Sabtu, 29 Mei 2010

Makalah Filsafat Pancasila: Perlindungan HAM berdasarkan Pancasila Setelah Amandemen UUD 1945

Perlindungan Hak Asasi Manusia berdasarkan Pancasila

Setelah Amandemen Undang-Undang Dasar 1945[1]

Oleh: Kukuh Fadli Prasetyo[2]

1. Pendahuluan

1.1 Latar Belakang

Keberadaan isu hak asasi manusia mulai dihembuskan paska perang dunia, yaitu Tahun 1945. Gagasan tersebut bermula saat timbul kesadaran kebiadaban dan kejahatan yang mengancam hak asasi manusia pada saat perang dunia kedua meletus. Dan tindak lanjutnya baru terlihat saat universal human rights ditandatangani.

Di Indonesia, pasang surut pengakuan hak asasi manusia berlangsung pada medio 1945-1998. Pada masa 1945-1966, euforia kemerdekaan Indonesia juga membawa imbas yang cukup besar bagi pengakuan hak asasi manusia. Hal demikian itu terlihat pada satu kalimat yang menyatakan bahwa penjajahan di atas dunia harus dihapuskan karena tidak sesuai dengan perikemanusiaan dan perikeadilan.

Namun euforia kemerdekaan itu berakhir pada akhir pemerintahan orde lama, pada kurun waktu 1965-1967. Hal tersebut tergambar pasca peristiwa G-30-S/PKI, dimana banyak orang-orang dibunuh, atau dihilangkan nyawanya secara paksa, tanpa adanya putusan pengadilan terlebih dahulu. Sungguh sebuah sejarah bangsa yang masih menyimpan kontroversi hingga saat ini.

Setelah lengsernya orde lama dan digantikan oleh orde baru, isu penegakan hak asasi manusia sebenarnya telah dijadikan dasar berpijak bagi orde pemerintahan yang berkuasa sejak 1966-1998. Namun, pada perjalanannya, pemerintahan yang dijalankan oleh seorang diktator tunggal ini pun harus menginfiltrasikan konsep militer dalam menjaga eksistensi pemerintahan. Pun, sebagai konsekuensinya, militer harus menekan masyarakat sipil untuk memberikan pengakuan dan kesanggupan untuk tunduk pada kekuasaan pemerintahan orde baru.

Maka, pada masa pemerintahan orde baru ada banyak kasus pelanggaran hak asasi manusia yang terjadi. Namun kekuasaan pemerintah yang didukung secara ekstrem oleh kekuatan militer telah memaksa negara ini untuk terus dan terus melakukan pelanggaran hak asasi manusia demi menegakkan konsep pemerintahan berdiktator tunggal ini.

Kemudian pada 21 Mei 1998, sand Diktator Tunggal, Soeharto, menyatakan mundur dari kekuasaannya sebagai Presiden Republik Indonesia. Momen itulah yang menjadi awal bagi proses amandemen terhadap Undang-Undang Dasar 1945. Adapun amandemen yang dilakukan tersebut diarahkan untuk memberikan perlindungan konstitusional bagi warga negara, termasuk mengakomodasi keberadaan hak asasi manusia.

Dengan demikian, masa 1999 hingga saat ini adalah masa-masa dimana pengakuan terhadap hak asasi manusia telah mendapat tempat yang lebih baik daripada masa-masa sebelumnya. Namun terdapat hal-hal yang perlu ditelaah dalam kaitannya dengan pengakuan hak asasi manusia yang diakomodasi oleh Undang-Undang Dasar 1945 setelah amandemen.

1.2 Rumusan Masalah

1. Apakah perlindungan terhadap hak asasi manusia yang terdapat dalam Undang-Undang Dasar bertalian erat dengan tindakan Pemerintah Indonesia?

