Sabtu, 29 Mei 2010

Makalah Hukum Kebendaa: Tinjauan Yuridis terhadap Hipotik Kapal Laut

TINJAUAN YURIDIS TERHADAP

HIPOTIK KAPAL LAUT[1]

Oleh: Kukuh Fadli Prasetyo[2]

1. Pendahuluan

1.1 Latar Belakang

Dari sisi legalitas, adanya undang-undang yang mengatur hipotik kapal tentunya akan memberikan kepastian hukum bagi para pihak. Contohnya, bagi pelaku industri perkapapalan dan bank sebagai lembaga pembiayaan, adanya suatu undang-undang yang mengatur hipotek atas kapal juga diharapkan dapat mendorong pertumbuhan pembiayaan perbankan.

Dalam beberapa kesempatan, pastinya perusahaan perkapalan membutuhkan tambahan modal kerja dalam jumlah yang cukup banyak. Dan tentunya kebutuhan modal kerja yang cukup banyak itu dapat terpenuhi melalui suatu perjanjian kredit antara perusahaan perkapalan dengan lembaga perbankan seperti bank.

Umumnya, perjanjian kredit yang menempatkan bank sebagai kreditur dan perusahaan perkapalan sebagai debitur ini menambahkan perjanjian tambahan (assesor) dalam perjanjian pokoknya. Perjanjian kredit antara bank dan perusahaan perkapalan merupakan perjanjian pokok, sedangkan perjanjian tambahannya dapat berupa perjanjian hipotik atas kapal.

Bank sebagai pemberi kredit (kreditur), dalam rangka pemberian kredit/pembiayaan kepada masyarakat harus hati-hati (prudent) karena dana yang disalurkan bank pada dasarnya bukan milik bank sendiri, melainkan bersumber dari dana masyarakat dalam bentuk simpanan masyarakat. Oleh karena itu, dalam memberikan pembiayaan kepada debitur, bank harus meminimalkan risiko dengan membuat perjanjian hipotik atas kapal tadi.

Salah satu bentuk upaya untuk meminimalkan risiko ini bisa dilakukan dengan membuat perjanjian tambahan seperti perjanjian hipotik atas kapal. Ini merupakan salah satu bentuk jaminan kebendaan, dimana jaminan ini biasa disebut dengan agunan atau kolateral.

Dalam sejarah hipotek, lembaga hipotek diberlakukan sebagai jaminan yang melekat pada seluruh benda tidak bergerak, tetapi dalam perkembangannya jaminan atas tanah sebagai salah satu benda tidak bergerak telah diatur dalam lembaga sendiri yaitu hak tanggungan. Benda tidak bergerak yang masih dapat dijadikan obyek hipotek antara lain adalah kapal laut dengan ukuran isi kotor sekurang-kurangnya 20 m3.

Saat ini di Indonesia hipotek kapal laut tunduk pada Kitab Undang-undang Hukum Dagang (KUHD) dan konvensi internasional yang telah diratifikasi Indonesia, yaitu Konvensi Internasional tentang Piutang Maritim dan Mortgage 1993. Selain itu, pengaturan hipotek yang terdapat di dalam Kitab Undang-undang Hukum Perdata sebagian berlaku juga bagi hipotek kapal laut. Dalam KUHD, diatur bahwa kapal yang dibukukan dalam register kapal dapat diletakkan hipotek.

Selanjutnya diatur pula tentang tingkatan di antara segala hipotek satu sama lain, yang ditentukan berdasarkan hari pembukuan. Hipotek yang dibukukan pada hari yang sama, mempunyai tingkat yang sama pula. KUHD mengatur pula bahwa apabila sebuah kapal tidak lagi merupakan sebuah kapal Indonesia, maka segala piutang hipotek menjadi dapat ditagih walaupun piutang tersebut belum jatuh tempo. Piutang-piutang yang dimaksud, sampai saat dilunasinya, tetap dapat diambilkan pelunasannya dari kapal tersebut, secara mendahulukannya dari pada piutang-piutang yang terbit kemudian, biarpun piutang-piutang yang belakangan ini didaftarkan di luar wilayah Indonesia. Apabila kapal yang dihipotekkan dilelang-sita di luar wilayah Indonesia, maka kapal itu tidak dibebaskan dari hipotek yang diletakkan di atasnya.

