Kamis, 23 September 2010

Makalah Filsafat Hukum: Kebangkitan Filsafat Hukum Alam Dan Peranannya Dalam Pembentukan Hukum Di Indonesia

1. PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Salah satu dari sekian madzhab filsafat hukum adalah madzhab hukum alam. Di samping hukum alam, ada dua madzhab yang tersohor yaitu madzhab sociological jurisprudence dan madzhab positivisme. Namun makalah saya akan lebih mendalami masalah hukum alam.
Hukum alam diperkenalkan oleh seorang Thomas Aquinas, yang menyandarkan dasar filsafatnya pada hukum alam (natural law) yang dirasa mempunyai proporsi paling ideal dalam hal menjunjung nilai keadilan. Adapun ranah yang dilingkupi dalam hukum alam itu sendiri ada pada ranah ideal atau nilai yang lebih banyak membicarakan tentang moral.
Penggunaan hukum alam ini sendiri juga memiliki banyak implikasi, salah satunya adalah dalam pembentukan hukum di Indonesia. Adapun kaitan antara filsafat hukum alam dengan pembentukan hukum di Indonesia, setidaknya kita sadar bahwa hukum di bentuk karena pertimbangan keadilan (gerechtigkeit) disamping sebagai kepastian hukum (rechtssicherheit) dan kemanfaatan (zweckmassigkeit).
Keadilan ini berkaitan dengan pendistribusian hak dan kewajiban, diantara sekian hak yang dimiliki manusia terdapat hak yang bersifat mendasar yang merupakan anugerah alamiah langsung dari Tuhan, yaitu hak asasi manusia atau hak kodrati manusia, semua manusia tanpa pembedaan ras, suku, bangsa, agama, berhak mendapatkan keadilan, maka di Indonesia yang notabene adalah negara yang sangat heterogen tampaknya dalam membentuk formulasi hukum positif agak berbeda dengan negara-negara yang kulturnya homogen, sangatlah penting kiranya sebelum membentuk suatu hukum yang akan mengatur perjalanan masyarakat, haruslah digali tentang filsafat hukum secara lebih komprehensif yang akan mewujudkan keadilan yang nyata bagi seluruh golongan, suku, ras, agama yang ada di Indonesia.
Keadilan yang demikian itu itu tidak lain bersumber dari hukum Tuhan, oleh Friedrich disebut sebagai hukum kodrat. Dengan demikian hukum-hukum yang berasal dari Tuhan, yang tidak lain adalah hukum agama merupakan hukum yang mempunyai nilai keadilan yang sempurna.
Sayangnya, eksistensi hukum alam ini mulai ditinggalkan pada abad ke-19. Alasan ditinggalkannya hukum alam ini adalah karena sifat hukum alam yang spekulatif dan tidak lebih dari sekedar trial and error saja. Pada saat redupnya eksistensi hukum alam, madzhab positivisme hukum beralih menjadi kiblat bagi filsafat hukum
Namun memasuki abad ke-20, hukum alam seolah bangkit kembali. Hal demikian ini ditunjukkan dengan adanya cara-cara berpikir yang kembali pada ranah hukum alam. Salah satu contohnya adalah isu tentang hak asasi manusia.


1.2 RUMUSAN MASALAH
Adapun masalah yang dapat ditarik dari uraian latar belakang di atas adalah sebagai berikut:
1. Bagaimanakah bentuk hubungan yang terjadi antara hukum dan moral dalam perspektif hukum alam?
2. Bagaimana euforia kebangkitan kembali hukum alam pada abad ke-20?
3. Bagaimana peranan filsafat hukum alam dalam pembentukan hukum di Indonesia?


2. TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Filsafat Hukum
Pengertian Filsafat dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, adalah 1) Pengetahuan dan penyelidikan dengan akal budi mengenai hakikat segala yang ada, sebab, asal, dan hukumnya, 2) Teori yang mendasari alam pikiran atau suatu kegiatan atau juga berarti ilmu yang berintikan logika, estetika, metafisika dan epistemologi.
Secara Umum Pengertian Filsafat adalah Ilmu pengetahuan yang ingin mencapai hakikat kebenaran yang asli dengan ciri-ciri pemikirannya yang 1) rasional, metodis, sistematis, koheren, integral, 2) tentang makro dan mikro kosmos 3) baik yang bersifat inderawi maupun non inderawi. Hakikat kebenaran yang dicari dari berfilsafat kebenaran akan hakikat hidup dan kehidupan, bukan hanya dalam teori tetapi juga praktek.
Kemudian berkenaan dengan Filsafat Hukum Menurut Gustaff Radbruch adalah cabang filsafat yang mempelajari hukum yang benar. Sedangkan menurut Langmeyer: Filsafat Hukum adalah pembahasan secara filosofis tentang hukum, Anthoni D’Amato mengistilahkan dengan Jurisprudence atau filsafat hukum yang acapkali dikonotasikan sebagai penelitian mendasar dan pengertian hukum secara abstrak, Kemudian Bruce D. Fischer mendefinisikan Jurisprudence adalah suatu studi tentang filsafat hukum. Kata ini berasal dari bahasa Latin yang berarti kebijaksanaan (prudence) berkenaan dengan hukum (juris) sehingga secara tata bahasa berarti studi tentang filsafat hukum.
Secara sederhana, dapat dikatakan bahwa Filsafat hukum merupakan cabang filsafat, yakni filsafat tingkah laku atau etika, yang mempelajari hakikat hukum. Dengan perkataan lain filsafat hukum adalah ilmu yang mempelajari hukum secara filosofis, jadi objek filsafat hukum adalah hukum, dan objek tersebut dikaji secara mendalam sampai pada inti atau dasarnya, yang disebut dengan hakikat.

2.2 Filsafat Hukum Alam
Filsafat Hukum Alam (Natural Law) lahir sejak zaman Yunani, berkembang di zaman Romawi sampai ke zaman modern ini. Pemuka Hukum Alam adalah Plato (429-347 BC), Aristotle (348-322 BC) zaman Yunani, Marcus Tullius Cicero (106-43 BC) zaman Romawi, St. Agustine (354-430), dan St. Thomas Aquinas (1225-1274) dari kalangan Kristen, Grotius (1583- 1645), Thomas Hobbes (1588-1679), John Locke (1632-1704).
Natural law or the law of nature (Latin: lex naturalis) has been described as a law whose content is set by nature and that therefore has validity everywhere, (Hukum alam adalah hukum yang segala muatannya diatur oleh alam dan oleh karena itu mempunyai validitas di segala tempat).
Premis pertama dari doktrin Hukum Alam (Natural Law) adalah apa yang diketemukan oleh Hukum Alam (Natural Law), seharusnya diikuti. Masalah pertama adalah bagaimana menemukan apa yang diketemukan oleh Hukum Alam. Hukum Alam (Natural Law) memberikan tempat utama kepada moralitas. Peranan yang dimainkan oleh moral dalam memformulasikan teori mengenai hukum dari alam (the law of nature) kadang-kadang dinyatakan secara tegas, tetapi lebih banyak dinyatakan secara diam-diam. Moralitas digunakan dalam berbagai peranan. Kadang-kadang dikarakterisasikan sebagai produk dari isi Hukum Alam (Natural Law). Kadang-kadang ia diberikan peranan ganda, tidak hanya sebagai produk tetapi juga sebagai pembenaran, petunjuk kata hati/hati nurani. Dengan perkataan lain apa yang seharusnya berlaku mengikuti apa yang seharusnya secara moral berlaku.
Jika Hukum Alam (Natural Law) ingin memiliki relavansi hukum, maka ia harus berisi prinsip-prinsip petunjuk di mana manusia akan menggunakannya untuk mengatur diri mereka sendiri dan orang lain. Variasi yang luas mengenai standar keadilan dan moralitas dapat ditinjau pada waktu yang berbeda, di antara orang-orang yang berlainan dan bahkan diantara individu yang berlainan, mungkin akan menghasilkan satu standar petunjuk yang menonjol tetapi variasivariasi tersebut juga mengindikasikan sulitnya menentukan apa yang dimaksud dengan prinsip-prinsip alamiah itu. Hukum hanya dapat dilihat dari pedoman-pedoman yang ditawarkan pada penerapan prinsip-prinsip tersebut terhadap kasus-kasus tertentu.
Hukum alam yang oleh akal budi manusia ditimba dari aturan alam, dapat dibagi dalam dua golongan yaitu : hukum alam primer dan hukum alam sekunder.
Hukum alam primer dapat dirumuskan dalam norma-norma yang karena bersifat umum berlaku bagi semua manusia. Sedangkan, hukum alam sekunder dapat diartikan dalam norma-norma yang selalu berlaku in abstracto, oleh karena langsung dapat disimpulkan dari norma-norma hukum alam primer, tetapi dapat terjadi juga adanya kekecualian berhubung adanya situasi tertentu.