2. Bagaimanakah mekanisme untuk menegakkan perlindungan terhadap hak asasi manusia di Indonesia?

2. Pembahasan

2.1 Pertalian antara Perlindungan Hak Asasi Manusia yang Diatur dalam Undang-Undang Dasar 1945 dengan Tindakan Pemerintah Indonesia

Konstitusi, bagaimanapun, sebagaimana banyak ditafsirkan melalui materialisasi teks-teks telah memperlihatkannya sebagai konfigurasi politik yang bekerja. Artinya, konstitusi merupakan persepakatan secara sadar oleh para pembuat maupun pengambil kebijakan dengan sejumlah pemahaman dan kepentingan yang mereka miliki. Oleh sebab itu konstitusi, meski dipercaya dalam idenya memiliki nilai-nilai dan makna yang maha penting dalam menata kehidupan ketatanegaraan, sosial, ekonomi dan politik, ia tetaplah sebagai hasil dari pergesekan dan tarik-menarik representasi politik-ekonomi dominan yang memiliki kekuasaan tertentu dalam mempengaruhinya. Itupun belumlah menjamin konsistensi berlakunya dalam kebijakan-kebijakan negara.

Kita mungkin dengan mudah menyatakan bahwa paradigma pembangunanisme dan stabilisasi politik ekonomi dengan cara-cara kekerasan selama rezim Soeharto tidaklah mencerminkan penghormatan, perlindungan dan pemenuhan hak asasi manusia. Penculikan, intimidasi, penyiksaan, pembunuhan, pembantaian massal, adalah sederetan cara kekerasan yang dominan terjadi ketika rakyat menolak atau melawan kebijakan dan paradigma negara Orde Baru. Stigmatisasi “anti pembangunan” atau “antek PKI” demikian mudah meluncur dari mulut birokrat maupun politisi untuk menghajar rakyat, sehingga banyak sekali kekerasan secara sistematik, baik menggunakan peradilan maupun tanpa peradilan, seperti banyaknya penghilangan dan pembunuhan di luar proses peradilan (extra-judicial killings). Sakralisasi UUD 1945, peradilan beserta institusi hukum lainnya menjadi alat kekerasan, hukum diproduksi untuk pemenuhan kepentingan penguasa dan sekaligus menyingkirkan rakyat, kebebasan berekspresi ditekan dan sangat dibatasi. Kekerasan negara telah menjadi bagian dari paradigmanya.

Kini situasinya ‘berbalik’, lebih-lebih pasca amandemen UUD 1945. Desakralisasi UUD 1945 dengan empat kali amandemen, program reformasi peradilan didukung banyak pihak, termasuk secara politik dan didanai sejumlah lembaga donor asing, hukum-hukum represif telah banyak yang dicabut dan digantikan dengan sejumlah perundang-undangan yang lebih terbuka proses pembentukannya, kran kebebasan berekspresi kini relatif terbuka cukup lebar, dan (apalagi) ditopang oleh banyaknya pasal-pasal hak asasi manusia. Jimly Asshidiqqie menegaskan bahwa secara keseluruhan dapat dikatakan bahwa ketentuan-ketentuan tentang hak-hak asasi manusia telah diadopsikan ke dalam sistem hukum dan konstitusi Indonesia itu berasal dai berbagai konvensi internasional dan deklarasi universal hak asasi manusia serta berbagai instrumen hukum internasional lainnya.

Kekerasan negara seakan telah berkurang, meskipun sesungguhnya masih saja kerap terjadi, termasuk pelanggengan impunitas. Dalam konteks demikian, nampak jelas bahwa politik hak asasi manusia pasca amandemen UUD 1945 yang dibangun pemerintah inkonsisten dalam implementasinya.

Meskipun demikian, perlu pula dipahami bahwa Negara telah mengubah animasi politik hak asasi mausianya dengan memperkenalkan diskursus dominan hak asasi manusia yang dilekatkan dengan kepentingan liberalisasi pasar. Diskursus dominan tersebut menyulitkan publik untuk mengatakan inkonsisten dalam sejumlah kerangka implementatifnya, karena hukum beserta produk perundang-undangannya direproduksi justru untuk melegalisasikan kebijakan represif. Oleh sebabnya, tidak begitu mengherankan bila politik pembaruan hukum di Indonesia lebih diarahkan pada disain neo-liberal.