1.2 Permasalahan

Dari bab pendahuluan di awal, timbul beberapa permasalahan yang akan dibahas dan dipecahkan dalam bab pembahasan. Adapun rumusan masalah tersebut adalah sebagai berikut:

1. Apakah jaminan kebendaan itu?

2. Bagaimana kedudukan hipotik setelah keluarnya Undang-Undang No. 4 Tahun 1996 tentang Hak Tanggungan Atas Tanah dan Beserta Benda-Benda Yang Berkaitan Dengan Tanah?

3. Bagaimana kedudukan hukum bagi jaminan hipotik kapal?

2. Pembahasan

2.1 Jaminan Kebendaan

Jaminan yang bersifat kebendaan adalah jaminan yang berupa hak mutlak atas sesuatu benda, yang mempunyai ciri-ciri mempunyai hubungan langsung atas benda tertentu dari debitur, dapat dipertahankan terhadap siapa pun, selalu mengikuti bendanya dan dapat diperalihkan (contoh: hipotik, hak tanggungan gadai, dan lain-lain).

Jaminan kebendaan dapat berupa jaminan benda bergerak dan benda tidak bergerak. Benda bergerak adalah kebendaan yang karena sifatnya dapat berpindah atau dipindahkan atau karena undang-undang dianggap sebagai benda bergerak, seperti hak-hak yang melekat pada benda bergerak.

Benda bergerak dibedakan lagi atas benda berwujud atau bertubuh. Pengikatan jaminan benda bergerak berwujud dengan gadai atau fiducia, sedangkan pengikatan jaminan benda bergerak tidak berwujud dengan gadai, cessie, dan account receivable.

Jaminan kebendaan diatur dalam Buku II KUH Perdata serta Undang-undang lainnya, dengan bentuk, yaitu:

1) Gadai diatur dalam KUH Perdata Buku II Bab XX Pasal 1150-1161, yaitu suatu hak yang diperoleh seorang kreditur atas suatu barang bergerak yang diserahkan oleh debitur untuk mengambil pelunasan dan barang tersebut dengan mendahulukan kreditur dari kreditur lain.

2) Hak tanggungan; Undang-Undang No.4 Tahun 1996, yaitu jaminan yang dibebankan hak atas tanah, berikut atau tidak berikut benda-benda lain yang merupakan suatu ketentuan dengan tanah untuk pelunasan hutang tertentu, yang memberikan kedudukan yang diutamakan pada kreditur terhadap kreditur lain.

3) Fiducia, Undang-Undang No.42 Tahun 1999, yaitu hak jaminan atas benda bergerak baik yang berwujud maupun yang tidak berwujud dan benda tidak bergerak khususnya bangunan yang tidak dibebani hak tanggungan sebagai agunan bagi pelunasan hutang tertentu yang memberikan kedudukan utama pada kreditur terhadap kreditur lain.

[3]Adapun jaminan-jaminan kebendaan di atas bersifat assesor dari perjanjian pokok atau dengan kata lain hanya “jaminan tambahan” semata-mata, yakni tambahan atas jaminan utamanya berupa jaminan atas barang yang dibiayai dengan kredit tersebut.

2.2 Kedudukan Hipotik Setelah Keluarnya Undang-Undang No. 4 Tahun 1996

Sebelumnya, pengaturan mengenai hipotik atau di undang-undang disebutkan dengan hypotheek ini berada di Pasal 57 UU No. 5 Tahun 1960. Adapun bunyi dari Pasal UU No. 5 Tahun 1960 adalah sebagai berikut:

Selama Undang-undang mengenai hak tanggungan tersebut dalam pasal 51 belum terbentuk, maka yang berlaku ialah ketentuan-ketentuan mengenai hypotheek tersebut dalam Kitab Undang-undang Hukum Perdata Indonesia dan Credietverband tersebut dalam Staatsblad .1908 No. 542 sebagai yang telah diubah dengan Staatsblad 1937 No. 190.

