Kamis, 23 September 2010

Makalah Politik Hukum Agraria: Politik Hukum Agraria Indonesia mengenai Hak Ulayat Adat

1. PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Pada tanggal 24 September 1960, Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Hukum Agraria diundangkan. Adapun Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Hukum Agraria tersebut lazim disebut dengan UUPA. Untuk memperingati tanggal pengundangan UUPA tersebut, maka berdasarkan Keputusan Presiden Tanggal 26 Agustus 1963 Nomor 169/1963, tanggal 24 September ditetapkan sebagai Hari Tani Nasional.
Dengan lahirnya UUPA,maka secara total hukum Agraria Kolonial dihapuskan. Denganhapusnya hukum Agraria Kolonial, maka erupakan sejarah baru dan suasana baru bagi rakyat Indonesia untuk dapat menikmati sepenuhnya umi, Air, ruang angkasa dan kekayaan alam Indonesia ini, terutama kaum tani yang selama ini menompang di atas tanahnya sendiri.
Perombakan hukum agraria kolonial itu dimaksudkan untuk merobah hukum kolonial kepada hukum nasional sesuai dengan cita-cita nasional, khususnya para petani. Selain itu untuk menghilangkan dualisme hukum yang berlaku serta memberikan kepastian hukum atas hak-hak seseorang atas tanah.
Pun demikian, dengan diundangkannya UUPA, maka politik hukum agraria yang berlaku selama masa penjajahan dinyatakan tidak berlaku lagi dan digantikan dengan politik hukum agraria nasional. Adapun politik hukum agraria nasional itu sendiri adalah kebijakan-kebijakan yang berkaitan dengan soal-soal agrarian sebagaimana terdapat di dalam UUPA. Salah satu dari politik agraria nasional, sebagaimana diatur dalam dalam Pasal 3 dan Pasal 18 UUPA, yang pada intinya mengutamakan kepentingan nasional dan negara yang berdasarkan atas persatuan bangsa daripada kepentingan perseorangan dan/atau golongan.
Di dalam Hukum Adat, tanah ini merupakan masalah yang sangat penting. Hubungan antara manusia dengan tanah sangat erat, seperti yang telah dijelaskan diatas, bahwa tanah sebagai tempat manusia untuk menjalani dan melanjutkan kehidupannya.
Tanah sebagai tempat mereka berdiam, tanah yang memberi makan mereka, tanah dimana mereka dimakamkan dan menjadi tempat kediaman orang – orang halus pelindungnya beserta arwah leluhurnya, tanah dimana meresap daya – daya hidup, termasuk juga hidupnya umat dan karenanya tergantung dari padanya.
Tanah adat merupakan milik dari masyarakat hukum adat yang telah dikuasai sejak dulu. Kita juga bahwa telah memegang peran vital dalam kehidupan dan penghidupan bangsa pendukung negara yang bersangkutan, lebih – lebih yang corak agrarisnya berdominasi. Di negara yang rakyatnya berhasrat melaksanakan demokrasi yang berkeadilan sosial, pemanfaatan tanah untuk sebesar – besar kemakmuran rakyat merupakan suatu conditio sine qua non.
Untuk mencapat tujuan itu, diperlukan campur tangan penguasa yang berkompeten dalam urusan tanah, khususnya mengenai lahirnya, berpindah dan berakhirnya hak milik atas tanah. Di lingkungan hukum adat, campur tangan itu dilakukan oleh kepala berbagai persekutu hukum, seperti kepala atau pengurus desa. Jadi, jika timbul permasalahan yang berkaitan dengan tanah adat ini, maka pengurus - pengurus yang telah ada itulah yang akan menyelesaikannya.
Dalam hukum tanah adat ini terdapat kaedah – kaedah hukum. Keseluruhan kaedah hukum yang timbuh dan berkembang didalam pergaulan hidup antar sesama manusia adalah sangat berhubungan erat tentang pemamfaatan antar sesama manusia adalah sangat berhubungan erat tentang pemamfaatan sekaligus menghindarkan perselisihan dan pemamfaatan tanah sebaik-baiknya. Hal inilah yang diatur di dalam hukum tanah adat. Dari ketentuan-ketentuan hukum tanah ini akan timbul hak dan kewajiban yang berkaitan erat dengan hak-hak yang ada di atas tanah.

1.2 Rumusan Masalah
Dari pemaparan latar belakang di atas dapat diambil suatu rumusan masalah sebagai berikut:
1. Bagaimana pengaturan UUPA mengenai mengenai keberadaan hak ulayat masyarakat adat?
2. Bagaimana pembatasan pelaksanaan hak ulayat yang diberikan oleh UUPA?

2. PEMBAHASAN
2.1 Kedudukan dan Peran Hak Ulayat dalam UUPA
Dalam banyak peraturan perundang – undangan yang berlaku di Indonesia saat ini, hukum adat atau adat istiadat yang memiliki sanksi, mulai mendapat tempat yang sepatutnya sebagai suatu produk hukum yang nyata dalam masyarakat. Dalam banyak kasus, hukum adat sedemikian dapat memberikan kontribusi sampai taraf tertentu untuk menjamin kepastian hukum dan keadilan bagi masyarakat. Hukum saat ini malahan dijadikan dasar pengambilan keputusan oleh hakim, sehingga dapat terlihat bahwa hukum adat itu efisien, efektif, aplikatif dan come into force ketika dihadapkan dengan masyarakat modern dewasa ini.
Namun, kenyataan ini tidak dengan sendirinya membuat hukum adat bebas dari permasalahan dalam penerapan, khususnya apabila kita melihat dalam bidang hukum tanah adat.
Perihal UUPA 1960, hukum adat dijadikan landasannya, sedangkan hak ulayat merupakan salah satu dari lembaga-lembaga hukum adat. Pasal 3 UUPA menyatakan bahwa:
Dengan mengingat ketentuan Pasal 1 dan 2 pelaksanaan hak ulayat dan hak-hak yang serupa itu dari masyarakat-masyarakat hukum adat, sepanjang menurut kenyataannya masih ada, harus sedemikian rupa sehingga sesuai dengan kepentingan nasional dan Negara, yang berdasarkan atas persatuan bangsa serta tidak boleh bertentangan dengan undang-undang atau peraturan-peraturan lain yang lebih tinggi.
Oleh karena itu, kedudukan dan peran hukum tanah adat mulai memiliki porsi yang cukup besar. Keberadaan hukum tanah adat mendapat pengakuan di dalam UUPA. Kelihatan di sini bahwa peran pemerintah atau penguasa sangat menentukan untuk menciptakan suasana yang kondusif dalam bidang pertanahan, khususnya hukum tanah adat. Hanya saja patut diberi perhatian bahwa karena bertitik tolak dari peran Pemerintah tersebut, maka sering kali kebijakan-kebijakan bidang pertanahan atau agraria memilki tendensi politik dari pada dari hukumnya.
Oleh karena itu, prinsip mendahulukan kepentingan nasional dan Negara dapat diartikan bahwa segala kebijaksanaan bidang pertanahan tidak boleh dibiarkan merugikan kepentingan masyarakat. Tanah tidak diperkenankan semata-mata untuk kepentingan pribadi atau kelompok, kegunaannya harus disesuaikan dengan keadaanya dan sifat dari haknya sehingga bermanfaat, baik untuk kesejahteraan dan kebahagiaan yang mempunyai, serta baik dan bermanfaat untuk masyarakat dan kepentingan negara.
Adapun untuk hak ulayat yang pada kenyataannya sudah tidak ada lagi, tidak akan dihidupkan kembali. Pun demikian juga tidak akan diciptakan hak ulayat yang baru. Dan dalam rangka menegakkan hukum agraria nasional, maka tugas dan wewenang yang merupakan unsur hak ulayat, dipegang oleh Negara Republik Indonesia.