3. PEMBAHASAN
3.1 Bentuk hubungan antara Hukum dan Moral dalam Perspektif Hukum Alam
Masalah hubungan hukum dan moral tidak lagi merupakan masalah bentuk atau struktur, tetapi masalah tentang isi. Menurut penganut Hukum Alam (Natural Law), isi dari hukum adalah moral. Hukum tidak semata-mata merupakan suatu peraturan tentang tindakan-tindakan hukum itu berisi nilai-nilai, hukum itu adalah indikasi, apakah yang baik dan yang buruk. Selanjutnya yang baik dan yang buruk itu adalah syarat-syarat dari kewajiban hukum. Penganut Hukum Alam menganggap bahwa hukum tidak semata-mata merupakan perintah tetapi juga seperangkat nilai-nilai tertentu. Penganut Teori Hukum Alam (Natural Law) tidak pernah berpendapat bahwahukum itu semata-mata ekspresi dari standar kelompok tertentu atau masyarakat tertentu. Penganut Hukum Alam (Natural Law) percaya kepada nilai-nilai yang absolut dan mereka berpendapat hukum adalah alat untuk mencapai nilai-nilai tersebut.
Thomas Aquinas mengatakan Hukum Alam (Natural Law) itu adalah mengerjakan yang baik dan menghindarkan yang buruk. Grotius menyatakan bahwa hukum dari alam (the law of nature) menunjukkan alasan-alasan yang baik dan tindakan-tindakan di dalamnya memiliki kualitas moral.
Demikian jelasnya, dari sudut praktis, untuk menetapkan kebutuhan yang rasional adanya ketertiban hukum dalam setiap masyarakat. Salah satu contoh adalah “Rule of Law”. Pendapat modern mengenai hal ini diberikan oleh L.L. Fuller yang dikuatkan oleh Finnis dan Joseph Raz.
Mereka mengatakan bahwa hukum itu adalah atauran-aturan yang umum dan jelas yang masuk akal, yang harus dipublikasikan kepada pihak-pihak yang dikehendakinya dan memiliki akibat yang perspektif. Aturan-aturan itu harus tetap masuk akal dan konsisten dari waktu-kewaktu, berisi standar yang mungkin dilaksanakan. Oleh karenanya hukum yang mengesampingkan perempuan dan orang hitam dari kantor-kantor atau profesi atau tidak memiliki suara untuk memilih adalah bertentangan dengan moral.
Contoh lain lagi mengenai hak asasi manusia, pendekatan dari teori Hukum Alam terhadap eksistensi dari hak asasi manusia adalah sangat terintegrasi dan menyeluruh. HAM berasal dari Hukum Tuhan (divine law) kemudian menjadi Hukum Alam (Natural Law) yang berisikan ajaran-ajaran moral yang kemudian dituangkan oleh manusia dalam hukum positif yang berisi hak dan kewajiban, termasuk HAM. Menurut Teori Hukum Alam (Natural Law), hak-hak dan hukum adalah bagian yang universal dari sistem moral.
Contoh berikutnya adalah mengenai penerapan prinsip persamaan di depan hukum (equality before the law). Dasar umum dari substansi prinsip persamaan bagi umat manusia adalah kemanusian mereka sendiri. Semua orang seharusnya diperlakukan sama karena mereka secara karakteristik adalah sama, rasa senang dan rasa sakit sama bagi semua orang. Perbedaan kedudukan berdasarkan apapun juga tidak dapat menghapuskan persamaan tersebut, begitu juga perbedaan antara orang hitam dan orang putih, antara laki-laki dan perempuan tidak boleh membawa perbedaan perlakuan terhadap mereka.
Contoh berikutnya adalah penerapan Hukum Alam (Natural Law) pada kasus Aborsi. Hukum Alam berasal dari hukum Tuhan (divine law), oleh karenanya gereja Katolik Roma menentang aborsi, mereka percaya bahwa aborsi adalah pembunuhan, bukan merupakan dogma dari gereja. Tetapi pendirian ini berubah, bahwa janin belumlah menjadi manusia sampai pada saat “animation.” Berdasarkan doktrin Katolik, janin laki-laki memiliki animasi pada hari ke 40 setelah pembuahan, janin perempuan dipercaya memiliki animasi setelah 80 hari. Tapi setelah abad ke 18 gereja berpendapat bahwa kehidupan manusia mulai sejak pembuahan.
Jadi perdebatan berputar kepada kapan tepatnya janin itu diakui sebagai manusia. Menurut interpretasi hukum Islam yang berdasarkan Ilmu Kedokteran, kehamilan 42 hari adalah akhir minggu keenam kehamilan setelah pembuahan. Berdasarkan hal tersebut ada pemikiran untuk mengembangkan hukum Islam yang membolehkan pengguguran kandungan sampai usia kehamilan 5 minggu (35 hari) atau maximum 42 hari; yaitu adalah 10 hari setelah seorang wanita mengetahui haidnya terlambat.