Pasca dikeluarkannya Undang-Undang No. 4 Tahun 1996 tentang Hak Tanggungan Atas Tanah dan Beserta Benda-Benda Yang Berkaitan Dengan Tanah, terdapat perubahan mendasar dalam pengaturan hipotik.

[4]Dalam pasal 24 UU No.4 Tahun 1996 tentang Hak Tanggungan ditetapkan ketentuan sebagai berikut:

Hak Tanggungan yang ada sebelum berlakunya Undang-Undang ini, yang menggunakan ketentuan Hypotheek atau Credietverband berdasarkan Pasal 57 Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-pokok Agraria diakui, dan selanjutnya berlangsung sebagai Hak Tanggungan menurut Undang-Undang ini sampai dengan berakhirnya hak tersebut.

Adapun untuk hipotik dan credietverband sebagai dimaksud di dalam Pasal 24 ayat 1 sebagaimana disebut di atas, menurut Pasal 24 UU No. 4 Tahun 1996 tentang Hak Tanggungan Atas Tanah dan Beserta Benda-Benda Yang Berkaitan Dengan Tanah, pelaksanaan ekskusi dan pencoretan dapat menggunakan ketentuan yang ada di dalam Pasal 20 dan Pasal 22 UU No. 4 Tahun 1996 tentang Hak Tanggungan Atas Tanah dan Beserta Benda-Benda Yang Berkaitan Dengan Tanah, setelah Buku Tanah dan Sertipikat Hak Tanggungan yang bersangkutan disesuaikan dengan ketentuan sebagaimana dimaksud oleh Pasal 14 UU No. 4 Tahun 1996 tentang Hak Tanggungan Atas Tanah dan Beserta Benda-Benda Yang Berkaitan Dengan Tanah.

Perihal dapat atau tidaknya pelaksanaan ekskusi hipotik menurut UU No. 4 Tahun 1996 dapat diperoleh dari Pasal 26 undang-undang ini yang berbunyi sebagai berikut:

Selama belum ada peraturan perundang-undangan yang mengaturnya, dengan memperhatikan ketentuan dalam Pasal 14, peraturan mengenai eksekusi hypotheek yang ada pada mulai berlakunya Undang-Undang ini, berlaku terhadap eksekusi Hak Tanggungan.

Dengan demikian,berarti kita baru bisa menggunakan ketentuan ekskusi hipotik, setelah diadakan penyesuaian sesuai dengan apa yang ditentukan di dalam Pasal 14 UU No. 4 Tahun 1996 tentang Hak Tanggungan Atas Tanah dan Beserta Benda-Benda Yang Berkaitan Dengan Tanah.

2.3 Kedudukan Hukum Bagi Hipotik Kapal

Salah satu bentuk dari jaminan hipotik di Indonesia adalah hipotik atas kapal laut. Keberadaan jaminan hipotik ini sangat membantu perusahaan perkapalan dalam memenuhi dan menjalankan modal kerjanya agar dapat menyelenggarakan kegiatan operasionalnya.

Tentunya, hipotik atas kapal laut ini akan melibatkan dua pihak. Dua pihak itu adalah perusahaan perkapalan sebagai debitur dan lembaga perbankan, seperti bank, sebagai kreditur.

Hubungan hukum antara perusahaan perkapalan dan lembaga perbankan, dalam hal ini adalah bank, perlu ditetapkan suatu ketentuan hukum. Dengan adanya ketentuan hukum, maka terdapat aturan baku dalam melaksanakan perbuatan hukum di antara kedua belah pihak.

[5]Pada tanggal 7 Mei 2008 telah diundangkan Undang-Undang Nomor 17 tahun 2008, tentang Pelayaran, di dalam pasal 60-64 diatur mengenai hipotik kapal, namun peraturan pelaksananya belum dibuat. Mengenai Hipotik Kapal ini awalnya diatur dalam Kitab Undang-Undang Hukum Dagang dan Kitab Undang-Undang Hukum Perdata.

Kitab Undang-undang Hukum Dagang mengatur tentang Hipotik dalam Pasal 314 ayat 3. Dalam ketentuan tersebut, hipotik dapat dibebankan pada kapal-kapal yang dibukukan dalam register kapal, kapal-kapal dalam pembuatan. Adapun bunyi dari Pasal 314 ayat 3 Kitab Undang-Undang Hukum Dagang ini adalah:

[6]Atas kapal-kapal yang dibukukan dalam register kapal, kapal-kapal dalam pembukuan, dan andil-andil dalam kapal-kapal dan kapal-kapal dalam pembuatan itu dapat diletakkan hipotik.

Pada asasnya berdasarkan ketentuan Pasal 510 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata yang berbunyi sebagai berikut:

[7]Kapal-kapal, perahu-perahu, perahu tambang, gilingan-gilingan dan tempat-tempat pemandian yang dipasang di perahu atau yang berdiri, terlepas dari benda-benda sejenis itu merupakan benda bergerak.

Pengecualian bagi kapal-kapal yang terdaftar, statusnya bukanlah benda bergerak, karena menurut ketentuan pasal 314 ayat 1 Kitab Undang-Undang Hukum Dagang, kapal-kapal yang didaftarkan dalam register kapal adalah kapal yang memiliki bobot isi kotor minimal 20 m³. Dengan demikian kapal dengan kondisi seperti ini dikategorikan sebagai benda tidak bergerak dan jika dijaminkan, lembaga yang digunakan adalah Hipotik. Sedangkan untuk kapal-kapal yang tidak terdaftar menggunakan lembaga jaminan gadai atau fidusia, karena merupakan benda bergerak.

[8]Yang termasuk dalam jaminan hipotik adalah kapal termasuk dengan segala alat perlengkapannya karena merupakan satu kesatuan dengan benda pokoknya (asas accesie/perlekatan), sebagai contoh: sekoci, rantai, jangkar.

[9]Langkah-langkah dalam pendaftaran hipotik kapal laut adalah sebagai berikut:

1. Debitur mengikatkan diri dengan Kreditur (bank/lembaga pembiayaan) dalam suatu Perjanjian Kredit dengan menyatakan menyerahkan kapal sebagai hipotik sebagai jaminan pelunasan hutangnya.

2. Perjanjian pemberian (pembebanan) hipotik. Kreditur nersama debitur atau bank sendiri berdasarkan Surat Kuasa memasang Hipotik menghadap Pejabat Pendaftar Kapal dan minta dibuatkan akta Hipotik Kapal.

Adapun dokumen yang diperlukan:

-Surat Permohonan dengan menyebutkan data kapal dan nilai penjaminan;

-Grosse Akta Pendaftaran Kapal;

-Surat Kuasa Memasang Hipotik.

3. Akta Hipotik didafatarkan dalam buku daftar. Saat selesainya pendafataran maka hak Pemegang Hipotik lahir.

Tingkatan hipotik dimungkinkan dan diurutkan berdasarkan hari pembukuan. Apabila dibukukan pada hari yang sama mempunyai tingkat yang sama. Dengan lahirnya hak hipotik, pemegang hipotik berhak untuk melaksanakan haknya atas kapal itu, di tangan siapapun kapal itu berada.

Apabila hutang sudah lunas, maka dilakukan roya/pencoretan hipotik di syahbandar dengan membawa dokumen:

-surat permohonan roya;

-surat tanda lunas dari kreditur;

-grosse akta pendaftaran hipotik; dan

-grosse akta pendaftaran kapal.

Dalam hal perusahaan perkapalan (shipping company) sebagai debitur gagal mengembalikan pembiayaan yang diterimanya kepada bank, ketentuan saat ini yang mengatur tentang eksekusi kapal laut adalah:

1. Pasal 224 HIR berkaitan dengan hipotek pada umumnya mengatur bahwa gross atau copy pertama yang otentik dari akte hipotek mempunyai status yang sama dengan putusan pengadilan yang berkekuatan hukum tetap sehingga pihak pemegang hipotek dapat meminta bantuan pengadilan untuk melakukan eksekusi atas obyek hipotek;

2. Dalam Kitab Undang-undang Hukum Perdata yang berlaku untuk hipotek atas kapal laut disebutkan bahwa pemegang hipotek dapat melakukan penjualan sendiri atas obyek hipotek yang prosedurnya dilakukan dengan cara lelang umum.

Berdasarkan hal-hal diatas dapat dikatakan bahwa sesuai peraturan perundang-undangan yang berlaku saat ini, secara hukum penjualan atas kapal laut yang menjadi obyek hipotek tidak terlalu sulit, akan tetapi mendapatkan harga yang sesuai dengan nilai penjaminannya merupakan hal yang relatif sulit dilakukan sehingga butuhkan adanya price stability untuk jual beli kapal.

[10]Dalam draft RUU Hipotek Kapal yang saat ini sedang dibahas oleh Depkumham, diatur bahwa Sertifikat hipotek mempunyai kekuatan eksekutorial yang sama dengan putusan pengadilan yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap dan ini berarti pihak pemegang hipotek dapat meminta bantuan pengadilan untuk melakukan eksekusi atas obyek tersebut dan sertifikat hipotek tersebut berlaku sebagai pengganti grosse akta hipotek.

[11]Berkaitan dengan itu, draft RUU Hipotek Kapal memberikan kebebasan kepada kedua belah pihak (debitur dan kreditur) untuk memperjanjikan dalam akta hipotek tentang hak untuk menjual atas kuasa sendiri bagi pemegang hipotek tersebut, dalam hal debitor yang bersangkutan ingkar janji.

Selanjutnya, prosedur penjualan kapal dalam draft RUU Hipotek Kapal diatur dengan cara pengumuman melalui minimal 2 (dua) surat kabar harian yang beredar di daerah yang bersangkutan dalam jangka waktu 1 (satu) bulan sejak diberitahukan secara terbuka oleh pemberi dan/atau pemegang hipotek kepada pihak-pihak yang berkepentingan. Penjualan dilakukan dengan cara pelelangan umum melalui seorang pejabat pelelangan sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Namun demikian, dalam draft RUU Hipotek Kapal juga diatur penjualan kapal oleh pemegang hipotek dapat dilakukan di bawah tangan jika dari penjualan tersebut dapat diperoleh harga yang tertinggi.

Terkait dengan kewenangan untuk mengambil alih kapal sebagai agunan, khusus untuk perbankan dalam kaitannya dengan penentuan kualitas aktiva terdapat pembatasan waktu kepemilikan atas agunan yang diambil alih. Selain itu, bank juga harus melakukan penilaian kembali atas agunan yang diambil alih untuk menetapkan net realizable value dari agunan dimaksud yang dilakukan pada saat pengambilalihan agunan.

Dalam pengambilalihan agunan ini, bank akan mengeluarkan biaya pengambilalihan dan pemeliharaan agunan yang diambil alih, dan oleh karena itu kiranya diperlukan mekanisme yang dapat mempercepat penjualan agunan.

Bagi bank sebagai kreditur, semakin lama jangka waktu pemilikan atas agunan yang diambil alih akan berpengaruh terhadap biaya yang harus dikeluarkan terkait dengan biaya pemeliharaan agunan. Selain itu, dapat pula berpengaruh pada kinerja bank karena akan menurunkan kualitas aktiva produktif bank dan terjadinya peningkatan pencadangan yang harus dibentuk oleh bank.

Ketentuan tersebut dimaksudkan untuk mendorong bank agar segera menjual agunan yang diambil alih, karena bank sebagai institusi keuangan yang memiliki fungsi intermediasi seyogianya tidak memiliki agunan yang diambil alih.

[12]Kembali pada eksekusi kapal, bahwa pada dasarnya pengaturan prosedur eksekusi kapal yang menjadi obyek hipotek sebagaimana diatur dalam draft RUU Hipotek Kapal adalah sama dengan peraturan yang berlaku saat ini, kesulitan yang mungkin timbul dalam lelang umum adalah penentuan acuan harga dasar lelang yang sangat sulit.

Bagi bank, kemudahan dalam menentukan harga sebuah agunan sangat penting dan menjadi salah satu faktor dalam penilaian proposal permohonan pembiayaan yang diajukan oleh calon debitur.

Sebagai bahan perbandingan, dalam praktek eksekusi jaminan yang terjadi saat ini, misalnya dalam hal eksekusi jaminan fidusia, akta jaminan fidusia juga memuat irah-irah “Demi Keadilan Berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa” sehingga akta tersebut mempunyai kekuatan eksekutorial yang sama dengan putusan pengadilan yang telah berkekuatan hukum tetap. Sebelum melakukan eksekusi jaminan fidusia melalui pelelangan umum, tetap diperlukan adanya suatu mekanisme permohonan sita eksekusi terlebih dahulu yang diajukan kepada Ketua Pengadilan Negeri yang berwenang.