Namun dalam kerangka hukum disain neo-liberal, politik yang demokratis memanglah sangat diharapkan untuk menunjang pembaruan hukum, bukan bercorak politik otoritarian. Maka, secara paradigmatik, proses-proses untuk mendisiplinkan demokrasi diperlukan sebagai prasyarat untuk menginjeksikan program-program pembaruan hukum beserta kelembagaannya, seraya tetap ramah pada liberalisasi pasar. Dalam kaitannya dengan hak asasi manusia, program-program pembaruan hukum dikemas dengan bingkai diskursus yang disahihkan melalui sirkuit kekuasaan dan legitimasi intelektual dalam bentuk good governance, access to justice, dan poverty reduction strategic programs. Oleh sebabnya, tidak terlampau terkejut karena dukungan pendanaan demikian deras mengalir tidak saja kepada pemerintah, melainkan pula bagi organisasi non-pemerintah, termasuk forum-forum multi-stakeholder yang menjadi “jembatan” komunikasi dan proyek bersama.

Pendisiplinan pembaruan dalam paradigma ini kongkritnya adalah ‘kerangka hukum untuk pembangunan’ (legal framework for development) yang didesakkan Bank Dunia, baik secara langsung maupun melalui ‘titipan’ ke lembaga donor dan multi-stakeholder lainnya, telah berhasil memistifikasi peran-peran strategis organisasi non-pemerintah melalui model ‘partisipasi-kemitraan’ dan menyebabkannya tidak lagi peka terhadap problem mendasar hak-hak asasi manusia.

Sederetan perundang-undangan yang merupakan prasyarat utang (baca: pesanan) proponen neo-liberal menjadi dominan terjadi pasca jatuhnya Soeharto di 1998, dan ini beriringan dengan reformasi hukum. Tiga gelombang undang-undang perburuhan sejak 1997 hingga 2006 telah nyata merepresi secara halus dan sistematik hak-hak buruh di Indonesia (softhening rights violations), melalui strategi tekanan upah buruh murah, meliberalkan persyaratan kerja bagi pekerja asing, outsourcing (perjanjian kerja waktu tertentu), kemudahan pengusaha untuk memecat dan merekrut buruh, liberalisasi aturan pesangon dan jaminan sosial, liberalisasi mekanisme penyelesaian perselisihan buruh-pengusaha, dan kebijakan kelenturan pasar buruh. Bagi buruh Indonesia yang kondisinya surplus dan rentan di-PHK, maka tekanan neo-liberal tersebut telah nyata bertentangan dengan hak-hak konstitusional, utamanya hak atas pekerjaan dan penghidupan yang layak (pasal 27 ayat 2) dan hak untuk bekerja serta mendapat imbalan dan perlakuan yang adil dan layak dalam hubungan kerja (pasal 28D ayat 2). Begitu juga terhadap privatisasi dan komersialisasi sumberdaya alam melalui UU Sumberdaya Air dan UU Penanaman Modal Asing, kian melengkapi disain legalisasi pelanggaran hak-hak konstitusional atau hak asasi manusia (legalized violation of human rights).

Keberhasilan mistifikasi yang demikian lebih disebabkan kecanggihan teknologi kekuasan mereproduksi diskursus good governance, access to justice, dan poverty reduction strategic programs, yang dalam prakteknya justru memperlihatkan kekuatan dominan neo-liberal yang mensubversi hak-hak asasi manusia. Dalam konteks demikian, mistifikasi atas kekuatan yang tidak berimbang telah cukup menyilaukan publik antara mana yang disebut human rights movement dengan human rights market friendly.

Jaminan kerangka normatif melalui konstitusionalisasi hak-hak asasi manusia telah dikooptasi dengan paradigma hak asasi manusia ramah pasar, yang tidak lagi menyoal konsisten dan inkonsisten (secara hukum), melainkan nyata sekali inkoheren antara teks (kerangka normatif dan kebijakan), konteks dan dinamika teks-konteksnya.

2.2 Mekanisme dalam Penegakan Perlindungan terhadap Hak Asasi Manusia di Indonesia

Dalam pasal 28I ayat (4) UUD 1945 pasca amandemen jelas menunjukkan tanggung jawab negara dalam HAM. Sedangkan dalam pasal 28I ayat (5) menegaskan penegakan dan perlindungan hak asasi manusia yang sesuai dengan prinsip negara hukum yang demokratis, maka pelaksanaan hak asasi manusia dijamin, diatur, dan dituangkan dalam peraturan perundang-undangan.

