Kamis, 23 September 2010

Makalah Hukum Orang dan Keluarga: Perspektif Perjanjian Perkawinan dalam Memberikan Perlindungan Wanita Kaitannya dengan Poligami

BAB 1. PENDAHULUAN
PERSPEKTIF PERJANJIAN PERKAWINAN DALAM MEMBERIKAN JAMINAN PEMBERDAYAAN DAN PERLINDUNGAN WANITA KAITANNYA DENGAN POLIGAMI
1.1 Latar Belakang
Sebelum melakukan perkawinan, calon suami dan calon istri dapat membuat sebuah perjanjian. Perjanjian tersebut adalah perjanjian perkawinan. Adapun pembuatan perjanjian perkawinan ini dapat dilakukan oleh dan/atau di hadapan notaris.
Namun, di negara kita yang masih menjunjung tinggi adat ketimuran, menjadi persoalan yang sensitif ketika salah seorang calon pasangan berniat mengajukan untuk membuat perjanjian perkawinan. Perjanjian perkawinan menjadi suatu hal yang tidak lazim dan dianggap tidak biasa, kasar, materialistik, juga egois, tidak etis, tidak sesuai dengan adat timur dan lain sebagainya.
Hal ini didasarkan pada anggapan masyarakat Indonesia yang menempatkan pernikahan sebagai sesuatu yang sakral, maka perjanjian perkawinan masih dianggap sebagai urusan duniawi yang tidak sepantasnya dibicarakan dan dilakukan. Dan jika dilakukan, maka akan muncul pertanyaan apa bedanya dengan perjanjian-perjanjian yang biasa dilakukan oleh dua orang yang melakukan transaksi bisnis. Padahal, jika dikembalikan pada kesakralan perkawinan, akan ditemukan adanya kontaradiksi antara kesakralan perkawinan dengan keberadaan perjanjian perkawinan, karena perkawinan bukanlah transaksi bisnis/
Perjanjian perkawinan itu sendiri, menurut Kitab Undang-Undang Hukum Perdata, melingkupi masalah-masalah harta kekayaan. Dengan demikian, bisa dikatakan bahwa perjanjian perkawinan ini menyiapkan langkah selanjutnya dalam ranah harta kekayaan apabila terjadi perceraian antara suami dan istri.
Di luar itu memang masih banyak wacana untuk memasukkan ranah-ranah yang lain untuk diatur di dalam perjanjian perkawinan. Namun semua wacana itu terbentur dengan adanya ketentuan normatif di dalam BW bahwa perjanjian kawin hanya memuat masalah harta kekayaan.
Di antara sekian wacana tersebut di atas adalah pengaturan mengenai poligami. Ahmad Dahlan dan Firdaus Albar, mengungkapkan bahwa perjanjian perkawinan perlu memuat ketentuan mengenai poligami. Hal demikian ini dapat dijadikan sebagai gambaran upaya untuk menghindarkan biduk rumah tangga suami dan istri dapat terhindar dari bahaya disharmonisasi di antara keduanya yang berujung dengan perceraian.
Jika menilik pada perdebatan masalah poligami ini, memang banyak di antara kaum perempuan yang menolak poligami. Alasannya pun sederhana, dengan adanya poligami, pihak suami akan kesulitan untuk berlaku adil dalam menjalankan kewajibannya kepada istri-istrinya. Jadi bisa dikatakan bahwa alasan demikian itu dapat berujung pada perceraian.
Namun perlu digarisbawahi bahwa perjanjian perkawinan bukan persiapan untuk bercerai. Memang selama ini, pernikahan lebih dipahami sebagai kesepakatan hidup bersama antara pria dan wanita yang saling mencintai. Dengan cinta, segalanya bisa diatasi, begitulah kata-kata bijak yang membuai. Padahal, pernikahan berarti juga kesepakatan tentang banyak hal, termasuk soal keuangan, yang sama pentingnya seperti hubungan cinta itu sendiri. “Mitos” yang berbunyi, jika sepasang suami-istri sudah saling mencintai berarti takkan ada masalah keuangan, rasanya harus dikaji kembali.

1.2 Rumusan Masalah
1. Bagaimakah bentuk jaminan bagi pemberdayaan perempuan yang dapat diberikan oleh perjanjian perkawinan?
2. Apakah pengaturan mengenai poligami perlu dimasukkan ke dalam perjanjian perkawinan?