2.2 Pembatasan UUPA terhadap Pelaksanaan Hak Ulayat
Seperti yang telah dijelaskan dalam konsepsi UUPA, menurut konsepsi UUPA maka tanah, sebagaimana halnya juga dengan bumi, air dan ruang angkasa termasuk kekayaan alam yang terkandung didalamnya yang ada di wilayah Republik Indonesia, adalah karunia Tuhan Yang Maha Esa pada Bangsa Indonesia yang merupakan kekayaan nasional. Hubungan antara Bangsa Indonesia dengan tanahnya dimaksud adalah suatu hubungan yang bersifat abadi.
Dalam Pasal 5 UUPA menyebutkan bahwa : Hukum Agraria yang berlaku atas bumi, air dan ruang angkasa ialah Hukum Adat sepanjang tidak bertentangan dengan kepentingan Nasional dan Negara yang berdasarkan atas persatuan bangsa, dengan sosialisme Indonesia serta peraturan-peraturan yang tercantum dalam undang-undang ini dengan peraturan perundangan-undangan lainya, segala sesuatu dengan mengindahkan unsur-unsur yang bersandar pada hukum agama.
Adanya ketentuan yang demikian ini menimbulkan dua akibat terhadap hukum adat tentang tanah yang berlaku dalam masyarakat Indonesia, dimana di satu pihak ketentuan tersebut memperluas berlakunya hukum adat tidak hanya terhadap golongan Eropa dan Timur Asing. Hukum Adat di sini tidak hanya berlaku untuk tanah-tanah Indonesia saja akan tetapi juga berlaku untuk tanah-tanah yang dahulunya termasuk dalam golongan tanah Barat.
Setelah berlakunya ketentuan tersebut di atas, maka kewenangan berupa penguasaan tanah-tanah oleh persekutuan hukum mendapat pembatasan sedemikian rupa dari kewenangan pada masa-masa sebelumnya karena sejak saat itu segala kewenangan mengenai persoalan tanah terpusat pada kekuasaan negara, kalau demikian bagaimana kewenangan masyarakat hukum adat atas tanah yang disebut hak ulayat tersebut, apakah juga masih diakui berlakunya atau mengalami perubahan sebagaimana halnya dengan ketentuan-ketentuan hukum adat tentang tanah.
Adapun mengenai hal tersebut dapat dilihat dalam beberapa ketentuan dari UUPA, antara lain :
a. Pasal 2 ayat (4), yang berbunyi: Hak menguasai dari Negara tersebut di atas pelaksanaannya dapat dikuasakan kepada daerah-daerah swantanra dan masyarakat-masyarakat hukum adat, sekedar diperlukan dan tidak bertentangan dengan kepentingan Nasional, menurut Peraturan Pemerintah.
b. Pasal 3, yang berbunyi: Dengan mengugat ketentuan-ketentuan dalam Pasal 1 dan 2 pelaksanaan hak ulayat dan hak-hak yang serupa dari masyarakat hukum adat sepanjang menurut kenyataan masih ada harus sedemikian rupa sehingga sesuai dengan kepentingan Nasional dan Negara, yang berdasarkan atas persatuan bangsa serta tidak boleh bertentangan dengan undang-undang dan peraturan-peraturan yang lebih tinggi.
c. Pasal 22 ayat (1), yang berbunyi: Terjadinya hak milik menurut hukum adat diatur dengan peraturan Pemerintah.
Seperti yang telah disebutkan di atas, bahwa setelah berlakunya UUPA ini, tanah adat di Indonesia mengalami perubahan. Maksudnya segala yang bersangkutan dengan tanah adat, misalnya hak ulayat, tentang jual beli tanah dan sebagainya mengalami perubahan.
Jika dulu sebelum berlakunya UUPA, hak ulayat masih milik persekutuan hukum adat setempat yang sudah dikuasai sejak lama dari nenek moyang mereka dahulu. Namun setelah berlakunya UUPA, hak ulayat masih diakui, karena hal ini dapat dilihat dari pasal 3 UUPA, hak ulayat dan hak-hak yang serupa dari masyarakat hukum adat masih diakui sepanjang dalam kenyataan di masyarakat masih ada.
Andaikata karena terjadinya proses individualisasi, seringkali hak ulayat ini mulai
mendesak, yang memberikan pengakuan secara khusus terhadap hak – hak perorangan. Dengan tumbuh dan kuatnya hak – hak yang bersifat perorangan dalam masyarakat hukum adat mengakibatkan menipisnya hak ulayat. Hak ulayat ini diakui oleh Pemerintah sepanjang kenyataanya masih ada. Kalau sudah ada tidaklah perlu untuk membuat adanya hak ulayat baru.
Hak ulayat yang diakui dalam pasal tersebut bukanlah hak ulayat seperti dengan masa sebelumnya dengan kepentingan Nasional dan negara perbatasan dengan bahwa hak ulayat yang dimaksud tidak boleh bertentangan dengan undang-undang dan Peraturan-peraturan lainya.
Selain itu, ada juga perubahan yang terjadi pada hukum tanah adat sebelum dan sesudah berlakunya UUPA. Hal ini dapat dilihat misalnya dalam hal ini jual beli tanah.
Sebelum berlakunya UUPA, jual beli tanah sering dilakukan hanya secara lisan saja, yakni penjualnya. Itu sebabnya sampai dikatakan dulu tanpa bentuk. Kemudian berkembang dengan pembuatan surat jual beli antara dua pihak. Jual beli tanah adalah perbuatan hukum menyerahkan tanah hak oleh penjual kepada pembeli.
Perubahan lain yang terjadi misalnya dalam hal daluarsa. Dalam hukum adat daluarsa ini menyangkut tentang hak milik atas tanah. Dulu, sesuatu bidang tanah yang sudah dibuka atas izin pemangku adat atua kepala adat yang berwenang, maka setelah beberapa tahun tidak dikerjakan/ditanami kembali di tutul belukar dapat diberi peruntukan lain/baru kepada pihak yang membentuknya, akibat pengaruh lamanya waktu dan tanah itu telah kembali kepada hak ulayat desa.
Dalam perjalanan waktu, apabila izin membuka tanah dan tanahnya dimaksud digunakan terus, maka pemegang hak itu tidak memerlukan izin lagi untuk menggunakan tanah secara terus menerus makin lama seorang memanfaatkan hak/izin itu, bertambah kuat hak melekat di atasnya, sampai pada akhirnya menjadi hak milik.

3. PENUTUP
3.1 Kesimpulan
Kedudukan dan peran hukum tanah adat mulai memiliki porsi yang cukup besar. Keberadaan hukum tanah adat mendapat pengakuan di dalam UUPA. Kelihatan di sini bahwa peran pemerintah atau penguasa sangat menentukan untuk menciptakan suasana yang kondusif dalam bidang pertanahan, khususnya hukum tanah adat.
Setelah berlakunya ketentuan-ketentuan UUPA, maka kewenangan berupa penguasaan tanah-tanah oleh persekutuan hukum mendapat pembatasan sedemikian rupa dari kewenangan pada masa-masa sebelumnya karena sejak saat itu segala kewenangan mengenai persoalan tanah terpusat pada kekuasaan negara, kalau demikian bagaimana kewenangan masyarakat hukum adat atas tanah yang disebut hak ulayat tersebut, apakah juga masih diakui berlakunya atau mengalami perubahan sebagaimana halnya dengan ketentuan-ketentuan hukum adat tentang tanah.
Adapun mengenai hal tersebut dapat dilihat dalam beberapa ketentuan dari UUPA, antara lain :
a. Pasal 2 ayat (4), yang berbunyi: Hak menguasai dari Negara tersebut di atas pelaksanaannya dapat dikuasakan kepada daerah-daerah swantanra dan masyarakat-masyarakat hukum adat, sekedar diperlukan dan tidak bertentangan dengan kepentingan Nasional, menurut Peraturan Pemerintah.
b. Pasal 3, yang berbunyi: Dengan mengugat ketentuan-ketentuan dalam Pasal 1 dan 2 pelaksanaan hak ulayat dan hak-hak yang serupa dari masyarakat hukum adat sepanjang menurut kenyataan masih ada harus sedemikian rupa sehingga sesuai dengan kepentingan Nasional dan Negara, yang berdasarkan atas persatuan bangsa serta tidak boleh bertentangan dengan undang-undang dan peraturan-peraturan yang lebih tinggi.
c. Pasal 22 ayat (1), yang berbunyi: Terjadinya hak milik menurut hukum adat diatur dengan peraturan Pemerintah.
3.2 Saran-Saran
1. Perlindungan terhadap keberadaan hak ulayat sebaiknya lebih ditingkatkan, untuk lebih mewadahi kepentingan masyarakat adat yang memiliki hak ulayat tersebut.
2. Sebaiknya dilakukan sosialisasi yang lebih terarah kepada masyarakat mengingat adanya perubahan yang sangat mendasar dalam tata kelola hak ulayat. Adapun perubahan mendasar tersebut misalnya mengenai hak ulayat itu sendiri dan jual beli tanah.

DAFTAR PUSTAKA

Harsono, Budi. 2003. Hukum Agraria Indonesia: Sejarah Pembentukan Undang-Undang Pokok Agraria, Isi, dan Pelaksanaannya. Edisi Revisi Cetakan Kesembilan. Jakarta: Djambatan
http://ermanhukum.com/Makalah%20ER%20pdf/Tanah%20di%20zaman%20kemerdekaan. pdf
http://library.usu.ac.id/download/fh/perdata-syaiful2.pdf
Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Hukum Agraria

Makalah Filsafat Hukum: Kebangkitan Filsafat Hukum Alam Dan Peranannya Dalam Pembentukan Hukum Di Indonesia

1. PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Salah satu dari sekian madzhab filsafat hukum adalah madzhab hukum alam. Di samping hukum alam, ada dua madzhab yang tersohor yaitu madzhab sociological jurisprudence dan madzhab positivisme. Namun makalah saya akan lebih mendalami masalah hukum alam.
Hukum alam diperkenalkan oleh seorang Thomas Aquinas, yang menyandarkan dasar filsafatnya pada hukum alam (natural law) yang dirasa mempunyai proporsi paling ideal dalam hal menjunjung nilai keadilan. Adapun ranah yang dilingkupi dalam hukum alam itu sendiri ada pada ranah ideal atau nilai yang lebih banyak membicarakan tentang moral.
Penggunaan hukum alam ini sendiri juga memiliki banyak implikasi, salah satunya adalah dalam pembentukan hukum di Indonesia. Adapun kaitan antara filsafat hukum alam dengan pembentukan hukum di Indonesia, setidaknya kita sadar bahwa hukum di bentuk karena pertimbangan keadilan (gerechtigkeit) disamping sebagai kepastian hukum (rechtssicherheit) dan kemanfaatan (zweckmassigkeit).
Keadilan ini berkaitan dengan pendistribusian hak dan kewajiban, diantara sekian hak yang dimiliki manusia terdapat hak yang bersifat mendasar yang merupakan anugerah alamiah langsung dari Tuhan, yaitu hak asasi manusia atau hak kodrati manusia, semua manusia tanpa pembedaan ras, suku, bangsa, agama, berhak mendapatkan keadilan, maka di Indonesia yang notabene adalah negara yang sangat heterogen tampaknya dalam membentuk formulasi hukum positif agak berbeda dengan negara-negara yang kulturnya homogen, sangatlah penting kiranya sebelum membentuk suatu hukum yang akan mengatur perjalanan masyarakat, haruslah digali tentang filsafat hukum secara lebih komprehensif yang akan mewujudkan keadilan yang nyata bagi seluruh golongan, suku, ras, agama yang ada di Indonesia.
Keadilan yang demikian itu itu tidak lain bersumber dari hukum Tuhan, oleh Friedrich disebut sebagai hukum kodrat. Dengan demikian hukum-hukum yang berasal dari Tuhan, yang tidak lain adalah hukum agama merupakan hukum yang mempunyai nilai keadilan yang sempurna.
Sayangnya, eksistensi hukum alam ini mulai ditinggalkan pada abad ke-19. Alasan ditinggalkannya hukum alam ini adalah karena sifat hukum alam yang spekulatif dan tidak lebih dari sekedar trial and error saja. Pada saat redupnya eksistensi hukum alam, madzhab positivisme hukum beralih menjadi kiblat bagi filsafat hukum
Namun memasuki abad ke-20, hukum alam seolah bangkit kembali. Hal demikian ini ditunjukkan dengan adanya cara-cara berpikir yang kembali pada ranah hukum alam. Salah satu contohnya adalah isu tentang hak asasi manusia.


1.2 RUMUSAN MASALAH
Adapun masalah yang dapat ditarik dari uraian latar belakang di atas adalah sebagai berikut:
1. Bagaimanakah bentuk hubungan yang terjadi antara hukum dan moral dalam perspektif hukum alam?
2. Bagaimana euforia kebangkitan kembali hukum alam pada abad ke-20?
3. Bagaimana peranan filsafat hukum alam dalam pembentukan hukum di Indonesia?


2. TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Filsafat Hukum
Pengertian Filsafat dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, adalah 1) Pengetahuan dan penyelidikan dengan akal budi mengenai hakikat segala yang ada, sebab, asal, dan hukumnya, 2) Teori yang mendasari alam pikiran atau suatu kegiatan atau juga berarti ilmu yang berintikan logika, estetika, metafisika dan epistemologi.
Secara Umum Pengertian Filsafat adalah Ilmu pengetahuan yang ingin mencapai hakikat kebenaran yang asli dengan ciri-ciri pemikirannya yang 1) rasional, metodis, sistematis, koheren, integral, 2) tentang makro dan mikro kosmos 3) baik yang bersifat inderawi maupun non inderawi. Hakikat kebenaran yang dicari dari berfilsafat kebenaran akan hakikat hidup dan kehidupan, bukan hanya dalam teori tetapi juga praktek.
Kemudian berkenaan dengan Filsafat Hukum Menurut Gustaff Radbruch adalah cabang filsafat yang mempelajari hukum yang benar. Sedangkan menurut Langmeyer: Filsafat Hukum adalah pembahasan secara filosofis tentang hukum, Anthoni D’Amato mengistilahkan dengan Jurisprudence atau filsafat hukum yang acapkali dikonotasikan sebagai penelitian mendasar dan pengertian hukum secara abstrak, Kemudian Bruce D. Fischer mendefinisikan Jurisprudence adalah suatu studi tentang filsafat hukum. Kata ini berasal dari bahasa Latin yang berarti kebijaksanaan (prudence) berkenaan dengan hukum (juris) sehingga secara tata bahasa berarti studi tentang filsafat hukum.
Secara sederhana, dapat dikatakan bahwa Filsafat hukum merupakan cabang filsafat, yakni filsafat tingkah laku atau etika, yang mempelajari hakikat hukum. Dengan perkataan lain filsafat hukum adalah ilmu yang mempelajari hukum secara filosofis, jadi objek filsafat hukum adalah hukum, dan objek tersebut dikaji secara mendalam sampai pada inti atau dasarnya, yang disebut dengan hakikat.

2.2 Filsafat Hukum Alam
Filsafat Hukum Alam (Natural Law) lahir sejak zaman Yunani, berkembang di zaman Romawi sampai ke zaman modern ini. Pemuka Hukum Alam adalah Plato (429-347 BC), Aristotle (348-322 BC) zaman Yunani, Marcus Tullius Cicero (106-43 BC) zaman Romawi, St. Agustine (354-430), dan St. Thomas Aquinas (1225-1274) dari kalangan Kristen, Grotius (1583- 1645), Thomas Hobbes (1588-1679), John Locke (1632-1704).
Natural law or the law of nature (Latin: lex naturalis) has been described as a law whose content is set by nature and that therefore has validity everywhere, (Hukum alam adalah hukum yang segala muatannya diatur oleh alam dan oleh karena itu mempunyai validitas di segala tempat).
Premis pertama dari doktrin Hukum Alam (Natural Law) adalah apa yang diketemukan oleh Hukum Alam (Natural Law), seharusnya diikuti. Masalah pertama adalah bagaimana menemukan apa yang diketemukan oleh Hukum Alam. Hukum Alam (Natural Law) memberikan tempat utama kepada moralitas. Peranan yang dimainkan oleh moral dalam memformulasikan teori mengenai hukum dari alam (the law of nature) kadang-kadang dinyatakan secara tegas, tetapi lebih banyak dinyatakan secara diam-diam. Moralitas digunakan dalam berbagai peranan. Kadang-kadang dikarakterisasikan sebagai produk dari isi Hukum Alam (Natural Law). Kadang-kadang ia diberikan peranan ganda, tidak hanya sebagai produk tetapi juga sebagai pembenaran, petunjuk kata hati/hati nurani. Dengan perkataan lain apa yang seharusnya berlaku mengikuti apa yang seharusnya secara moral berlaku.
Jika Hukum Alam (Natural Law) ingin memiliki relavansi hukum, maka ia harus berisi prinsip-prinsip petunjuk di mana manusia akan menggunakannya untuk mengatur diri mereka sendiri dan orang lain. Variasi yang luas mengenai standar keadilan dan moralitas dapat ditinjau pada waktu yang berbeda, di antara orang-orang yang berlainan dan bahkan diantara individu yang berlainan, mungkin akan menghasilkan satu standar petunjuk yang menonjol tetapi variasivariasi tersebut juga mengindikasikan sulitnya menentukan apa yang dimaksud dengan prinsip-prinsip alamiah itu. Hukum hanya dapat dilihat dari pedoman-pedoman yang ditawarkan pada penerapan prinsip-prinsip tersebut terhadap kasus-kasus tertentu.
Hukum alam yang oleh akal budi manusia ditimba dari aturan alam, dapat dibagi dalam dua golongan yaitu : hukum alam primer dan hukum alam sekunder.
Hukum alam primer dapat dirumuskan dalam norma-norma yang karena bersifat umum berlaku bagi semua manusia. Sedangkan, hukum alam sekunder dapat diartikan dalam norma-norma yang selalu berlaku in abstracto, oleh karena langsung dapat disimpulkan dari norma-norma hukum alam primer, tetapi dapat terjadi juga adanya kekecualian berhubung adanya situasi tertentu.

3. PEMBAHASAN
3.1 Bentuk hubungan antara Hukum dan Moral dalam Perspektif Hukum Alam
Masalah hubungan hukum dan moral tidak lagi merupakan masalah bentuk atau struktur, tetapi masalah tentang isi. Menurut penganut Hukum Alam (Natural Law), isi dari hukum adalah moral. Hukum tidak semata-mata merupakan suatu peraturan tentang tindakan-tindakan hukum itu berisi nilai-nilai, hukum itu adalah indikasi, apakah yang baik dan yang buruk. Selanjutnya yang baik dan yang buruk itu adalah syarat-syarat dari kewajiban hukum. Penganut Hukum Alam menganggap bahwa hukum tidak semata-mata merupakan perintah tetapi juga seperangkat nilai-nilai tertentu. Penganut Teori Hukum Alam (Natural Law) tidak pernah berpendapat bahwahukum itu semata-mata ekspresi dari standar kelompok tertentu atau masyarakat tertentu. Penganut Hukum Alam (Natural Law) percaya kepada nilai-nilai yang absolut dan mereka berpendapat hukum adalah alat untuk mencapai nilai-nilai tersebut.
Thomas Aquinas mengatakan Hukum Alam (Natural Law) itu adalah mengerjakan yang baik dan menghindarkan yang buruk. Grotius menyatakan bahwa hukum dari alam (the law of nature) menunjukkan alasan-alasan yang baik dan tindakan-tindakan di dalamnya memiliki kualitas moral.
Demikian jelasnya, dari sudut praktis, untuk menetapkan kebutuhan yang rasional adanya ketertiban hukum dalam setiap masyarakat. Salah satu contoh adalah “Rule of Law”. Pendapat modern mengenai hal ini diberikan oleh L.L. Fuller yang dikuatkan oleh Finnis dan Joseph Raz.
Mereka mengatakan bahwa hukum itu adalah atauran-aturan yang umum dan jelas yang masuk akal, yang harus dipublikasikan kepada pihak-pihak yang dikehendakinya dan memiliki akibat yang perspektif. Aturan-aturan itu harus tetap masuk akal dan konsisten dari waktu-kewaktu, berisi standar yang mungkin dilaksanakan. Oleh karenanya hukum yang mengesampingkan perempuan dan orang hitam dari kantor-kantor atau profesi atau tidak memiliki suara untuk memilih adalah bertentangan dengan moral.
Contoh lain lagi mengenai hak asasi manusia, pendekatan dari teori Hukum Alam terhadap eksistensi dari hak asasi manusia adalah sangat terintegrasi dan menyeluruh. HAM berasal dari Hukum Tuhan (divine law) kemudian menjadi Hukum Alam (Natural Law) yang berisikan ajaran-ajaran moral yang kemudian dituangkan oleh manusia dalam hukum positif yang berisi hak dan kewajiban, termasuk HAM. Menurut Teori Hukum Alam (Natural Law), hak-hak dan hukum adalah bagian yang universal dari sistem moral.
Contoh berikutnya adalah mengenai penerapan prinsip persamaan di depan hukum (equality before the law). Dasar umum dari substansi prinsip persamaan bagi umat manusia adalah kemanusian mereka sendiri. Semua orang seharusnya diperlakukan sama karena mereka secara karakteristik adalah sama, rasa senang dan rasa sakit sama bagi semua orang. Perbedaan kedudukan berdasarkan apapun juga tidak dapat menghapuskan persamaan tersebut, begitu juga perbedaan antara orang hitam dan orang putih, antara laki-laki dan perempuan tidak boleh membawa perbedaan perlakuan terhadap mereka.
Contoh berikutnya adalah penerapan Hukum Alam (Natural Law) pada kasus Aborsi. Hukum Alam berasal dari hukum Tuhan (divine law), oleh karenanya gereja Katolik Roma menentang aborsi, mereka percaya bahwa aborsi adalah pembunuhan, bukan merupakan dogma dari gereja. Tetapi pendirian ini berubah, bahwa janin belumlah menjadi manusia sampai pada saat “animation.” Berdasarkan doktrin Katolik, janin laki-laki memiliki animasi pada hari ke 40 setelah pembuahan, janin perempuan dipercaya memiliki animasi setelah 80 hari. Tapi setelah abad ke 18 gereja berpendapat bahwa kehidupan manusia mulai sejak pembuahan.
Jadi perdebatan berputar kepada kapan tepatnya janin itu diakui sebagai manusia. Menurut interpretasi hukum Islam yang berdasarkan Ilmu Kedokteran, kehamilan 42 hari adalah akhir minggu keenam kehamilan setelah pembuahan. Berdasarkan hal tersebut ada pemikiran untuk mengembangkan hukum Islam yang membolehkan pengguguran kandungan sampai usia kehamilan 5 minggu (35 hari) atau maximum 42 hari; yaitu adalah 10 hari setelah seorang wanita mengetahui haidnya terlambat.

3.2 Kebangkitan Hukum Alam pada Abad ke-20
Lawrence M. Friedmann menegaskan bahwa sebelum Perang Dunia ke-1 dan Perang Dunia ke-2, telah muncul suatu reaksi berupa perasaan tidak puas yang mendalam dalam kemakmuran material, terhadap keyakinan terhadap diri sendiri, terhadap borjuasi zaman Victoria, dan lain-lain. Sekali lagi, jiwa manusia pada saat itu telah dilingkupi kegelisahan, memberontak terhadap ukuran-ukuran kehidupan yang berlaku pada saat itu, dan sebagaimana pernah terjadi pada sejarah umat manusia, mereka mencari suatu keadilan .
Adapun contoh yang menjalar akibat kegelisahan tersebut di atas adalah munculnya kaum pemuda yang memberontak terhadap keberadaan kaum borjuis, terhadap pemujaan uang, dan kedataran hidup modern. Perombak-perombak sosial dan kaum sosialis menyerang kepincangan-kepincangan sosial yang tersembunyi di bawah formalisme hukum dan pemujaan para penguasa terhadap golongan-golongan positivis. Dari situ, sarjana-sarjana hukum mulai menemukan bahwa hukum tidak hanya berbicara mengenai masalah peneraoan undang-undang atau preseden terhadap suatu perkara atau situasi. Mereka melihat kenyataan bahwa terdapat masalah-masalah tertentu yang dalam penyelesaiannya menuntut suatu pedoman yang lebih tinggi dari sekedar hukum positif.
Pada waktu keyakinan terhadapa kepastian mulai menapaki masa-masa keraguan, pada waktu itulah filsafat hukum alam hidup kembali. Kebangkitan hukum alam ini bisa terlihat dari bangkitnya cita-cita hukum alam. Suatu cita-cita kebangkitan hukum alam yang lebih sejati dapat ditemukan dalam berbagai teori modern yang menganggap hukum alam sebagai suatu cita-cita yang evolusioner. Maka dari situ, filsafat hukum alam dianggap sebagai suatu kekuatan pembimbing dalam pertumbuhan hukum positif.
Dari itu, kita bisa menganggap bahwa cita-cita hukum alam adalah usaha-usaha untuk menutupi aspirasi-aspirasi politik yang tertentu. Adapun maksud yang tertentu di sini adalah kaum borjuis yang mempunyai kedudukan yang lebih tinggi jika dibandingkan dengan rakyat jelata. Namun, satu hal yang sangat penting, makna hukum alam sesungguhnya lebih dari itu. Hukum alam merupakan cara utama untuk mencetuskan cita-cita dan keinginan berbagai bangsa dan berbagai generasi dalam hubungannya dengan kekuatan-kekuatan utama yang menjadi pendorong bagi perubahan.
Adapun sisi yang paling representatif dari teori hukum alam modern ini yang terlepas dari aliran neo skolastik adalah teori-teori yang dikemukakan oleh Del Vecchio. Oleh Del Vecchio, hukum alam pada dasarnya telah digunakan untuk dijadikan sebagai suatu pedoman bagi pembentukan hukum positif . Del Vecchio menganggap hukum alam sebagai asas evolusi hukum yang membimbing umat manusia, dan berbarengan dengan hukum itu sendiri, menuju ke arah otonomi manusia yang lebih besar.
Selain itu, teori Del Vecchio juga ada yang menyatakan bahwa kebebasan berkehendak negara, yang merupakan perwujudan dari kedaulatan, telah melahirkan penolakan terhadap prinsip hukum internasional. Di sisi lain, kaidah hukum alam menuntut manusia bersatu sama lain, dan mengakui kesederajatan. Oleh karena itu, Del Vecchio menyarankan penggabungan nyata antara hukum nasional dan hukum internasional, dengan alasan, meskipun kedua sistem hukum mungkin memiliki derajat positivitas yang berbeda, akan tetapi yang terpenting adalah tingkat keefektifannya dalam membentuk otonomi manusia yang lebih besar .
Adanya ketidakpuasan terhadap keberadaan dan penerapan positivisme hukum pada awal Abad ke-20, menyebabkan banyak pihak memberikan resistensi terhadap pemberlakuan filsafat positivisme. Akibatnya pun jelas, banyak sarjana-sarjana hukum yang mulai menelurkan teori yang ideal mengenai hukum alam. Dengan demikian, hukum alam yang semula redup, dan bahkan ditinggalkan, seolah bangkit kembali.

3.3 Peranan Filsafat Hukum dalam Pembentukan Hukum di Indonesia
Jika kita telaah bagaimana kedudukan hukum alam atau hukum kodrati ini bisa kita lihat bagaimana bentuk integrasi yang dilakukan oleh hukum agama, dalam hal ini hukum islam, untuk masuk ke dalam pembuatan hukum, khususnya hukum dasar, di Indonesia.
Negara di dunia yang menganut paham negara teokrasi menganggap sumber dari segala sumber hukum adahal ajaran-ajaran Tuhan yang berwujud wahyu, yang terhimpun dalam kitab-kitab suci atau yang serupa denga itu, kemudian untuk negara yang menganut paham negara kekuasaan (rechstaat) yang dianggap sebagai sumber dari segala sumber hukum adalah kekuasaan, lain halnya dengan negara yang menganut paham kedaulatan rakyat, yang dianggap sebagai sumber dari segala sumber hukum adalak kedaulatan rakyat, dan Indonesia menganut paham kedaulatan rakyat dari Pancasila, akan tetapi berbeda dengan konsep kedaulatan rakyat oleh Hobbes (yang mengarah pada ke absolutisme) dan John Locke (yang mengarah pada demokrasi parlementer).
Rumusan Pancasila yang dijumpai dalam Alinea keempat Pembukaan UUD 1945 adalah sumber dari segala sumber hukum di Indonesia yang merupakan produk filsafat hukum negara Indonesia, Pancasila ini muncul diilhami dari banyaknya suku, ras, kemudian latar belakang, serta perbedaan ideologi dalam masyarakat yang majemuk, untuk itu muncullah filsafat hukum untuk menyatukan masyarakat Indonesia dalam satu bangsa, satu kesatuan, satu bahasa, dan prinsip kekeluargaan, walau tindak lanjut hukum-hukum yang tercipta sering terjadi hibrida (percampuran), terutama dari hukum Islam, hukum adat, dan hukum barat (civil law / khususnya negara Belanda), hukum Islam (Al-Qur’an) sering dijadikan dasar filsafat hukum sebagai rujukan mengingat mayoritas penduduk Indonesia adalah umat muslim.
Adapun contoh konkret dari penggunaan hukum alam, dalam hal ini adalah hukum islam, yang masuk dalam konstitusi Indonesia melalui produk filsafat hukum adalah Undang-undang No. 1 tahun 1974 tentang Perkawinan, apalagi didalamnya terdapat pasal tentang bolehnya poligami bagi laki-laki yaitu dalam Pasal 3 ayat 1, Pasal 4 ayat 1,2, dan Pasal 5 ayat 1 dan 2, walau banyak pihak yang protes pada pasal kebolehan poligami tersebut, namun di sisi lain tidak sedikit pula yang mempertahankan pasal serta isi dari Undang-undang Perkawinan tersebut. DPR adalah lembaga yang berjuang mengesahkan Undang-Undang No. 1 tahun 1974 tentang Perkawinan, yang diundangkan pada tanggal 2 Januari tahun 1974, dan sampai sekarang masih berlaku tanpa adanya perubahan, ini bukti nyata dari perkembangan filsafat hukum yang muncul dari kebutuhan masyarakat perihal penuangan hukum secara konstitusi kenegaraan, yang mayoritas masyarakat Indonesia adalah agama Islam, yang menganggap ayat-ayat ahkam dalam kitab suci Al-Qur’an adalah mutlak untuk diikuti dalam hukum.
Itulah sepintas dan sedikit uraian mengenai keberadaan filsafat hukum alam, yang dalam hal ini adalah hukum Islam, dalam mengilhami pembentukan hukum di Indonesia.

4. PENUTUP
4.1 Kesimpulan
Kepatuhan para penganut hukum alam itu bukanlah didasarkan pada perintah yang dapat dipaksakan, tapi didasarkan pada kesadaran bahwa di dalam aturan hukum itu terdapat nilai-nilai tertentu. Kesadaran disini ini ada pada ranah moralitas. Dengan demikian terlihat jelas hubungan antara hukum dan moral.
Adanya ketidakpuasan terhadap keberadaan dan penerapan positivisme hukum pada awal Abad ke-20, menyebabkan banyak pihak memberikan resistensi terhadap pemberlakuan filsafat positivisme. Akibatnya pun jelas, banyak sarjana-sarjana hukum yang mulai menelurkan teori yang ideal mengenai hukum alam. Dengan demikian, hukum alam yang semula redup, dan bahkan ditinggalkan, seolah bangkit kembali.
Keberadaan hukum alam, dalam hal ini adalah Hukum Islam, telah dijadikan suatu pedoman dalam membentuk hukum. Adapun contoh yang bisa ditarik kaitannya antara peran hukum alam sebagai pedoman dalam pembentukan hukum adalah keberadaan norma di Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan.

4.2 Saran-Saran
1. Terkait dengan penggunaan hukum alam sebagai pedoman dalam pembentukan hukum di Indonesia dan keberadaan hukum alam yang mempunyai hubungan erat dengan moralitas, sebaiknya sikap yang dimiliki oleh setiap warga negara adalah mematuhi aturan hukum atas dasar kesadaran akan keberadaan nilai-nilai tertentu di dalam aturan hukum.
2. Sebaiknya pengintegrasian hukum alam ke dalam pembentukan hukum semakin diintensifkan. Hal demikian ini didasarkan di dalam hukum alam terdapat penghormatan terhadap hak asasi manusia. Dengan demikian secara otomatis perlindungan terhadap hak asasi manusia akan semakin baik.

Daftar Pustaka

Anonim. 2004. Reinterpretasi Hukum Islam Tentang Aborsi. Republika, 2 April 2004.
Banjarnahor, Allan. ____. Teori Hukum. http://tubiwityu.typepad.com/blog/ 2010/02/teori-hukum.html {diakses 24 Mei 2004}
Djafar, Wahyudi. 2008. Pemikiran tentang Kedaulatan. http://wahyudidjafar.wordpress.com/2008 / 09/25/menelusuri-pemikiran-tentang-kedaulatan-souvereignty/ {diakses 24 Mei 2010}
Harikhman, Aldian. ____. Peran Filsafat dalam Pembentukan (Pembaharuan) Hukum di Indonesia. http://aldianharikhman.blogspot.com/2009/12/peran-filsafat-hukum-dalam-pembaharuan.html {diakses 24 Mei 2010}
Lukoni, Huda. ____. Filsafat Hukum Dan Perannya Dalam Pembentukan Hukum Di Indonesia. http://www.badilag.net/data/ARTIKEL/Filsafat%20Hukum %20dan%20Perannya%20dalam%20Pembentukan%20Hukum%20di%20Indonesia.pdf {diakses 24 Mei 2010}
Soetiksno. 2005. Filsafat Hukum. Cetakan Kesembilan. Jakarta: PT Pradnya Paramita.
Tasrif, S. 1987. Bunga Rampai Filsafat Hukum. Bandung: Abardin.

Makalah Hukum Orang dan Keluarga: Perspektif Perjanjian Perkawinan dalam Memberikan Perlindungan Wanita Kaitannya dengan Poligami

BAB 1. PENDAHULUAN
PERSPEKTIF PERJANJIAN PERKAWINAN DALAM MEMBERIKAN JAMINAN PEMBERDAYAAN DAN PERLINDUNGAN WANITA KAITANNYA DENGAN POLIGAMI
1.1 Latar Belakang
Sebelum melakukan perkawinan, calon suami dan calon istri dapat membuat sebuah perjanjian. Perjanjian tersebut adalah perjanjian perkawinan. Adapun pembuatan perjanjian perkawinan ini dapat dilakukan oleh dan/atau di hadapan notaris.
Namun, di negara kita yang masih menjunjung tinggi adat ketimuran, menjadi persoalan yang sensitif ketika salah seorang calon pasangan berniat mengajukan untuk membuat perjanjian perkawinan. Perjanjian perkawinan menjadi suatu hal yang tidak lazim dan dianggap tidak biasa, kasar, materialistik, juga egois, tidak etis, tidak sesuai dengan adat timur dan lain sebagainya.
Hal ini didasarkan pada anggapan masyarakat Indonesia yang menempatkan pernikahan sebagai sesuatu yang sakral, maka perjanjian perkawinan masih dianggap sebagai urusan duniawi yang tidak sepantasnya dibicarakan dan dilakukan. Dan jika dilakukan, maka akan muncul pertanyaan apa bedanya dengan perjanjian-perjanjian yang biasa dilakukan oleh dua orang yang melakukan transaksi bisnis. Padahal, jika dikembalikan pada kesakralan perkawinan, akan ditemukan adanya kontaradiksi antara kesakralan perkawinan dengan keberadaan perjanjian perkawinan, karena perkawinan bukanlah transaksi bisnis/
Perjanjian perkawinan itu sendiri, menurut Kitab Undang-Undang Hukum Perdata, melingkupi masalah-masalah harta kekayaan. Dengan demikian, bisa dikatakan bahwa perjanjian perkawinan ini menyiapkan langkah selanjutnya dalam ranah harta kekayaan apabila terjadi perceraian antara suami dan istri.
Di luar itu memang masih banyak wacana untuk memasukkan ranah-ranah yang lain untuk diatur di dalam perjanjian perkawinan. Namun semua wacana itu terbentur dengan adanya ketentuan normatif di dalam BW bahwa perjanjian kawin hanya memuat masalah harta kekayaan.
Di antara sekian wacana tersebut di atas adalah pengaturan mengenai poligami. Ahmad Dahlan dan Firdaus Albar, mengungkapkan bahwa perjanjian perkawinan perlu memuat ketentuan mengenai poligami. Hal demikian ini dapat dijadikan sebagai gambaran upaya untuk menghindarkan biduk rumah tangga suami dan istri dapat terhindar dari bahaya disharmonisasi di antara keduanya yang berujung dengan perceraian.
Jika menilik pada perdebatan masalah poligami ini, memang banyak di antara kaum perempuan yang menolak poligami. Alasannya pun sederhana, dengan adanya poligami, pihak suami akan kesulitan untuk berlaku adil dalam menjalankan kewajibannya kepada istri-istrinya. Jadi bisa dikatakan bahwa alasan demikian itu dapat berujung pada perceraian.
Namun perlu digarisbawahi bahwa perjanjian perkawinan bukan persiapan untuk bercerai. Memang selama ini, pernikahan lebih dipahami sebagai kesepakatan hidup bersama antara pria dan wanita yang saling mencintai. Dengan cinta, segalanya bisa diatasi, begitulah kata-kata bijak yang membuai. Padahal, pernikahan berarti juga kesepakatan tentang banyak hal, termasuk soal keuangan, yang sama pentingnya seperti hubungan cinta itu sendiri. “Mitos” yang berbunyi, jika sepasang suami-istri sudah saling mencintai berarti takkan ada masalah keuangan, rasanya harus dikaji kembali.

1.2 Rumusan Masalah
1. Bagaimakah bentuk jaminan bagi pemberdayaan perempuan yang dapat diberikan oleh perjanjian perkawinan?
2. Apakah pengaturan mengenai poligami perlu dimasukkan ke dalam perjanjian perkawinan?

BAB 2. TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Perjanjian Perkawinan
Perjanjian perkawinan, sering juga disebut dengan perjanjian pranikah atau Prenuptial Agreement. Jika diuraikan secara etimologi, maka dapat merujuk pada dari dua akar kata, perjanjian dan perkawinan.
Pertama, janji atau perjanjian dapat diartikan sebagai persetujuan yang dibuat oleh dua pihak atau lebih, tertulis maupun lisan, masing-masing sepakat untuk mentaati isi persetujuan yang telah dibuat bersama.
Adapun perkawinan, menurut Ketentuan Umum Pasal 1 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan, ialah ikatan lahir bathin antara seorang pria dengan seorang wanita sebagai suami isteri dengan tujuan membentuk keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa. Sedangkan pernikahan secara etimologi Islam diartikan dari lafadz an-nikâh yang merupakan mashdar dari fi’il madhi (nakaha) yang mempunyai arti kawin, setubuh, atau senggama.
Dengan demikian, perjanjian perkawinan adalah suatu perjanjian yang dibuat sebelum pernikahan dilangsungkan dan mengikat kedua belah pihak calon pengantin yang akan menikah dan berlaku sejak pernikahan dilangsungkan. Perjanjian kawin biasanya dibuat untuk kepentingan perlindungan hukum terhadap harta bawaan masing-masing, suami ataupun istri, meskipun undang-undang tidak mengatur tujuan perjanjian perkawinan dan apa yang dapat diperjanjikan, segalanya diserahkan pada kedua pihak.
Dengan perjanjian perkawinan diharapkan dapat menjadi acuan jika suatu saat timbul konflik serta menjadi salah satu landasan masing-masing pasangan dalam melaksanakan, dan memberikan batas-batas hak dan kewajiban mereka.

2.2 Dasar Hukum bagi Perjanjian Perkawinan
Tentang perjanjian perkawinan diatur pada Bab VII Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (BW) Pasal 139 sampai dengan Pasal 154. Dan secara garis besar perjanjian perkawinan berlaku mengikat para pihak / mempelai apabila terjadi perkawinan.
Dengan mengadakan perjanjian perkawinan kedua calon suami isteri berhak menyiapkan dan menyampaikan beberapa penyimpangan dari peraturan undang-undang sekitar persatuan harta kekayaan, asal perjanjian itu tidak menyalahi tata susila yang baik dalam tata tertib umum dengan ketentuan antara lain :
1. Tidak boleh mengurangi hak suami sebagai kepala keluarga.
2. Tanpa persetujuan isteri, suami tidak boleh memindahtangankan barang-barang tak bergerak isteri.
3. Dibuat dengan akta notaris sebelum perkawinan berlangsung dan berlaku sejak saat perkawinan dilangsungkan.
4. Tidak berlaku terhadap pihak ketiga sebelum didaftar di kepaniteraan Pengadilan Negeri di daerah hukum berlangsungnya perkawinan itu atau jika perkawinan berlangsung di luar negeri maka di kepaniteraan dimana akta perkawinan dibukukan / diregister.
Sedangkan hukum Islam seperti yang tercantum pada Undang- undang No.1 Tahun 1974 tentang Perkawinan hanya terdiri atas satu pasal saja tentang perjanjian perkawinan, yaitu pasal 29 menyatakan :
Pada waktu sebelum perkawinan berlangsung kedua belah pihak atas persetujuan bersama dapat mengadakan perjanjian tertulis yang disahkan oleh Pegawai Pencatat Perkawinan setelah mana isinya berlaku juga terhadap pihak ketiga sepanjang pihak ketiga tersangkut.

Selain itu Kompilasi Hukum Islam juga memperbolehkan Perjanjian perkawinan sebagaimana dinyatakan dalam pasal 47:
Pada waktu atau sebelum perkawinan dilangsungkan kedua calon mempelai dapat membuat perjanjian tertulis yang disahkan Pegawai Pencatat Nikah mengenai kedudukan harta dalam perkawinan.

Konsep perjanjian perkawinan awal memang berasal dari hukum perdata barat Kitab Undang-Undang Hukum Perdata. Tetapi Undang-Undang No 1 Tahu 1974 tentang Perkawinan ini telah mengkoreksi ketentuan Kitab Undang-Undang Hukum Perdata tentang perjanjian perkawinan. Dalam pasal 139 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata: “Dengan mengadakan perjanjian kawin, kedua calon suami isteri adalah berhak menyiapkan beberapa penyimpangan dari peraturan perundang-undangan sekitar persatuan harta kekayaan asal perjanjian itu tidak menyalahi tata susila yang baik atau tata tertib umum dan asal diindahkan pula segala ketentuan di bawah ini, menurut pasal berikutnya”.
Bila dibandingkan maka Kitab Undang-Undang Hukum Perdata yang hanya membatasi dan menekankan perjanjian perkawinan hanya pada persatuan harta kekayaan saja, sedangkan dalam Undang-Undang No 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan bersifat lebih terbuka, tidak hanya harta kebendaan saja yang diperjanjikan tetapi juga bisa diluar itu sepanjang tidak bertentangan dengan hukum, agama dan kesusilaan, nilai-nilai moral dan adat istiadat. 
BAB 3. PEMBAHASAN

3.1 Pentingnya Perjanjian Perkawinan untuk Memberikan Jaminan Pemberdayaan Bagi Perempuan
Dalam konteks pemberdayaan perempuan, perjanjian perkawinan bisa menjadi alat untuk memberikan jaminan perlindungan perempuan dari segala kemungkinan terjadinya Kekerasan Dalam Rumah Tangga (KDRT). Secara gamblang terdapat hal-hal yang perlu untuk diperhatikan dalam membuat perjanjian perkawinan. Adapun hal-hal tersebut adalah persoalan poligami, mahar, perceraian, keuangan, dan menempuh pendidikan bagi perempuan. Dan juga persoalan-persoalan yang dianggap perlu untuk dimasukkan ke dalam perjanjian. Bahkan jika perlu pembagian kerja juga menjadi hal penting yang dimasukan ke dalam point perjanjian.
Di samping itu, keberadaan perjanjian perkawinan juga dapat memberikan manfaat yang memberikan kesempatan bagi pihak perempuan untuk memperjuangkan eksistensinya. Adapun manfaat penting yang dapat diambil dari perjanjian perkawinan antara lain:
1. Pembagian harta pasca perceraian yang mudah dan cepat
Bila terjadi perceraian maka perjanjian pranikah ini akan memudahkan dan mempercepat pembagian harta, karena sudah pasti harta yang akan diperoleh masing-masing, sudah jelas apa yang menjadi milik suami dan apa yang menjadi milik istri, tanpa proses yang berbelit belit sebagaimana bila terjadi perceraian.
2. Harta kekayaan istri dapat dibedakan secara jelas
Harta yang diperoleh isteri sebelum nikah, harta Bawaan, harta warisan ataupun hibah tidak tercampur dengan harta suami. Menjadi jelas harta milik istri apa saja.
3. Pembebanan dan pertanggungjawaban atas hutang dapat dilihat secara jelas
Dengan adanya pemisahan hutang maka menjadi siapa yang berhutang dan jelas siapa akan yang bertanggung jawab atas hutang tersebut. Untuk melindungi anak dan Isteri, maka isteri bisa menunjukan perjanjian pra nikah bila suatu hari suami meminjam uang ke bank kemudian tidak mampu membayar, maka harta yang bisa diambil oleh Negara hanyalah harta milik pihak tersebut (siapa yang meminjam) atau harta suami bukan dari harta isteri.
4. Perlindungan pihak istri dari kemungkinan KDRT
Isteri terhindar dari adanya kekerasan dalam rumah tangga (KDRT), bisa dalam artian fisik ataupun psikis, misalnya istri bisa mengembangkan kemampuannya dengan boleh bekerja, menuntut ilmu lagi, dll Karena tidak jarang terjadi ketidakseimbangan dalam berinteraksi antara suami dan isteri, salah satu pasangan mendominasi yang lain sehingga terjadi perasaan yang terendahkan dan terkekang dalam berekspresi.
5. Memungkinkan suami dan istri mendirikan perusahaan secara bersama-sama
Untuk isteri yang ingin mendirikan perusahaan, contohnya perseroan terbatas, maka ia bisa bekerjasama dengan suami karena sudah tidak ada lagi penyatuan harta dan kepentingan, bukan pihak yang terafiliasi lagi.

3.2 Pengaturan mengenai Poligami di dalam Perjanjian Perkawinan
Persoalan poligami sampai saat ini masih kontroversial dalam masyarakat muslim, tidak terkecuali muslim Kanada. Pencantuman point poligami dalam perjanjian perkawinan menjadi penting dalam upaya melindungi perempuan.
Di negara Barat, poligami adalah sesuatu yang dilarang (illegal). Begitu juga di Kanada, melakukan poligami adalah sesuatu yang dilarang oleh negara, meskipun demikian perempuan muslim di Kanada dianjurkan untuk memasukan point poligami sebagai bentuk ketidakrelaannya dipoligami dalam perjanjian perkawinan. Point ini penting masuk perjanjian perkawinan juga sebagai antisipasi apabila pasangan muslim tersebut pindah kewarganegaraan yang di negara tersebut tidak ada larangan poligami. Tak kalah pentingnya perjanjian perkawinan tersebut dilakukan di hadapan pemimpin agama dan didampingi oleh masing-masing pengacaranya, sehingga perjanjian tersebut mempunyai kekuatan hukum.
Di Indonesia, poligami juga menjadi perdebatan, khususnya yang berkaitan dengan pasal-pasal yang terdapat dalam Undang-undang No 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan. Sebagian adanya yang setuju dengan pembolehan terhadap praktik poligami. Namun, sebagian lainnya malah menentang adanya praktik poligami.
Secara riil, bisa kita lihat fakta yang disajikan LBH-APIK terkait dengan praktik poligami yang menunjukkan bahwa dari 58 kasus poligami yang didampingi LBH-APIK selama kurun 2001 sampai Juli 2003 memperlihatkan bentuk-bentuk kekerasan terhadap istri dan anak-anak mereka, mulai dari tekanan psikis, penganiayaan fisik, penelantaran istri dan anak-anak, ancaman dan teror, serta pengabaian hak seksual istri. Selain itu, 35 kasus di antaranya, banyak poligami dilakukan tanpa alasan yang jelas.
Dari berbagai pendapat, pembenaran praktik poligami ada pada kenyataan pada masa perkembangan di kalangan muslimin, banyak yang berpoligami. Namun, di sisi lain pendapat pertama tersebut terbentur dengan kenyataan bahwa banyak perceraian yang disebabkan adanya poligami.
Kemudian, muncul gagasan poligami dapat dilakukan melalui persyaratan yang sangat ketat, yaitu suami yang akan melakukan poligami harus mempunyai sifat ‘adil yang komprehensif dalam pembagian kasih sayang terhadap keluarga, dan dalam pembagian nafkah lahir batin. Dengan demkian, poligami ditempatkan pada status hukum darurat (emergency law) atau dalam keadaan yang luar biasa (extra-ordinary circumstance).
Sebenarnya, jika kita menilik dari akibat yang kurang baik dari praktik poligami, maka untuk sedikitnya mencegah poligami dan tentunya menjaga harmonisasi suatu keluarga, solusi yang dapat dilakukan adalah memasukkan ketentuan mengenai poligami ini ke dalam perjanjian perkawinan yang disetujui oleh sepasang suami dan istri.
Walaupun memasukkan ketentuan mengenai poligami dirasa kurang etis, upaya untuk mencegah hal yang buruk yang merupakan akibat dari poligami harus tetap diperhatikan dalam perjanjian perkawinan. Maka dari itu pengaturan mengenai poligami ini harus mendapatkan perhatian dan dipertegas dengan perjanjian perkawinan.

BAB 4. PENUTUP

4.1 Kesimpulan
Adapun manfaat penting yang dapat diambil dari perjanjian perkawinan antara lain:
1. Pembagian harta pasca perceraian yang mudah dan cepat
2. Harta kekayaan istri dapat dibedakan secara jelas
3. Pembebanan dan pertanggungjawaban atas hutang dapat dilihat secara jelas
4. Perlindungan pihak istri dari kemungkinan KDRT
5. Memungkinkan suami dan istri mendirikan perusahaan secara bersama-sama
Jika kita konsisten untuk menghindari disharmonisasi di dalam keluarga, maka untuk sedikitnya mencegah poligami dan tentunya menjaga harmonisasi suatu keluarga, solusi yang dapat dilakukan adalah memasukkan ketentuan mengenai poligami ini ke dalam perjanjian perkawinan yang disetujui oleh sepasang suami dan istri.
Walaupun memasukkan ketentuan mengenai poligami dirasa kurang etis, upaya untuk mencegah hal yang buruk yang merupakan akibat dari poligami harus tetap diperhatikan dalam perjanjian perkawinan. Maka dari itu pengaturan mengenai poligami ini harus mendapatkan perhatian dan dipertegas dengan perjanjian perkawinan.

DAFTAR PUSTAKA
Harahap, M. Yahya. 1975. Hukum Perkawinan Nasional. Medan: Zahir Trading Co.
http://www.kpcmelaticenter.com/id/perjanjian-pranikah/perjanjian-pra-nikah.html. Diakses pada 2 Mei 2010
http://www.rahima.or.id/index.php?view=article&catid=39%3Ateropong-dunia&id=223%3Ateropong-edisi-14-perjanjian-pranikah-menilik-tradisi-pernikahan-muslim-di-kanada&option=com_content&Itemid=272. Diakses pada 1 Mei 2010
Jurnal Hukum Jentera online. Perjanjian Pranikah: Solusi Untuk Semua?. (http://www.hukum.on-line.com). diakses pada 1 Mei 2010
Mukhtar, Kamal. 1974. Asas-asas Hukum Islam tentang Perkawinan. Jakarta: Bulan Bintang
Subekti, R dan Tjitrosudibio, R. 1999. Kitab Undang-Undang Hukum Perdata = Burgerlijk Wetboek : Dengan Tambahan Undang-Undang Pokok Agraria dan Undang-Undang Perkawinan. Jakarta: PT Pradnya Paramita