3.2 Kebangkitan Hukum Alam pada Abad ke-20
Lawrence M. Friedmann menegaskan bahwa sebelum Perang Dunia ke-1 dan Perang Dunia ke-2, telah muncul suatu reaksi berupa perasaan tidak puas yang mendalam dalam kemakmuran material, terhadap keyakinan terhadap diri sendiri, terhadap borjuasi zaman Victoria, dan lain-lain. Sekali lagi, jiwa manusia pada saat itu telah dilingkupi kegelisahan, memberontak terhadap ukuran-ukuran kehidupan yang berlaku pada saat itu, dan sebagaimana pernah terjadi pada sejarah umat manusia, mereka mencari suatu keadilan .
Adapun contoh yang menjalar akibat kegelisahan tersebut di atas adalah munculnya kaum pemuda yang memberontak terhadap keberadaan kaum borjuis, terhadap pemujaan uang, dan kedataran hidup modern. Perombak-perombak sosial dan kaum sosialis menyerang kepincangan-kepincangan sosial yang tersembunyi di bawah formalisme hukum dan pemujaan para penguasa terhadap golongan-golongan positivis. Dari situ, sarjana-sarjana hukum mulai menemukan bahwa hukum tidak hanya berbicara mengenai masalah peneraoan undang-undang atau preseden terhadap suatu perkara atau situasi. Mereka melihat kenyataan bahwa terdapat masalah-masalah tertentu yang dalam penyelesaiannya menuntut suatu pedoman yang lebih tinggi dari sekedar hukum positif.
Pada waktu keyakinan terhadapa kepastian mulai menapaki masa-masa keraguan, pada waktu itulah filsafat hukum alam hidup kembali. Kebangkitan hukum alam ini bisa terlihat dari bangkitnya cita-cita hukum alam. Suatu cita-cita kebangkitan hukum alam yang lebih sejati dapat ditemukan dalam berbagai teori modern yang menganggap hukum alam sebagai suatu cita-cita yang evolusioner. Maka dari situ, filsafat hukum alam dianggap sebagai suatu kekuatan pembimbing dalam pertumbuhan hukum positif.
Dari itu, kita bisa menganggap bahwa cita-cita hukum alam adalah usaha-usaha untuk menutupi aspirasi-aspirasi politik yang tertentu. Adapun maksud yang tertentu di sini adalah kaum borjuis yang mempunyai kedudukan yang lebih tinggi jika dibandingkan dengan rakyat jelata. Namun, satu hal yang sangat penting, makna hukum alam sesungguhnya lebih dari itu. Hukum alam merupakan cara utama untuk mencetuskan cita-cita dan keinginan berbagai bangsa dan berbagai generasi dalam hubungannya dengan kekuatan-kekuatan utama yang menjadi pendorong bagi perubahan.
Adapun sisi yang paling representatif dari teori hukum alam modern ini yang terlepas dari aliran neo skolastik adalah teori-teori yang dikemukakan oleh Del Vecchio. Oleh Del Vecchio, hukum alam pada dasarnya telah digunakan untuk dijadikan sebagai suatu pedoman bagi pembentukan hukum positif . Del Vecchio menganggap hukum alam sebagai asas evolusi hukum yang membimbing umat manusia, dan berbarengan dengan hukum itu sendiri, menuju ke arah otonomi manusia yang lebih besar.
Selain itu, teori Del Vecchio juga ada yang menyatakan bahwa kebebasan berkehendak negara, yang merupakan perwujudan dari kedaulatan, telah melahirkan penolakan terhadap prinsip hukum internasional. Di sisi lain, kaidah hukum alam menuntut manusia bersatu sama lain, dan mengakui kesederajatan. Oleh karena itu, Del Vecchio menyarankan penggabungan nyata antara hukum nasional dan hukum internasional, dengan alasan, meskipun kedua sistem hukum mungkin memiliki derajat positivitas yang berbeda, akan tetapi yang terpenting adalah tingkat keefektifannya dalam membentuk otonomi manusia yang lebih besar .
Adanya ketidakpuasan terhadap keberadaan dan penerapan positivisme hukum pada awal Abad ke-20, menyebabkan banyak pihak memberikan resistensi terhadap pemberlakuan filsafat positivisme. Akibatnya pun jelas, banyak sarjana-sarjana hukum yang mulai menelurkan teori yang ideal mengenai hukum alam. Dengan demikian, hukum alam yang semula redup, dan bahkan ditinggalkan, seolah bangkit kembali.