Rumusan kata ‘dalam’ pada pasal 28I ayat (5), “....dijamin, diatur, dan dituangkan dalam peraturan perundang-undangan” memberikan arti bahwa hak asasi manusia tidak hanya diatur dengan suatu perundang-undangan khusus, melainkan ‘dalam’ segala perundang-undangan yang tidak sekalipun mengurangi substansi hak asasi manusia dalam konstitusi. Konsep yang demikian haruslah dipahami oleh Negara sebagai konsep pentahapan maju kewajiban hak asasi manusia dan perlindungan hak-hak konstitusional melalui strategi legislasi (progressive realization).

Sejak amandemen konstitusi, dalam konteks kebijakan dan legislasi, salah satu mekanisme tambahan selain gugatan ke Pengadilan Tata Usaha Negara dan Mahkamah Agung, yang bisa memberikan perlindungan hak-hak konstitusional adalah Mahkamah Konstitusi yang memiliki wewenang mengadili pada tingkat pertama dan terakhir yang putusannya bersifat final untuk menguji undang-undang terhadap Undang-Undang Dasar (pasal 24C ayat 1). Wewenang Mahkamah Konstitusi yang bisa menjadi benteng perlindungan ketika hak-hak konstitusional dilanggar, adalah sangat penting dalam kehidupan demokrasi yang menegaskan keseimbangan kekuasaan, dalam konteks ini antara kekuasaan legislasi dan kekuasaan yudisial. Pertarungan politik legislasi, pesanan paket perundangan tertentu, atau mungkin kelemahan sumberdaya manusia di parlemen dalam membentuk suatu produk hukum, yang kesemuanya setiap saat bisa terjadi, bisa ‘dikoreksi’ maupun ‘dibatalkan’ melalui gugatan ke Mahkamah Konstitusi. Meskipun demikian, perlindungan hak-hak konstitusional belum tentu benar-benar bisa dijamin melalui mekanisme tersebut, karena sangat bergantung dengan otoritas penafsiran mayoritas melalui putusan sembilan hakim.

Misalnya, Putusan Mahkamah Konstitusi No. 012/PUU-I/2003, tertanggal 28 Oktober 2004, judicial review UU No. 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan, mayoritas hakim Mahkamah Konstitusi berpendapat liberalisasi outsourcing bukanlah persoalan yang bertentangan hak asasi manusia atau hak konstitusional. Begitu juga Putusan Mahkamah Konstitusi No. 006/PUU-IV/2006 dan No. 020/PUU-IV/2006, judicial review UU No. 27 Tahun 2004 tentang Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi, mayoritas hakim Mahkamah Konstitusi berpendapat membatalkan keseluruhan isi undang-undang tersebut, tanpa melihat aspek dampak terhadap korban dan keluarga korban yang kian tidak jelas proses rehabilitasi dan kompensasinya, termasuk pertanggungjawaban pelaku kejahatan hak asasi manusia. Putusan tersebut dirasakan memperkuat pelanggengan impunitas yang sudah pekat terjadi di Indonesia.6 Menurut catatan Elsam, setidaknya putusan Mahkamah Konstitusi tersebut berdampak pada: (i) Hilangnya kerangka hukum bagi narasi korban: terbukanya kembali ruang pengingkaran tanggung jawab negara atas kekerasan masa lalu; (ii) Hilangnya roh pengungkapan kebenaran dan keberlangsungan praktek impunitas.

Meskipun demikian, dalam sistem ketatanegaraan Indonesia, eksistensi Mahkamah Konstitusi haruslah diperkuat sebagai lembaga yang bisa menyeimbangkan kekuasaan Negara, baik kekuasaan legislatif maupun kekuasaan eksekutif. Beberapa Putusan MK juga perlu diapresiasi sebagai bentuk perlindungan hak-hak konstitusional, seperti salah satunya dalam Putusan MK No. 011-017/PUU-I/2003, judicial review UU No. 12 Tahun 2003 tentang Pemilu Anggota DPR, DPD dan DPRD. Dalam putusan ini, mayoritas hakim MK mengabulkan gugatan pemohon dengan substansi pemulihan hak-hak kewarganegaraan (hak-hak sipil dan politik) para anggota/simpatisan PKI.