Adapun apabila dalam perjalanannya, kapal laut yang dijadikan jaminan hipotik musnah, pastinya akan menimbulkan suatu akibat hukum. Pasal 1209 KUH Perdata mengatur bahwa hapusnya hipotek disebabkan karena:

a) hapusnya perikatan pokoknya;

b) pelepasan hipotek oleh si berpiutang; dan

c) karena penetapan hakim.

Hal ini berarti bahwa menurut Kitab Undang-Undang Hukum Perdata, musnahnya kapal yang menjadi obyek hipotek tidak termasuk dalam hal yang menyebabkan hapusnya hipotek. Oleh karena tidak ada pengaturan yang jelas mengenai akibat hukum dari musnahnya kapal laut yang menjadi obyek hipotek, hal tersebut tentunya dikembalikan pada kesepakatan antara debitur dengan kreditur pada perjanjian hipotek (sebagai perjanjian accesoir) atau perjanjian kredit (sebagai perjanjian pokok). Apabila dalam perjanjian tersebut diatur mengenai akibat hukum dari musnahnya kapal, maka dapat pula diatur mengenai asuransi atas musnahnya kapal sebagai jaminan terhadap pembayaran utang debitur.

[13]Instruksi Presiden No. 5 tahun 2005 telah menginstruksikan kepada menteri yang berwenang untuk melakukan dan merumuskan kebijakan-kebijakan sebagai berikut :

1. Setiap kapal yang dimiliki dan/atau dioperasikan oleh perusahaan pelayaran nasional, dan/atau kapal bekas/kapal baru yang akan dibeli atau dibangun di dalam atau di luar negeri untuk jenis, ukuran dan batas usia tertentu wajib diasuransikan sekurang-kurangnya untuk “Hull & Machineries” (rangka kapal);

2. Muatan/barang dan penumpang yang diangkut oleh perusahaan pelayaran nasional yang beroperasi baik di dalam negeri maupun di luar negeri, wajib diasuransikan;

3. Menetapkan kebijakan yang mendorong perusahaan asuransi nasional untuk bergerak di bidang asuransi perkapalan untuk menyesuaikan dengan standar kemampuan retensi asuransi perkapalan internasional.

Dengan adanya pengaturan mengenai kewajiban asuransi bagi perkapalan sebagaimana dimaksud di atas, diharapkan hal ini dapat memberikan jaminan kepastian pelunasan utang terhadap kreditur dalam hal terjadi ‘sesuatu’ terhadap kapal yang dijaminkan tersebut. Namun perlu diperhatikan bahwa kewajiban tersebut hanya sekurang-kurangnya atas rangka kapal. Oleh karena itu, kreditur harus melakukan analisis apakah nilai pertanggungan asuransi dimaksud mencukupi pembayaran seluruh kewajiban debitur.

[14]Selanjutnya, dalam draft RUU Hipotek Kapal tersebut juga diatur bahwa kreditur yang kreditnya dijamin oleh suatu hipotek kapal berhak untuk melaksanakan eksekusi jaminan yang terkait dengan kapal tersebut apabila debitur atau setiap orang yang menguasai kapal tersebut secara substansial diduga melakukan sesuatu tindakan atau kelalaian yang bersifat merugikan terhadap jaminan kreditur.

3. Penutup

Jaminan kebendaan dapat berupa jaminan benda bergerak dan benda tidak bergerak. Benda bergerak adalah kebendaan yang karena sifatnya dapat berpindah atau dipindahkan atau karena undang-undang dianggap sebagai benda bergerak, seperti hak-hak yang melekat pada benda bergerak.

Benda bergerak dibedakan lagi atas benda berwujud atau bertubuh. Pengikatan jaminan benda bergerak berwujud dengan gadai atau fiducia, sedangkan pengikatan jaminan benda bergerak tidak berwujud dengan gadai, cessie, dan account receivable.

