Sabtu, 29 Mei 2010

Artikel Akuntansi Internasional: Tinjauan Akin terhadap Tax Heaven

TINJAUAN AKUNTANSI INTERNASIONAL
TERHADAP TAX HEAVEN

Oleh: Kukuh Fadli Prasetyo

Pendahuluan
Kemarahan Presiden Prancis Nicolas Sarkozy terhadap pasar yang terlalu liberal saat pertemuan KTT pemerintahan G-20 di Excel Centre, Dockland, London, didukung oleh Kanselir Jerman Angela Merkel. Mereka menginginkan agar pasar dapat diatur dengan regulasi yang jelas. Selain itu mereka juga menentukan sasaran lainnya, yaitu negara-negara surga pajak (tax heaven) juga harus dikendalikan.
Negara-negara itu yang umumnya produk buatan kolonialis Inggris seperti Singapura, Hongkong, dan 33 negara persemakmuran lainnya yang juga menjadi tax heaven. Negara-negara tersebut dianggap sebagai pelindung para kapitalis pemangsa, lokasi penyimpanan uang haram, lokasi aksi-aksi spekulasi yang telah melahirkan fenomena kanibal di sektor keuangan. (Kompas. 5 April 2009)
Untuk mengatasi krisis keuangan global perlu reformasi regulasi dan peraturan dalam sistem keuangan, salah satunya soal pengaturan tax heaven dengan kehadiran Financial Stability Board. G-20 juga sepakat mendesak sebuah upaya untuk standardisasi akuntansi, aturan mengenai hedge fund yang selama ini tidak mudah tersentuh dan aturan mengenai tax heaven. Para pemimpin G-20 juga sepakat masalah kerahasiaan perbankan harus diakhiri dan tidak ada toleransi lagi bagi negara ataupun teritori pelindung para penghindar pajakdan kejahatan kerah putih lainnya.
Dampak dari krisis finansial yang hebat membuat negara-negara maju menginginkan pajak yang dilarikan korporasi penghindar pajak (tax awiders) dapat kembali menjadi hak negaranya. Organisasi Kerja sama Ekonomi dan Pembangunan (OECD) telah mengumumkan kriteria negara-negara atau teritori sebagai surga pajak. Empat negara masuk dalam daftar hitam atau black, list karena tidak kooperatif, yaitu Filipina, Uruguay. Kosta Rika, dan Malaysia (Labuan). Mereka menolak menerapkan asas transparansi perbankan ataupun informasi mengenai pajak dalam skim exchange information.
OECD menyusun daftar negara atau teritori tax heaven berdasarkan tiga kategori. Pertama, negara yang siap melakukan pertukaran informasi atau telah mengimplementasikan standar perpajakan dan perbankan dengan baik (white list). Kedua, mereka siap untuk bertindak atau sudah berkomitmen, tetapi belum sepenuhnyamengimplementasikan standar perpajakan dan perbankan dengan baik (grey list). Ketiga, negara atau teritori yang belum sepakat menerapkan asas transparansi atau belum mau berkomitmen (black list).
Surga pajak termasuk entitas politik yang menawarkan pengenaan pajak yang rendah dan pelindung bagi penghindar pajak. Surga pajak atau off-shore center menurut OECD Report on Harmful Tax Competition (1988) didefinisikan dalam empat kriteria. Dua kriteria surga pajak adalah pengenaan pajak yang rendah atau nihil dan memberikan kesempatan kepada nonresiden untuk menghindari pajak di negaranya dan melayani aktivitas ilegal.
Selain itu, surga pajak tidak melakukan pertukaran informasi perpajakan yang efektif berdasarkan UU atau praktik administratifnya dan tidak transparan dalam menjalankan kegiatannya. Dengan tidak memberikan informasi mengenai pajak untuk kepentingan perusahaan dari negara lain, diartikan sebagai tempat pencucian uang (money laundry) yang masif.
Di Amerika banyak dipertanyakan mengapa institusi-institusi finansial yang diberikan jaminan (bail out) pemerintah masih saja tetap beroperasi di negara atau teritori tax heaven. Tidak berlebihan mengapa tax heaven tetap menarik minat investor asing karena uang mereka dapat diinvestasikan dengan aman dan tetap dijaga kerahasiaannya, serta terlindung dari institusi penyidik pajak internasional.
Diduga sekitar 400 kantor bank-bank internasional beroperasi di negara dan teritori tax heaven. Sekitar dua pertiga dari hedge fund terkenal di bursa internasional pun mempunyai representatif office di sinitermasuk kurang lebih 2 juta perusahaan top dunia (elah mendaftarkan asetnya sedikitnya 10 triliun dolar AS di wilayah ini. Bagi Indonesia, penghapusan tax heaven akan banyak memberi manfaat dalam mengurangi insentif arus modal keluar yang bertujuan menghindari pajak. Dana-dana hasil kejahatan ataupun yang dicuri dari negara oleh sekelompok orang akan kembali dan memperkuat cadangan devisa negara, karena tidak ada tempat lagi untuk bersembunyi. Secara tidak langsung akan memperkuat nilai tukar rupiah, dan dapat meningkatkan investasi guna menunjang penerimaan pajak.
Walaupun timbul polemik, hal tersebut setidaknya membuka lembaran baru dan transparansi dalam sistem perpajakan internasional. Ada tekanan dari G-20 bahwanegara yang I menolak atau j tidak mau I bekerja sama I dalam i memberikan informasimengenai pajak akan dikenai sanksi berat, antara lain dicabut dari keanggotaan Bank Dunia dan IMF.
Masalah kerahasiaan bank (bank secrecy) dianggap salah satu yang memperburuk krisis keuangan global karena tax heaven yang menyembunyikan aset-aset global. Ada dugaan rax heaven ini memberikan tempat berlindung yang nyaman bagi para pejabat untukmenyembunyikan dana-dana ilegal hasil korupsi, ataupun pengusaha hitam yang melarikan dana dari kejaran aparat hukum di negerinya.
Dampak kerasnya OECD menerapkan asas transparansi infonnasi dengan membuat daftar negara atau teritori yang masuk daftar hitam membuat tiga negara Uni Eropa yang memiliki aturan kerahasiaan bank akan mengubah kerahasiaan undang-undang perbankan, yaitu Luksemburg, Austria, dan Belgia. Sementara itu, Swiss dan Liechtenstein tetap masuk dalam grey list karena menyatakan baru siap mengubah kerahasiaan sistem perbankannya. (Associated Press, 2-04-2009)
Singapura bergegas ke luar dari daftar abu-abu (grey list) dengan akan mengamendemen UU Pajak pada tahun ini juga. Singapura dianggap belum mengimplementasikan aturan pajak internasional sesuai dengan standar OECD, khususnya mengenai pertukaran mini in.im perpajakan melalui Avoidance of Double Taxation Agreements (DTAs). Di luar Singapura ada 38 negara yang dimasukkan dalam grey list. (Media Indonesia. 7-04-2009)
Kemungkinan sanksi berat akan dikenakan kepada bank-bank di negara mana saja di dunia yang tetap melakukan transaksi dengan negara surga pajak yang masuk daftar hitam OECD. Sanksi lainya, adanya pengucilan atas Tax heaven dari dunia internasional, khususnya di bidang keuangan dan perbankan. Akan dibuat daftar dan pengenaan sanksi bagi para investor, baik entitas maupun perorangan, yang melakukan transaksi dengan tax heaven, sehingga dijauhi dari aktivitas bisnis internasional.

Respon Indonesia Atas Rekomendasi OECD
Rencana Ditjen Pajak untuk mengeluarkan daftar kawasan tax heaven sesuai dengan kriteria sendiri dan mewaspadai investasi yang tercatat di offshore centre tersebut merupakan langkah positif melengkapi langkah 7 tahun yang lalu dengan berdirinya Pusat Pelaporan Dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK) momentum terciptanya rezim anti pencucian uang.
Langkah ini terkait dengan perkembangan global yang dipelopori negara OECD dalam Sidang G-20 Summit 3 April 2009 di London. Keputusan penting di antaranya membatasi operasional tax heaven dan mendorong terciptanya transparansi dan pertukaran informasi perpajakan serta penerapannya sesuai dengan standar pajak internasional.
Hal itu akan ikut mereformasi sistem moneter dan keuangan global yang telah mengalami kekacauan dan berpuncak pada munculnya krisis finansial global sejak 2007 sampai saat ini. Angin perubahan yang mulai digencarkan oleh Barack Obama semasa kampanye 2008 segera mendapatkan respons positif dan mengkristal menjadi keputusan global.
Pada evaluasi April 2009, Financial Action Task Force (FATF) menentukan empat negara Filipina, Malaysia (Labuan), Uruguay dan Kostarika yang masuk dalam kelompok negara yang tidak kooperatif (black list). Keputusan ini mengakhiri hampir setengah abad era kejayaan offshore centre dari yang klasik di Swiss sampai yang modern di puluhan negara eks persemakmuran Inggis atau Prancis (Mauritius, British Virgin Island atau Cayman Island).