BAB 2. TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Perjanjian Perkawinan
Perjanjian perkawinan, sering juga disebut dengan perjanjian pranikah atau Prenuptial Agreement. Jika diuraikan secara etimologi, maka dapat merujuk pada dari dua akar kata, perjanjian dan perkawinan.
Pertama, janji atau perjanjian dapat diartikan sebagai persetujuan yang dibuat oleh dua pihak atau lebih, tertulis maupun lisan, masing-masing sepakat untuk mentaati isi persetujuan yang telah dibuat bersama.
Adapun perkawinan, menurut Ketentuan Umum Pasal 1 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan, ialah ikatan lahir bathin antara seorang pria dengan seorang wanita sebagai suami isteri dengan tujuan membentuk keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa. Sedangkan pernikahan secara etimologi Islam diartikan dari lafadz an-nikâh yang merupakan mashdar dari fi’il madhi (nakaha) yang mempunyai arti kawin, setubuh, atau senggama.
Dengan demikian, perjanjian perkawinan adalah suatu perjanjian yang dibuat sebelum pernikahan dilangsungkan dan mengikat kedua belah pihak calon pengantin yang akan menikah dan berlaku sejak pernikahan dilangsungkan. Perjanjian kawin biasanya dibuat untuk kepentingan perlindungan hukum terhadap harta bawaan masing-masing, suami ataupun istri, meskipun undang-undang tidak mengatur tujuan perjanjian perkawinan dan apa yang dapat diperjanjikan, segalanya diserahkan pada kedua pihak.
Dengan perjanjian perkawinan diharapkan dapat menjadi acuan jika suatu saat timbul konflik serta menjadi salah satu landasan masing-masing pasangan dalam melaksanakan, dan memberikan batas-batas hak dan kewajiban mereka.

2.2 Dasar Hukum bagi Perjanjian Perkawinan
Tentang perjanjian perkawinan diatur pada Bab VII Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (BW) Pasal 139 sampai dengan Pasal 154. Dan secara garis besar perjanjian perkawinan berlaku mengikat para pihak / mempelai apabila terjadi perkawinan.
Dengan mengadakan perjanjian perkawinan kedua calon suami isteri berhak menyiapkan dan menyampaikan beberapa penyimpangan dari peraturan undang-undang sekitar persatuan harta kekayaan, asal perjanjian itu tidak menyalahi tata susila yang baik dalam tata tertib umum dengan ketentuan antara lain :
1. Tidak boleh mengurangi hak suami sebagai kepala keluarga.
2. Tanpa persetujuan isteri, suami tidak boleh memindahtangankan barang-barang tak bergerak isteri.
3. Dibuat dengan akta notaris sebelum perkawinan berlangsung dan berlaku sejak saat perkawinan dilangsungkan.
4. Tidak berlaku terhadap pihak ketiga sebelum didaftar di kepaniteraan Pengadilan Negeri di daerah hukum berlangsungnya perkawinan itu atau jika perkawinan berlangsung di luar negeri maka di kepaniteraan dimana akta perkawinan dibukukan / diregister.
Sedangkan hukum Islam seperti yang tercantum pada Undang- undang No.1 Tahun 1974 tentang Perkawinan hanya terdiri atas satu pasal saja tentang perjanjian perkawinan, yaitu pasal 29 menyatakan :
Pada waktu sebelum perkawinan berlangsung kedua belah pihak atas persetujuan bersama dapat mengadakan perjanjian tertulis yang disahkan oleh Pegawai Pencatat Perkawinan setelah mana isinya berlaku juga terhadap pihak ketiga sepanjang pihak ketiga tersangkut.

Selain itu Kompilasi Hukum Islam juga memperbolehkan Perjanjian perkawinan sebagaimana dinyatakan dalam pasal 47:
Pada waktu atau sebelum perkawinan dilangsungkan kedua calon mempelai dapat membuat perjanjian tertulis yang disahkan Pegawai Pencatat Nikah mengenai kedudukan harta dalam perkawinan.

Konsep perjanjian perkawinan awal memang berasal dari hukum perdata barat Kitab Undang-Undang Hukum Perdata. Tetapi Undang-Undang No 1 Tahu 1974 tentang Perkawinan ini telah mengkoreksi ketentuan Kitab Undang-Undang Hukum Perdata tentang perjanjian perkawinan. Dalam pasal 139 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata: “Dengan mengadakan perjanjian kawin, kedua calon suami isteri adalah berhak menyiapkan beberapa penyimpangan dari peraturan perundang-undangan sekitar persatuan harta kekayaan asal perjanjian itu tidak menyalahi tata susila yang baik atau tata tertib umum dan asal diindahkan pula segala ketentuan di bawah ini, menurut pasal berikutnya”.
Bila dibandingkan maka Kitab Undang-Undang Hukum Perdata yang hanya membatasi dan menekankan perjanjian perkawinan hanya pada persatuan harta kekayaan saja, sedangkan dalam Undang-Undang No 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan bersifat lebih terbuka, tidak hanya harta kebendaan saja yang diperjanjikan tetapi juga bisa diluar itu sepanjang tidak bertentangan dengan hukum, agama dan kesusilaan, nilai-nilai moral dan adat istiadat. 
BAB 3. PEMBAHASAN