Dalam rangka membangun mekanisme yang melindungi secara lebih kuat hak-hak konstitusional warga negara, negara lain, contohnya Jerman, di dalam konstitusinya telah memasukkan ketentuan tentang hak gugat konstitusional (constitutional complaint). Namun, Undang-Undang Dasar 1945 pasca amandemen masih belum memberikan jaminan constitutional complaint. Padahal bagi warga negara yang hak-hak dasarnya dilanggar (constitutional injury) senantiasa berhadapan dengan mekanisme apa yang bisa digunakan. Dengan demikian dengan adanya mekanisme constitutional complain, hambatan-hambatan demikian dapat direduksi.

3. Penutup

3.1 Kesimpulan

Masih banyaknya tindakan pemerintah yang tergambar melalui pembentukan aturan untuk mengkongkretkan kebijakannya adakalanya mempunyai resistensi tinggi untuk melindungi perlindungan terhadap hak asasi manusia. Contohnya adalah masalah konkretisasi peraturan perundang-undangan ketenagakerjaan yang masih menempatkan buruh sebagai pihak yang lemah dengan perlindungan hukum yang minim.

Dengan demikian, jaminan kerangka normatif melalui konstitusionalisasi hak-hak asasi manusia telah dikooptasi dengan paradigma hak asasi manusia ramah pasar, yang tidak lagi menyoal konsisten dan inkonsisten (secara hukum), melainkan nyata sekali inkoheren antara teks (kerangka normatif dan kebijakan), konteks dan dinamika teks-konteksnya.

Mahkamah Konstitusi yang memiliki wewenang mengadili pada tingkat pertama dan terakhir yang putusannya bersifat final untuk menguji undang-undang terhadap Undang-Undang Dasar (pasal 24C ayat 1). Wewenang Mahkamah Konstitusi yang bisa menjadi benteng perlindungan ketika hak-hak konstitusional dilanggar, adalah sangat penting dalam kehidupan demokrasi yang menegaskan keseimbangan kekuasaan, dalam konteks ini antara kekuasaan legislasi dan kekuasaan yudisial. Pertarungan politik legislasi, pesanan paket perundangan tertentu, atau mungkin kelemahan sumberdaya manusia di parlemen dalam membentuk suatu produk hukum, yang kesemuanya setiap saat bisa terjadi, bisa ‘dikoreksi’ maupun ‘dibatalkan’ melalui gugatan ke Mahkamah Konstitusi.

3.2 Saran-Saran

1. Perlu adanya penguatan Lembaga Mahkamah Konstitusi untuk memberikan supremasi bagi Mahkamah Konstitusi dalam mengawal dan menegakkan perlindungan hak konstitusional yang di dalamnya juga tercakup hak asasi manusia.

2. Berkaitan dengan constitutional complain yang sudah berkembang di negara lain, mungkin perlu untuk diperhatikan untuk mengakomodasi keberadaan constitutional complain dalam peraturan perundang-undangan kaitannya dengan kewenangan Mahkamah Konstitusi.

DAFTAR PUSTAKA

Asshiddiqie, Jimly. 2009. Pengantar Ilmu Hukum Tata Negara. Jakarta: Rajawali Pers.

http://herlambangperdana.files.wordpress.com/2008/06/herlambang-ham-setelah-amademen-uud-1945a2.pdf

Indrayana, Denny. 2008. Negara Antara Ada Dan Tiada: Reformasi Hukum Ketatanegaraan. Jakarta: PT Kompas Media Nusantara.

Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia 1945 Setelah Amandemen



[1] Disusun untuk memenuhi nilai tugas mata kuliah Filsafat Pancasila

[2] Mahasiswa Fakultas Ekonomi Jurusan Akuntansi dan Fakultas Hukum Jurusan Hukum Tata Negara Universitas Jember

1 komentar: