membuka kerahasiaan nasabah maka hal ini positif, meski perlu waktu.
Keputusan G-20 Summit ini perlu dicermati oleh pemerintah agar bisa menarik manfaat dari globalisasi standar pajak internasional dan dibukanya rahasia nasabah (bank secrecy) di tax heaven kawasan offshore centre. Terdapat potensi untuk mengenakan pajak bagi nasabah yang hengkang dari tax heaven dan tentu saja ini membutuhkan peningkatan kualitas dan kuantitas aparat pajak.
Selain nasabah kaya juga masih ada potensi lain yaitu perusahaan-perusahaan asal Indonesia yang juga mendirikan perusahaan di tax heaven untuk berbagai tujuan bisnis. Tidak heran jika saat ini terdapat ratusan perusahaan usia balita tetapi punya aset puluhan triliun rupiah dan berdomisili di tax heaven. Perusahaan itu laksana "bayi bongsor" yang perlu diperhatikan eksistensinya secara positif demi kebaikan dan kemakmuran negara tanpa merugikan dunia usaha.



Makalah Filsafat Pancasila: Perlindungan HAM berdasarkan Pancasila Setelah Amandemen UUD 1945

Perlindungan Hak Asasi Manusia berdasarkan Pancasila

Setelah Amandemen Undang-Undang Dasar 1945[1]

Oleh: Kukuh Fadli Prasetyo[2]

1. Pendahuluan

1.1 Latar Belakang

Keberadaan isu hak asasi manusia mulai dihembuskan paska perang dunia, yaitu Tahun 1945. Gagasan tersebut bermula saat timbul kesadaran kebiadaban dan kejahatan yang mengancam hak asasi manusia pada saat perang dunia kedua meletus. Dan tindak lanjutnya baru terlihat saat universal human rights ditandatangani.

Di Indonesia, pasang surut pengakuan hak asasi manusia berlangsung pada medio 1945-1998. Pada masa 1945-1966, euforia kemerdekaan Indonesia juga membawa imbas yang cukup besar bagi pengakuan hak asasi manusia. Hal demikian itu terlihat pada satu kalimat yang menyatakan bahwa penjajahan di atas dunia harus dihapuskan karena tidak sesuai dengan perikemanusiaan dan perikeadilan.

Namun euforia kemerdekaan itu berakhir pada akhir pemerintahan orde lama, pada kurun waktu 1965-1967. Hal tersebut tergambar pasca peristiwa G-30-S/PKI, dimana banyak orang-orang dibunuh, atau dihilangkan nyawanya secara paksa, tanpa adanya putusan pengadilan terlebih dahulu. Sungguh sebuah sejarah bangsa yang masih menyimpan kontroversi hingga saat ini.

Setelah lengsernya orde lama dan digantikan oleh orde baru, isu penegakan hak asasi manusia sebenarnya telah dijadikan dasar berpijak bagi orde pemerintahan yang berkuasa sejak 1966-1998. Namun, pada perjalanannya, pemerintahan yang dijalankan oleh seorang diktator tunggal ini pun harus menginfiltrasikan konsep militer dalam menjaga eksistensi pemerintahan. Pun, sebagai konsekuensinya, militer harus menekan masyarakat sipil untuk memberikan pengakuan dan kesanggupan untuk tunduk pada kekuasaan pemerintahan orde baru.

Maka, pada masa pemerintahan orde baru ada banyak kasus pelanggaran hak asasi manusia yang terjadi. Namun kekuasaan pemerintah yang didukung secara ekstrem oleh kekuatan militer telah memaksa negara ini untuk terus dan terus melakukan pelanggaran hak asasi manusia demi menegakkan konsep pemerintahan berdiktator tunggal ini.

Kemudian pada 21 Mei 1998, sand Diktator Tunggal, Soeharto, menyatakan mundur dari kekuasaannya sebagai Presiden Republik Indonesia. Momen itulah yang menjadi awal bagi proses amandemen terhadap Undang-Undang Dasar 1945. Adapun amandemen yang dilakukan tersebut diarahkan untuk memberikan perlindungan konstitusional bagi warga negara, termasuk mengakomodasi keberadaan hak asasi manusia.

Dengan demikian, masa 1999 hingga saat ini adalah masa-masa dimana pengakuan terhadap hak asasi manusia telah mendapat tempat yang lebih baik daripada masa-masa sebelumnya. Namun terdapat hal-hal yang perlu ditelaah dalam kaitannya dengan pengakuan hak asasi manusia yang diakomodasi oleh Undang-Undang Dasar 1945 setelah amandemen.

1.2 Rumusan Masalah

1. Apakah perlindungan terhadap hak asasi manusia yang terdapat dalam Undang-Undang Dasar bertalian erat dengan tindakan Pemerintah Indonesia?

2. Bagaimanakah mekanisme untuk menegakkan perlindungan terhadap hak asasi manusia di Indonesia?

2. Pembahasan

2.1 Pertalian antara Perlindungan Hak Asasi Manusia yang Diatur dalam Undang-Undang Dasar 1945 dengan Tindakan Pemerintah Indonesia

Konstitusi, bagaimanapun, sebagaimana banyak ditafsirkan melalui materialisasi teks-teks telah memperlihatkannya sebagai konfigurasi politik yang bekerja. Artinya, konstitusi merupakan persepakatan secara sadar oleh para pembuat maupun pengambil kebijakan dengan sejumlah pemahaman dan kepentingan yang mereka miliki. Oleh sebab itu konstitusi, meski dipercaya dalam idenya memiliki nilai-nilai dan makna yang maha penting dalam menata kehidupan ketatanegaraan, sosial, ekonomi dan politik, ia tetaplah sebagai hasil dari pergesekan dan tarik-menarik representasi politik-ekonomi dominan yang memiliki kekuasaan tertentu dalam mempengaruhinya. Itupun belumlah menjamin konsistensi berlakunya dalam kebijakan-kebijakan negara.

Kita mungkin dengan mudah menyatakan bahwa paradigma pembangunanisme dan stabilisasi politik ekonomi dengan cara-cara kekerasan selama rezim Soeharto tidaklah mencerminkan penghormatan, perlindungan dan pemenuhan hak asasi manusia. Penculikan, intimidasi, penyiksaan, pembunuhan, pembantaian massal, adalah sederetan cara kekerasan yang dominan terjadi ketika rakyat menolak atau melawan kebijakan dan paradigma negara Orde Baru. Stigmatisasi “anti pembangunan” atau “antek PKI” demikian mudah meluncur dari mulut birokrat maupun politisi untuk menghajar rakyat, sehingga banyak sekali kekerasan secara sistematik, baik menggunakan peradilan maupun tanpa peradilan, seperti banyaknya penghilangan dan pembunuhan di luar proses peradilan (extra-judicial killings). Sakralisasi UUD 1945, peradilan beserta institusi hukum lainnya menjadi alat kekerasan, hukum diproduksi untuk pemenuhan kepentingan penguasa dan sekaligus menyingkirkan rakyat, kebebasan berekspresi ditekan dan sangat dibatasi. Kekerasan negara telah menjadi bagian dari paradigmanya.

Kini situasinya ‘berbalik’, lebih-lebih pasca amandemen UUD 1945. Desakralisasi UUD 1945 dengan empat kali amandemen, program reformasi peradilan didukung banyak pihak, termasuk secara politik dan didanai sejumlah lembaga donor asing, hukum-hukum represif telah banyak yang dicabut dan digantikan dengan sejumlah perundang-undangan yang lebih terbuka proses pembentukannya, kran kebebasan berekspresi kini relatif terbuka cukup lebar, dan (apalagi) ditopang oleh banyaknya pasal-pasal hak asasi manusia. Jimly Asshidiqqie menegaskan bahwa secara keseluruhan dapat dikatakan bahwa ketentuan-ketentuan tentang hak-hak asasi manusia telah diadopsikan ke dalam sistem hukum dan konstitusi Indonesia itu berasal dai berbagai konvensi internasional dan deklarasi universal hak asasi manusia serta berbagai instrumen hukum internasional lainnya.

Kekerasan negara seakan telah berkurang, meskipun sesungguhnya masih saja kerap terjadi, termasuk pelanggengan impunitas. Dalam konteks demikian, nampak jelas bahwa politik hak asasi manusia pasca amandemen UUD 1945 yang dibangun pemerintah inkonsisten dalam implementasinya.

Meskipun demikian, perlu pula dipahami bahwa Negara telah mengubah animasi politik hak asasi mausianya dengan memperkenalkan diskursus dominan hak asasi manusia yang dilekatkan dengan kepentingan liberalisasi pasar. Diskursus dominan tersebut menyulitkan publik untuk mengatakan inkonsisten dalam sejumlah kerangka implementatifnya, karena hukum beserta produk perundang-undangannya direproduksi justru untuk melegalisasikan kebijakan represif. Oleh sebabnya, tidak begitu mengherankan bila politik pembaruan hukum di Indonesia lebih diarahkan pada disain neo-liberal.

Namun dalam kerangka hukum disain neo-liberal, politik yang demokratis memanglah sangat diharapkan untuk menunjang pembaruan hukum, bukan bercorak politik otoritarian. Maka, secara paradigmatik, proses-proses untuk mendisiplinkan demokrasi diperlukan sebagai prasyarat untuk menginjeksikan program-program pembaruan hukum beserta kelembagaannya, seraya tetap ramah pada liberalisasi pasar. Dalam kaitannya dengan hak asasi manusia, program-program pembaruan hukum dikemas dengan bingkai diskursus yang disahihkan melalui sirkuit kekuasaan dan legitimasi intelektual dalam bentuk good governance, access to justice, dan poverty reduction strategic programs. Oleh sebabnya, tidak terlampau terkejut karena dukungan pendanaan demikian deras mengalir tidak saja kepada pemerintah, melainkan pula bagi organisasi non-pemerintah, termasuk forum-forum multi-stakeholder yang menjadi “jembatan” komunikasi dan proyek bersama.

Pendisiplinan pembaruan dalam paradigma ini kongkritnya adalah ‘kerangka hukum untuk pembangunan’ (legal framework for development) yang didesakkan Bank Dunia, baik secara langsung maupun melalui ‘titipan’ ke lembaga donor dan multi-stakeholder lainnya, telah berhasil memistifikasi peran-peran strategis organisasi non-pemerintah melalui model ‘partisipasi-kemitraan’ dan menyebabkannya tidak lagi peka terhadap problem mendasar hak-hak asasi manusia.

Sederetan perundang-undangan yang merupakan prasyarat utang (baca: pesanan) proponen neo-liberal menjadi dominan terjadi pasca jatuhnya Soeharto di 1998, dan ini beriringan dengan reformasi hukum. Tiga gelombang undang-undang perburuhan sejak 1997 hingga 2006 telah nyata merepresi secara halus dan sistematik hak-hak buruh di Indonesia (softhening rights violations), melalui strategi tekanan upah buruh murah, meliberalkan persyaratan kerja bagi pekerja asing, outsourcing (perjanjian kerja waktu tertentu), kemudahan pengusaha untuk memecat dan merekrut buruh, liberalisasi aturan pesangon dan jaminan sosial, liberalisasi mekanisme penyelesaian perselisihan buruh-pengusaha, dan kebijakan kelenturan pasar buruh. Bagi buruh Indonesia yang kondisinya surplus dan rentan di-PHK, maka tekanan neo-liberal tersebut telah nyata bertentangan dengan hak-hak konstitusional, utamanya hak atas pekerjaan dan penghidupan yang layak (pasal 27 ayat 2) dan hak untuk bekerja serta mendapat imbalan dan perlakuan yang adil dan layak dalam hubungan kerja (pasal 28D ayat 2). Begitu juga terhadap privatisasi dan komersialisasi sumberdaya alam melalui UU Sumberdaya Air dan UU Penanaman Modal Asing, kian melengkapi disain legalisasi pelanggaran hak-hak konstitusional atau hak asasi manusia (legalized violation of human rights).

Keberhasilan mistifikasi yang demikian lebih disebabkan kecanggihan teknologi kekuasan mereproduksi diskursus good governance, access to justice, dan poverty reduction strategic programs, yang dalam prakteknya justru memperlihatkan kekuatan dominan neo-liberal yang mensubversi hak-hak asasi manusia. Dalam konteks demikian, mistifikasi atas kekuatan yang tidak berimbang telah cukup menyilaukan publik antara mana yang disebut human rights movement dengan human rights market friendly.

Jaminan kerangka normatif melalui konstitusionalisasi hak-hak asasi manusia telah dikooptasi dengan paradigma hak asasi manusia ramah pasar, yang tidak lagi menyoal konsisten dan inkonsisten (secara hukum), melainkan nyata sekali inkoheren antara teks (kerangka normatif dan kebijakan), konteks dan dinamika teks-konteksnya.

2.2 Mekanisme dalam Penegakan Perlindungan terhadap Hak Asasi Manusia di Indonesia

Dalam pasal 28I ayat (4) UUD 1945 pasca amandemen jelas menunjukkan tanggung jawab negara dalam HAM. Sedangkan dalam pasal 28I ayat (5) menegaskan penegakan dan perlindungan hak asasi manusia yang sesuai dengan prinsip negara hukum yang demokratis, maka pelaksanaan hak asasi manusia dijamin, diatur, dan dituangkan dalam peraturan perundang-undangan.

Rumusan kata ‘dalam’ pada pasal 28I ayat (5), “....dijamin, diatur, dan dituangkan dalam peraturan perundang-undangan” memberikan arti bahwa hak asasi manusia tidak hanya diatur dengan suatu perundang-undangan khusus, melainkan ‘dalam’ segala perundang-undangan yang tidak sekalipun mengurangi substansi hak asasi manusia dalam konstitusi. Konsep yang demikian haruslah dipahami oleh Negara sebagai konsep pentahapan maju kewajiban hak asasi manusia dan perlindungan hak-hak konstitusional melalui strategi legislasi (progressive realization).

Sejak amandemen konstitusi, dalam konteks kebijakan dan legislasi, salah satu mekanisme tambahan selain gugatan ke Pengadilan Tata Usaha Negara dan Mahkamah Agung, yang bisa memberikan perlindungan hak-hak konstitusional adalah Mahkamah Konstitusi yang memiliki wewenang mengadili pada tingkat pertama dan terakhir yang putusannya bersifat final untuk menguji undang-undang terhadap Undang-Undang Dasar (pasal 24C ayat 1). Wewenang Mahkamah Konstitusi yang bisa menjadi benteng perlindungan ketika hak-hak konstitusional dilanggar, adalah sangat penting dalam kehidupan demokrasi yang menegaskan keseimbangan kekuasaan, dalam konteks ini antara kekuasaan legislasi dan kekuasaan yudisial. Pertarungan politik legislasi, pesanan paket perundangan tertentu, atau mungkin kelemahan sumberdaya manusia di parlemen dalam membentuk suatu produk hukum, yang kesemuanya setiap saat bisa terjadi, bisa ‘dikoreksi’ maupun ‘dibatalkan’ melalui gugatan ke Mahkamah Konstitusi. Meskipun demikian, perlindungan hak-hak konstitusional belum tentu benar-benar bisa dijamin melalui mekanisme tersebut, karena sangat bergantung dengan otoritas penafsiran mayoritas melalui putusan sembilan hakim.

Misalnya, Putusan Mahkamah Konstitusi No. 012/PUU-I/2003, tertanggal 28 Oktober 2004, judicial review UU No. 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan, mayoritas hakim Mahkamah Konstitusi berpendapat liberalisasi outsourcing bukanlah persoalan yang bertentangan hak asasi manusia atau hak konstitusional. Begitu juga Putusan Mahkamah Konstitusi No. 006/PUU-IV/2006 dan No. 020/PUU-IV/2006, judicial review UU No. 27 Tahun 2004 tentang Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi, mayoritas hakim Mahkamah Konstitusi berpendapat membatalkan keseluruhan isi undang-undang tersebut, tanpa melihat aspek dampak terhadap korban dan keluarga korban yang kian tidak jelas proses rehabilitasi dan kompensasinya, termasuk pertanggungjawaban pelaku kejahatan hak asasi manusia. Putusan tersebut dirasakan memperkuat pelanggengan impunitas yang sudah pekat terjadi di Indonesia.6 Menurut catatan Elsam, setidaknya putusan Mahkamah Konstitusi tersebut berdampak pada: (i) Hilangnya kerangka hukum bagi narasi korban: terbukanya kembali ruang pengingkaran tanggung jawab negara atas kekerasan masa lalu; (ii) Hilangnya roh pengungkapan kebenaran dan keberlangsungan praktek impunitas.