3.1 Pentingnya Perjanjian Perkawinan untuk Memberikan Jaminan Pemberdayaan Bagi Perempuan
Dalam konteks pemberdayaan perempuan, perjanjian perkawinan bisa menjadi alat untuk memberikan jaminan perlindungan perempuan dari segala kemungkinan terjadinya Kekerasan Dalam Rumah Tangga (KDRT). Secara gamblang terdapat hal-hal yang perlu untuk diperhatikan dalam membuat perjanjian perkawinan. Adapun hal-hal tersebut adalah persoalan poligami, mahar, perceraian, keuangan, dan menempuh pendidikan bagi perempuan. Dan juga persoalan-persoalan yang dianggap perlu untuk dimasukkan ke dalam perjanjian. Bahkan jika perlu pembagian kerja juga menjadi hal penting yang dimasukan ke dalam point perjanjian.
Di samping itu, keberadaan perjanjian perkawinan juga dapat memberikan manfaat yang memberikan kesempatan bagi pihak perempuan untuk memperjuangkan eksistensinya. Adapun manfaat penting yang dapat diambil dari perjanjian perkawinan antara lain:
1. Pembagian harta pasca perceraian yang mudah dan cepat
Bila terjadi perceraian maka perjanjian pranikah ini akan memudahkan dan mempercepat pembagian harta, karena sudah pasti harta yang akan diperoleh masing-masing, sudah jelas apa yang menjadi milik suami dan apa yang menjadi milik istri, tanpa proses yang berbelit belit sebagaimana bila terjadi perceraian.
2. Harta kekayaan istri dapat dibedakan secara jelas
Harta yang diperoleh isteri sebelum nikah, harta Bawaan, harta warisan ataupun hibah tidak tercampur dengan harta suami. Menjadi jelas harta milik istri apa saja.
3. Pembebanan dan pertanggungjawaban atas hutang dapat dilihat secara jelas
Dengan adanya pemisahan hutang maka menjadi siapa yang berhutang dan jelas siapa akan yang bertanggung jawab atas hutang tersebut. Untuk melindungi anak dan Isteri, maka isteri bisa menunjukan perjanjian pra nikah bila suatu hari suami meminjam uang ke bank kemudian tidak mampu membayar, maka harta yang bisa diambil oleh Negara hanyalah harta milik pihak tersebut (siapa yang meminjam) atau harta suami bukan dari harta isteri.
4. Perlindungan pihak istri dari kemungkinan KDRT
Isteri terhindar dari adanya kekerasan dalam rumah tangga (KDRT), bisa dalam artian fisik ataupun psikis, misalnya istri bisa mengembangkan kemampuannya dengan boleh bekerja, menuntut ilmu lagi, dll Karena tidak jarang terjadi ketidakseimbangan dalam berinteraksi antara suami dan isteri, salah satu pasangan mendominasi yang lain sehingga terjadi perasaan yang terendahkan dan terkekang dalam berekspresi.
5. Memungkinkan suami dan istri mendirikan perusahaan secara bersama-sama
Untuk isteri yang ingin mendirikan perusahaan, contohnya perseroan terbatas, maka ia bisa bekerjasama dengan suami karena sudah tidak ada lagi penyatuan harta dan kepentingan, bukan pihak yang terafiliasi lagi.

3.2 Pengaturan mengenai Poligami di dalam Perjanjian Perkawinan
Persoalan poligami sampai saat ini masih kontroversial dalam masyarakat muslim, tidak terkecuali muslim Kanada. Pencantuman point poligami dalam perjanjian perkawinan menjadi penting dalam upaya melindungi perempuan.
Di negara Barat, poligami adalah sesuatu yang dilarang (illegal). Begitu juga di Kanada, melakukan poligami adalah sesuatu yang dilarang oleh negara, meskipun demikian perempuan muslim di Kanada dianjurkan untuk memasukan point poligami sebagai bentuk ketidakrelaannya dipoligami dalam perjanjian perkawinan. Point ini penting masuk perjanjian perkawinan juga sebagai antisipasi apabila pasangan muslim tersebut pindah kewarganegaraan yang di negara tersebut tidak ada larangan poligami. Tak kalah pentingnya perjanjian perkawinan tersebut dilakukan di hadapan pemimpin agama dan didampingi oleh masing-masing pengacaranya, sehingga perjanjian tersebut mempunyai kekuatan hukum.
Di Indonesia, poligami juga menjadi perdebatan, khususnya yang berkaitan dengan pasal-pasal yang terdapat dalam Undang-undang No 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan. Sebagian adanya yang setuju dengan pembolehan terhadap praktik poligami. Namun, sebagian lainnya malah menentang adanya praktik poligami.
Secara riil, bisa kita lihat fakta yang disajikan LBH-APIK terkait dengan praktik poligami yang menunjukkan bahwa dari 58 kasus poligami yang didampingi LBH-APIK selama kurun 2001 sampai Juli 2003 memperlihatkan bentuk-bentuk kekerasan terhadap istri dan anak-anak mereka, mulai dari tekanan psikis, penganiayaan fisik, penelantaran istri dan anak-anak, ancaman dan teror, serta pengabaian hak seksual istri. Selain itu, 35 kasus di antaranya, banyak poligami dilakukan tanpa alasan yang jelas.
Dari berbagai pendapat, pembenaran praktik poligami ada pada kenyataan pada masa perkembangan di kalangan muslimin, banyak yang berpoligami. Namun, di sisi lain pendapat pertama tersebut terbentur dengan kenyataan bahwa banyak perceraian yang disebabkan adanya poligami.
Kemudian, muncul gagasan poligami dapat dilakukan melalui persyaratan yang sangat ketat, yaitu suami yang akan melakukan poligami harus mempunyai sifat ‘adil yang komprehensif dalam pembagian kasih sayang terhadap keluarga, dan dalam pembagian nafkah lahir batin. Dengan demkian, poligami ditempatkan pada status hukum darurat (emergency law) atau dalam keadaan yang luar biasa (extra-ordinary circumstance).
Sebenarnya, jika kita menilik dari akibat yang kurang baik dari praktik poligami, maka untuk sedikitnya mencegah poligami dan tentunya menjaga harmonisasi suatu keluarga, solusi yang dapat dilakukan adalah memasukkan ketentuan mengenai poligami ini ke dalam perjanjian perkawinan yang disetujui oleh sepasang suami dan istri.
Walaupun memasukkan ketentuan mengenai poligami dirasa kurang etis, upaya untuk mencegah hal yang buruk yang merupakan akibat dari poligami harus tetap diperhatikan dalam perjanjian perkawinan. Maka dari itu pengaturan mengenai poligami ini harus mendapatkan perhatian dan dipertegas dengan perjanjian perkawinan.

BAB 4. PENUTUP

4.1 Kesimpulan
Adapun manfaat penting yang dapat diambil dari perjanjian perkawinan antara lain:
1. Pembagian harta pasca perceraian yang mudah dan cepat
2. Harta kekayaan istri dapat dibedakan secara jelas
3. Pembebanan dan pertanggungjawaban atas hutang dapat dilihat secara jelas
4. Perlindungan pihak istri dari kemungkinan KDRT
5. Memungkinkan suami dan istri mendirikan perusahaan secara bersama-sama
Jika kita konsisten untuk menghindari disharmonisasi di dalam keluarga, maka untuk sedikitnya mencegah poligami dan tentunya menjaga harmonisasi suatu keluarga, solusi yang dapat dilakukan adalah memasukkan ketentuan mengenai poligami ini ke dalam perjanjian perkawinan yang disetujui oleh sepasang suami dan istri.
Walaupun memasukkan ketentuan mengenai poligami dirasa kurang etis, upaya untuk mencegah hal yang buruk yang merupakan akibat dari poligami harus tetap diperhatikan dalam perjanjian perkawinan. Maka dari itu pengaturan mengenai poligami ini harus mendapatkan perhatian dan dipertegas dengan perjanjian perkawinan.

DAFTAR PUSTAKA
Harahap, M. Yahya. 1975. Hukum Perkawinan Nasional. Medan: Zahir Trading Co.
http://www.kpcmelaticenter.com/id/perjanjian-pranikah/perjanjian-pra-nikah.html. Diakses pada 2 Mei 2010
http://www.rahima.or.id/index.php?view=article&catid=39%3Ateropong-dunia&id=223%3Ateropong-edisi-14-perjanjian-pranikah-menilik-tradisi-pernikahan-muslim-di-kanada&option=com_content&Itemid=272. Diakses pada 1 Mei 2010
Jurnal Hukum Jentera online. Perjanjian Pranikah: Solusi Untuk Semua?. (http://www.hukum.on-line.com). diakses pada 1 Mei 2010
Mukhtar, Kamal. 1974. Asas-asas Hukum Islam tentang Perkawinan. Jakarta: Bulan Bintang
Subekti, R dan Tjitrosudibio, R. 1999. Kitab Undang-Undang Hukum Perdata = Burgerlijk Wetboek : Dengan Tambahan Undang-Undang Pokok Agraria dan Undang-Undang Perkawinan. Jakarta: PT Pradnya Paramita

Tidak ada komentar:

Posting Komentar