3.3 Peranan Filsafat Hukum dalam Pembentukan Hukum di Indonesia
Jika kita telaah bagaimana kedudukan hukum alam atau hukum kodrati ini bisa kita lihat bagaimana bentuk integrasi yang dilakukan oleh hukum agama, dalam hal ini hukum islam, untuk masuk ke dalam pembuatan hukum, khususnya hukum dasar, di Indonesia.
Negara di dunia yang menganut paham negara teokrasi menganggap sumber dari segala sumber hukum adahal ajaran-ajaran Tuhan yang berwujud wahyu, yang terhimpun dalam kitab-kitab suci atau yang serupa denga itu, kemudian untuk negara yang menganut paham negara kekuasaan (rechstaat) yang dianggap sebagai sumber dari segala sumber hukum adalah kekuasaan, lain halnya dengan negara yang menganut paham kedaulatan rakyat, yang dianggap sebagai sumber dari segala sumber hukum adalak kedaulatan rakyat, dan Indonesia menganut paham kedaulatan rakyat dari Pancasila, akan tetapi berbeda dengan konsep kedaulatan rakyat oleh Hobbes (yang mengarah pada ke absolutisme) dan John Locke (yang mengarah pada demokrasi parlementer).
Rumusan Pancasila yang dijumpai dalam Alinea keempat Pembukaan UUD 1945 adalah sumber dari segala sumber hukum di Indonesia yang merupakan produk filsafat hukum negara Indonesia, Pancasila ini muncul diilhami dari banyaknya suku, ras, kemudian latar belakang, serta perbedaan ideologi dalam masyarakat yang majemuk, untuk itu muncullah filsafat hukum untuk menyatukan masyarakat Indonesia dalam satu bangsa, satu kesatuan, satu bahasa, dan prinsip kekeluargaan, walau tindak lanjut hukum-hukum yang tercipta sering terjadi hibrida (percampuran), terutama dari hukum Islam, hukum adat, dan hukum barat (civil law / khususnya negara Belanda), hukum Islam (Al-Qur’an) sering dijadikan dasar filsafat hukum sebagai rujukan mengingat mayoritas penduduk Indonesia adalah umat muslim.
Adapun contoh konkret dari penggunaan hukum alam, dalam hal ini adalah hukum islam, yang masuk dalam konstitusi Indonesia melalui produk filsafat hukum adalah Undang-undang No. 1 tahun 1974 tentang Perkawinan, apalagi didalamnya terdapat pasal tentang bolehnya poligami bagi laki-laki yaitu dalam Pasal 3 ayat 1, Pasal 4 ayat 1,2, dan Pasal 5 ayat 1 dan 2, walau banyak pihak yang protes pada pasal kebolehan poligami tersebut, namun di sisi lain tidak sedikit pula yang mempertahankan pasal serta isi dari Undang-undang Perkawinan tersebut. DPR adalah lembaga yang berjuang mengesahkan Undang-Undang No. 1 tahun 1974 tentang Perkawinan, yang diundangkan pada tanggal 2 Januari tahun 1974, dan sampai sekarang masih berlaku tanpa adanya perubahan, ini bukti nyata dari perkembangan filsafat hukum yang muncul dari kebutuhan masyarakat perihal penuangan hukum secara konstitusi kenegaraan, yang mayoritas masyarakat Indonesia adalah agama Islam, yang menganggap ayat-ayat ahkam dalam kitab suci Al-Qur’an adalah mutlak untuk diikuti dalam hukum.
Itulah sepintas dan sedikit uraian mengenai keberadaan filsafat hukum alam, yang dalam hal ini adalah hukum Islam, dalam mengilhami pembentukan hukum di Indonesia.