Sesuai dengan apa yang ditentukan di dalam Pasal 14 UU No. 4 Tahun 1996 tentang Hak Tanggungan Atas Tanah dan Beserta Benda-Benda Yang Berkaitan Dengan Tanah, kita baru bisa menggunakan ketentuan ekskusi hipotik, setelah diadakan penyesuaian.

Dalam rangka pembiayaan pembelian kapal, maka kapal yang dibeli akan dijadikan agunan dan diikat dengan hipotek (hipotek kapal). Hal ini merupakan suatu tuntutan untuk memenuhi rasio kecukupan modal.

Yang termasuk dalam jaminan hipotik adalah kapal termasuk dengan segala alat perlengkapannya karena merupakan satu kesatuan dengan benda pokoknya (asas accesie/perlekatan), sebagai contoh: sekoci, rantai, jangkar.

Prosedur penjualan kapal dalam draft RUU Hipotek Kapal diatur dengan cara pengumuman melalui minimal 2 (dua) surat kabar harian yang beredar di daerah yang bersangkutan dalam jangka waktu 1 (satu) bulan sejak diberitahukan secara terbuka oleh pemberi dan/atau pemegang hipotek kepada pihak-pihak yang berkepentingan. Penjualan dilakukan dengan cara pelelangan umum melalui seorang pejabat pelelangan sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Namun demikian, dalam draft RUU Hipotek Kapal juga diatur penjualan kapal oleh pemegang hipotek dapat dilakukan di bawah tangan jika dari penjualan tersebut dapat diperoleh harga yang tertinggi.

Sebelum memutuskan untuk menyetujui hipotik kapal, pihak bank harus memperhitungkan nilai agunan yang diajukan dalam pengajuan proposal untuk memberikan pinjaman bagi pembiayaan modal kerja perusahaan perkapalan. Perhitungan nilai agunan itu erat kaitannya dengan penentuan harga dasar lelang. Sehingga, dengan adanya kemudahan dalam penilaian agunan, akan sangat penting bagi bank. Namun, hal ini juga turut menambah risiko meningkatnya biaya yang harus dikeluarkan dan dibutuhkannya waktu yang lebih lama sehubungan dengan proses eksekusi jaminan tersebut.

Untuk mengatasi permasalahan di kemudian hari, apabila kapal yang dijaminkan dalam hipotik musnah, ditetapkan suatu pengaturan mengenai kewajiban asuransi bagi perkapalan sebagaimana dimaksud di atas, diharapkan hal ini dapat memberikan jaminan kepastian pelunasan utang terhadap kreditur dalam hal terjadi ‘sesuatu’ terhadap kapal yang dijaminkan tersebut. Namun perlu diperhatikan bahwa kewajiban tersebut hanya sekurang-kurangnya atas rangka kapal. Oleh karena itu, kreditur harus melakukan analisis apakah nilai pertanggungan asuransi dimaksud mencukupi pembayaran seluruh kewajiban debitur. Ketentuan ini tercantum dalam Inpres No. 5 Tahun 2005.

Dengan adanya pengaturan mengenai kewajiban asuransi bagi perkapalan sebagaimana dimaksud di atas, diharapkan hal ini dapat memberikan jaminan kepastian pelunasan utang terhadap kreditur dalam hal terjadi ‘sesuatu’ terhadap kapal yang dijaminkan tersebut. Namun perlu diperhatikan bahwa kewajiban tersebut hanya sekurang-kurangnya atas rangka kapal. Oleh karena itu, kreditur harus melakukan analisis apakah nilai pertanggungan asuransi dimaksud mencukupi pembayaran seluruh kewajiban debitur.

Selanjutnya, dalam draft RUU Hipotek Kapal tersebut juga diatur bahwa kreditur yang kreditnya dijamin oleh suatu hipotek kapal berhak untuk melaksanakan eksekusi jaminan yang terkait dengan kapal tersebut apabila debitur atau setiap orang yang menguasai kapal tersebut secara substansial diduga melakukan sesuatu tindakan atau kelalaian yang bersifat merugikan terhadap jaminan kreditur.

DAFTAR PUSTAKA

Fuady, Munir. 1999. Hukum Perbankan Modern. Bandung: PT. Citra Aditya Bakti.

Ginting, ramlan. Tinjauan Terhadap RUU tentang Hipotek Kapal. Buletin Hukum Perbankan dan Kebanksentralan, 6 (2) : 26-34.

Giovani, Grace. 2008. Hipotik Kapal. http://notarisgracegiovani.com [10 June 2009]

Satrio, J. 1998. Hak Jaminan Kebendaan, Hak Tanggungan, Buku 2, Bandung: Citra Aditya Bakti.

Subekti dan Tjitrosudibio. 2006. Kitab Undang-Undang Hukum Dagang dan Undang-Undang Kepailitan. Cetakan ke-31. Jakarta: PT Pradnya Paramita.

Subekti dan Tjitrosudibio. 1999. Kitab Undang-Undang Hukum Perdata. Cetakan ke-29. Jakarta: PT Pradnya Paramita.

Peraturan Perundang-undangan

Undang-Undang No.4 Tahun 1996

Undang-Undang No.42 Tahun 1999

Undang-Undang No. 5 Tahun 1960

Instruksi Presiden No. 5 tahun 2005



[1] Disusun untuk memenuhi nilai tugas mata kuliah Hukum Kebendaan

[2] Mahasiswa Fakultas Ekonomi Jurusan Akuntansi dan Fakultas Hukum Jurusan Hukum Tata Negara Universitas Jember

[3] Fuady, Munir, Hukum Perbankan Modern, Bandung: PT. Citra Aditya Bakti, 1999. Hal. 69-70

[4] Satrio,J, Hukum Jaminan,Hak Jaminan Kebendaan, Hak Tanggungan, Buku 2, Bandung: Citra Aditya Bakti, 1998. Hal. 303

[5] Giovani, Grace, 2008, Hipotik Kapal, http://notarisgracegiovani.com [ 10 June 2009]

[6] Subekti dan Tjitrosudibio, 2006, Kitab Undang-Undang Hukum Dagang dan Undang-Undang Kepailitan, cetakan ke-31, Jakarta: PT Pradnya Paramita, Hal. 94.

[7] Subekti dan Tjitrosudibio,1999, Kitab Undang-Undang Hukum Perdata, Cetakan ke-29, Jakarta: PT Pradnya Paramita, Hal. 159-160.

[8] Giovani, Grace, 2008, Hipotik Kapal, http://notarisgracegiovani.com [ 10 June 2009]

[9] ibid

[10] Dr. Ramlan Ginting, S.H., LL.M, TINJAUAN TERHADAP RUU TENTANG HIPOTEK KAPAL, dari Buletin Hukum Perbankan dan Kebanksentralan Vol.6 No.2 Agustus 2008, hal. 26.

[11] Dr. Ramlan Ginting, S.H., LL.M, TINJAUAN TERHADAP RUU TENTANG HIPOTEK KAPAL, dari Buletin Hukum Perbankan dan Kebanksentralan Vol.6 No.2 Agustus 2008, hal. 26.

[12] Dr. Ramlan Ginting, S.H., LL.M, TINJAUAN TERHADAP RUU TENTANG HIPOTEK KAPAL, dari Buletin Hukum Perbankan dan Kebanksentralan Vol.6 No.2 Agustus 2008, hal. 28

[13] Dr. Ramlan Ginting, S.H., LL.M, TINJAUAN TERHADAP RUU TENTANG HIPOTEK KAPAL, dari Buletin Hukum Perbankan dan Kebanksentralan Vol.6 No.2 Agustus 2008, hal. 29.

[14] Dr. Ramlan Ginting, S.H., LL.M, TINJAUAN TERHADAP RUU TENTANG HIPOTEK KAPAL, dari Buletin Hukum Perbankan dan Kebanksentralan Vol.6 No.2 Agustus 2008, hal. 30.

1 komentar:

  1. Nice info gan, namun jika boleh ditambahkan syarat-syarat perkreditan untuk kapal, agar pihak debitur (pemohon kredit) dan kreditur (pemberi kredit) lebih dapat mengetahui jika ingin mendapatkan/mengucurkan kredit. trims gan info berguna ini ya. Regards Teddy Pribadie

    BalasHapus