Meskipun demikian, dalam sistem ketatanegaraan Indonesia, eksistensi Mahkamah Konstitusi haruslah diperkuat sebagai lembaga yang bisa menyeimbangkan kekuasaan Negara, baik kekuasaan legislatif maupun kekuasaan eksekutif. Beberapa Putusan MK juga perlu diapresiasi sebagai bentuk perlindungan hak-hak konstitusional, seperti salah satunya dalam Putusan MK No. 011-017/PUU-I/2003, judicial review UU No. 12 Tahun 2003 tentang Pemilu Anggota DPR, DPD dan DPRD. Dalam putusan ini, mayoritas hakim MK mengabulkan gugatan pemohon dengan substansi pemulihan hak-hak kewarganegaraan (hak-hak sipil dan politik) para anggota/simpatisan PKI.

Dalam rangka membangun mekanisme yang melindungi secara lebih kuat hak-hak konstitusional warga negara, negara lain, contohnya Jerman, di dalam konstitusinya telah memasukkan ketentuan tentang hak gugat konstitusional (constitutional complaint). Namun, Undang-Undang Dasar 1945 pasca amandemen masih belum memberikan jaminan constitutional complaint. Padahal bagi warga negara yang hak-hak dasarnya dilanggar (constitutional injury) senantiasa berhadapan dengan mekanisme apa yang bisa digunakan. Dengan demikian dengan adanya mekanisme constitutional complain, hambatan-hambatan demikian dapat direduksi.

3. Penutup

3.1 Kesimpulan

Masih banyaknya tindakan pemerintah yang tergambar melalui pembentukan aturan untuk mengkongkretkan kebijakannya adakalanya mempunyai resistensi tinggi untuk melindungi perlindungan terhadap hak asasi manusia. Contohnya adalah masalah konkretisasi peraturan perundang-undangan ketenagakerjaan yang masih menempatkan buruh sebagai pihak yang lemah dengan perlindungan hukum yang minim.

Dengan demikian, jaminan kerangka normatif melalui konstitusionalisasi hak-hak asasi manusia telah dikooptasi dengan paradigma hak asasi manusia ramah pasar, yang tidak lagi menyoal konsisten dan inkonsisten (secara hukum), melainkan nyata sekali inkoheren antara teks (kerangka normatif dan kebijakan), konteks dan dinamika teks-konteksnya.

Mahkamah Konstitusi yang memiliki wewenang mengadili pada tingkat pertama dan terakhir yang putusannya bersifat final untuk menguji undang-undang terhadap Undang-Undang Dasar (pasal 24C ayat 1). Wewenang Mahkamah Konstitusi yang bisa menjadi benteng perlindungan ketika hak-hak konstitusional dilanggar, adalah sangat penting dalam kehidupan demokrasi yang menegaskan keseimbangan kekuasaan, dalam konteks ini antara kekuasaan legislasi dan kekuasaan yudisial. Pertarungan politik legislasi, pesanan paket perundangan tertentu, atau mungkin kelemahan sumberdaya manusia di parlemen dalam membentuk suatu produk hukum, yang kesemuanya setiap saat bisa terjadi, bisa ‘dikoreksi’ maupun ‘dibatalkan’ melalui gugatan ke Mahkamah Konstitusi.

3.2 Saran-Saran

1. Perlu adanya penguatan Lembaga Mahkamah Konstitusi untuk memberikan supremasi bagi Mahkamah Konstitusi dalam mengawal dan menegakkan perlindungan hak konstitusional yang di dalamnya juga tercakup hak asasi manusia.

2. Berkaitan dengan constitutional complain yang sudah berkembang di negara lain, mungkin perlu untuk diperhatikan untuk mengakomodasi keberadaan constitutional complain dalam peraturan perundang-undangan kaitannya dengan kewenangan Mahkamah Konstitusi.

DAFTAR PUSTAKA

Asshiddiqie, Jimly. 2009. Pengantar Ilmu Hukum Tata Negara. Jakarta: Rajawali Pers.

http://herlambangperdana.files.wordpress.com/2008/06/herlambang-ham-setelah-amademen-uud-1945a2.pdf

Indrayana, Denny. 2008. Negara Antara Ada Dan Tiada: Reformasi Hukum Ketatanegaraan. Jakarta: PT Kompas Media Nusantara.

Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia 1945 Setelah Amandemen



[1] Disusun untuk memenuhi nilai tugas mata kuliah Filsafat Pancasila

[2] Mahasiswa Fakultas Ekonomi Jurusan Akuntansi dan Fakultas Hukum Jurusan Hukum Tata Negara Universitas Jember