Kebijakan Indonesia Mengenai Tax Heaven
Sanksi black list ini ikut mendorong otoritas moneter dan hukum Indonesia untuk mempercepat implementasi kebijakan rezim antipencucian uang sesuai dengan norma global FATF. Implementasi kebijakan ini sudah dimulai pascareformasi di antaranya melalui PBI 28 Oktober 1999 tentang Pemantauan Kegiatan Lalu Lintas Devisa Bank dan Lembaga Keuangan Non Bank.
Sebagai tindak lanjut dari UU Nomor 24 Tahun 1999 tentang Lalu Lintas Devisa dan Sistem Nilai Tukar, tepatnya 7 tahun lalu yaitu 12 April 2002 terbit UU No. 15 tahun 2002 yang disahkan 12 April 2002 tentang Tindak Pidana Pencucian Uang. Bersamaan dengan ini maka dibentuklah lembaga independen PPATK. Sebelum resmi beroperasi 18 Oktober 2003 badan ini melanjutkan tugas Unit Khusus Investigasi Keuangan Bank Indonesia (UKIP-BI).
Kehadiran PPATK terus dilengkapi dengan seperangkat hukum dan peraturan terkait. Yakni Surat Edaran Bank (SEBI) Nomor 3 Tanggal 13 Juni 2001 tentang Pelaporan Kegiatan Lalu Lintas Devisa oleh Bank. SEBI ini menetapkan bahwa bank wajib melaporkan transaksi keuangan oleh nasabah secara bulanan.
Transaksi di atas US$10.000 (ekuivalen) harus dilaporkan secara individu yang berisi perincian tentang kategori, jenis rekening, pelaku dan hubungan keuangan antarpelaku transaksi, jenis valuta, dan tujuan transaksi. Batasan transaksi US$10.000 ini setidaknya sama dengan batasan yang diterapkan oleh AS sejak tahun 1970 yang mewajibkan bank harus melaporkan penerimaan di atas US$10.000 dan menggolongkannya sebagai transaksi mencurigakan (suspicious transaction).
Dilanjutkan Peraturan Bank Indonesia (PBI) Nomor 3 Tanggal 18 Juni 2001 tentang Penerapan Prinsip Mengenal Nasabah (know your customer principles). Dua hari kemudian Indonesia bergabung dalam kelompok regional antipencucian uang Asia Pasifik (Asia Pacific Group on Money Laundering, APGML). Dengan berbagai langkah teknis dan kebijakan hukum ini maka 7 tahun setelah PPATK berdiri maka Indonesia tetap lolos dari black list.
FATF akan terus memonitor perkembangan dengan mengacuh pada 40 prinsip dan komitmen globalnya. OECD menetapkan 40 komitmen yang harus diterapkan guna menentukan keluar masuknya sebuah negara ke dalam daftar NCCT, dan ini bergantung pada kemauan negara tersebut. Sebanyak 40 buah rekomendasi anti pencucian uang ini dimonitor oleh FATF (satuan penugasan dari OECD untuk mengawasi anti pencucian uang).
Berakhirnya tax heaven berdampak positif bagi pemasukan pajak Indonesia khususnya dari golongan nasabah kaya (high net worth individual: HNWI). Sehingga kontribusinya bagi penerimaan pajak akan naik. Meski ada pendapat sebaliknya. Jika seluruh negara telah menerapkan globalisasi standar pajak internasional dan membuka kerahasiaan nasabah maka hal ini positif, meski perlu waktu.
Keputusan G-20 Summit ini perlu dicermati oleh pemerintah agar bisa menarik manfaat dari globalisasi standar pajak internasional dan dibukanya rahasia nasabah (bank secrecy) di tax heaven kawasan offshore centre. Terdapat potensi untuk mengenakan pajak bagi nasabah yang hengkang dari tax heaven dan tentu saja ini membutuhkan peningkatan kualitas dan kuantitas aparat pajak.
Selain nasabah kaya juga masih ada potensi lain yaitu perusahaan-perusahaan asal Indonesia yang juga mendirikan perusahaan di tax heaven untuk berbagai tujuan bisnis. Tidak heran jika saat ini terdapat ratusan perusahaan usia balita tetapi punya aset puluhan triliun rupiah dan berdomisili di tax heaven. Perusahaan itu laksana "bayi bongsor" yang perlu diperhatikan eksistensinya secara positif demi kebaikan dan kemakmuran negara tanpa merugikan dunia usaha.



Tidak ada komentar:

Posting Komentar