4. PENUTUP
4.1 Kesimpulan
Kepatuhan para penganut hukum alam itu bukanlah didasarkan pada perintah yang dapat dipaksakan, tapi didasarkan pada kesadaran bahwa di dalam aturan hukum itu terdapat nilai-nilai tertentu. Kesadaran disini ini ada pada ranah moralitas. Dengan demikian terlihat jelas hubungan antara hukum dan moral.
Adanya ketidakpuasan terhadap keberadaan dan penerapan positivisme hukum pada awal Abad ke-20, menyebabkan banyak pihak memberikan resistensi terhadap pemberlakuan filsafat positivisme. Akibatnya pun jelas, banyak sarjana-sarjana hukum yang mulai menelurkan teori yang ideal mengenai hukum alam. Dengan demikian, hukum alam yang semula redup, dan bahkan ditinggalkan, seolah bangkit kembali.
Keberadaan hukum alam, dalam hal ini adalah Hukum Islam, telah dijadikan suatu pedoman dalam membentuk hukum. Adapun contoh yang bisa ditarik kaitannya antara peran hukum alam sebagai pedoman dalam pembentukan hukum adalah keberadaan norma di Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan.

4.2 Saran-Saran
1. Terkait dengan penggunaan hukum alam sebagai pedoman dalam pembentukan hukum di Indonesia dan keberadaan hukum alam yang mempunyai hubungan erat dengan moralitas, sebaiknya sikap yang dimiliki oleh setiap warga negara adalah mematuhi aturan hukum atas dasar kesadaran akan keberadaan nilai-nilai tertentu di dalam aturan hukum.
2. Sebaiknya pengintegrasian hukum alam ke dalam pembentukan hukum semakin diintensifkan. Hal demikian ini didasarkan di dalam hukum alam terdapat penghormatan terhadap hak asasi manusia. Dengan demikian secara otomatis perlindungan terhadap hak asasi manusia akan semakin baik.

Daftar Pustaka

Anonim. 2004. Reinterpretasi Hukum Islam Tentang Aborsi. Republika, 2 April 2004.
Banjarnahor, Allan. ____. Teori Hukum. http://tubiwityu.typepad.com/blog/ 2010/02/teori-hukum.html {diakses 24 Mei 2004}
Djafar, Wahyudi. 2008. Pemikiran tentang Kedaulatan. http://wahyudidjafar.wordpress.com/2008 / 09/25/menelusuri-pemikiran-tentang-kedaulatan-souvereignty/ {diakses 24 Mei 2010}
Harikhman, Aldian. ____. Peran Filsafat dalam Pembentukan (Pembaharuan) Hukum di Indonesia. http://aldianharikhman.blogspot.com/2009/12/peran-filsafat-hukum-dalam-pembaharuan.html {diakses 24 Mei 2010}
Lukoni, Huda. ____. Filsafat Hukum Dan Perannya Dalam Pembentukan Hukum Di Indonesia. http://www.badilag.net/data/ARTIKEL/Filsafat%20Hukum %20dan%20Perannya%20dalam%20Pembentukan%20Hukum%20di%20Indonesia.pdf {diakses 24 Mei 2010}
Soetiksno. 2005. Filsafat Hukum. Cetakan Kesembilan. Jakarta: PT Pradnya Paramita.
Tasrif, S. 1987. Bunga Rampai Filsafat Hukum. Bandung: Abardin.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar